Allah Maha Dekat – Al-Ma’tsurat (1/5)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Allah Maha Dekat - Al-Ma’tsurat

8.

Allah Maha Dekat

 

Allah s.w.t. berfirman: “Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (qarīb). Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (al-Baqarah [2]: 186).

Ayat ini memiliki empat topik pembahasan; ma‘na pertanyaan, ma‘na dekat (al-qurb), ma‘na pengabulan, dan ma‘na ayat secara keseluruhan.

A. Ma‘na Pertanyaan.

Kalangan mufassir berbeda pendapat tentang latar-belakang turunnya ayat ini. Menurut Ibnu ‘Abbās, ayat ini turun berkaitan dengan kasus ‘Umar ibn Khaththāb dan beberapa sahabat yang telah menggauli istri-istri mereka pada malam-malam bulan Ramadhān. Mereka lalu berkata kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apakah kami masih bisa bertobat? Bagaimana kami harus bertobat?”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang Yahudi berkata pada Nabi s.a.w.: “Bagaimana tuhan kami mendengar doa-doa kami, sementara engkau mengatakan bahwa jarak antara kami dan langit adalah lima ratus tahun, dan bahwa tebal setiap langit adalah sama seperti itu?” Setelah itu, turunlah ayat ini.

Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Di mana Tuhan kami berada?” Ayat ini pun turun.

Al-Ḥasan berkata: “Beberapa sahabat bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apakah Tuhan kami dekat sehingga kami bisa bermunajat kepada-Nya, ataukah jauh sehingga kami harus memanggil-Nya?” Lalu turunlah ayat ini.”

Hamba-hamba yang khāshsh tidak bertanya tentang hukum, makhluq, dunia, atau tentang hukuman. Mereka hanya bertanya tentang Tuhan mereka. Tidakkah engkau membaca firman Allah s.w.t.: “Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (qarīb). Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (al-Baqarah [2]: 186). Mereka bukanlah termasuk golongan orang-orang yang ….. “bertanya tentang gunung-gunung.” (Thāhā [20]: 105), dan …. “bertanya tentang bulan sabit.” (al-Baqarah [2]: 189), dan….. “bertanya tentang anak-anak yatim.” (al-Baqarah [2]: 220), dan …. “bertanya tentang bulan suci.” (al-Baqarah [2]: 217), dan ….. “bertanya tentang haidh.” (al-Baqarah [2]: 222), dan ….. “bertanya tentang ruh.” (al-Isrā’ [17]: 85), dan …… “bertanya tentang khamr (minuman keras) dan judi.” (al-Baqarah [2]: 219). Oleh sebab itu, pertanyaan mereka dijawab dengan menggunakan kata qul (katakanlah).

B. Ma‘na Dekat.

Allah s.w.t. telah memberikan jawaban bagi hamba-hambaNya yang utama dan khashsh dengan tanpa perantara. Oleh karena itu, Dia s.w.t. berfirman: “Maka sesungguhnya Aku dekat (qarīb).” (al-Baqarah [2]: 186).

Dekat di sini bukan “dekat” dalam artian arah atau jarak. Tetapi, dekatnya Allah s.w.t. adalah pengabulan doa dan penyucin dari semua tempat dan arah. “Maka sesungguhnya Aku dekat (qarīb). Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa. (al-Baqarah [2]: 186). Artinya, Allah s.w.t. itu dekat untuk mengabulkan, bukan dekat tempat-Nya atau jarak-Nya. Telah jelas bahwa dekatnya Allah s.w.t. dari seorang hamba adalah melalui taufiq yang ditampakkan-Nya atau kelembutan yang diberikan-Nya. Di sini, Allah s.w.t. mengabulkan doa hamba dari dekat, dalam arti mendengar doa mereka dengan sangat dekat.

Dikatakan bahwa dekat di sini berarti cepat dikabulkan. Pendapat ini didasarkan pada kemiripan antara ma‘na “dekat” dan “cepat”.

Ketahuilah, Allah s.w.t. menyebut Dzāt-Nya dekat dengan hamba-Nya, dan hamba menyebut dirinya dekat dengan-Nya.

Dekatnya Allah s.w.t. dengan hamba-Nya secara dzāt adalah sesuatu yang mustahil dan Allah s.w.t. terbebas dari itu semua. Dia s.w.t. suci dari semua batasan, arah, akhir, ukuran, dan semua yang bisa dilekatkan pada makhluq. Dia s.w.t. suci dari keberpisahan dan kebersambungan. (al-fashlu wal-washl).

Dekatnya Allah s.w.t. dengan seorang hamba adalah pengetahuan yang dikhususkan oleh-Nya bagi hamba ini, yang dihidayahkan kepadanya oleh-Nya dengan wajah kelembutan dan kemurah-hatian, dan yang dihadiahkan kepadanya karena telah menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Allah s.w.t. berfirman: “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta pada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (al-Ḥujurāt [49]: 7).

Kesaksian bahwa Allah s.w.t. itu dekat sebagai hak-Nya adalah sesuatu yang wajib. Dekatnya Allah s.w.t. adalah dengan ‘ilmu dan kekuasaan-Nya. Dia s.w.t. meliputi segala sesuatu. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qāf [50]: 16), “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (al-Ḥadīd [57]: 4), “Tidak ada pembicaraan di antara tiga orang kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (al-Mujādilah [58]: 7).

Allah s.w.t. itu dekat bukan dengan menempel, dan jauh bukan dengan terpisah. Dekat adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) di dalam hak-Nya, yang dikhususkan kepada siapapun dari hamba yang dikehendaki-Nya. Dekatnya Allah s.w.t. adalah termasuk kekhususan kelembutan yang diberikan kepada siapapun hamba yang dikehendaki-Nya. Dekat dalam arti fisik adalah sesuatu yang mustahil bagi Dzat-Nya.

Adapun dekatnya seorang hamba dengan Allah s.w.t. mengandung tiga pengertian:

Pertama, dekat kepada-Nya dengan ketaatan. Dalilnya adalah firman: “Sujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah.” (al-‘Alaq [96]: 19). Di sini, Allah s.w.t. telah menjelaskan hamba dekat kepada-Nya adalah dengan ketaatan, bukan dengan jarak. Nabi s.a.w. bersabda: “Yang paling dekat bagi seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika dia bersujud. Apabila salah satu dari kalian bersujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa karena itu jaminan bahwa doanya akan dikabulkan.”

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: “Hamba-hambaKu tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai ketimbang apa yang telah Aku wajibkan kepada mereka. Hamba terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran dan penglihatannya, dan bersama-Ku ia akan mendengar dan melihat.”

Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. ialah dengan amal kebaikan dan kebajikan. Ini menunjukkan bahwa sebaik-baik ketaatan adalah mengerjakan shalat, dan sebaik-baik kondisi shalat adalah sujud – karena saat itu mata tidak beristirahat dan jiwa tidak bahagia, dan seorang hamba membawa dirinya dalam keadaan gelisah tanpa ketenangan.

Kedua, dekat kepada-Nya dengan meninggalkan sifat-sifat tercela dan meniru akhlaq terpuji. Sebab, setiap kali engkau memisahkan diri dari sifat-sifat kemanusiaan, meniru akhlaq kenabian, dan berupaya memiliki sifat-sifat malaikat, maka engkau telah dekat kepada Allah s.w.t.

Di antara sifat-sifat Allah s.w.t. adalah murah hati, pengampun, pemaaf, menutupi ‘aib, menyebarkan kebaikan kepada orang baik dan orang tidak baik, orang mu‘min dan orang kafir, kekasih dan musuh.

Apabila engkau bisa seperti itu maka engkau telah dekat kepada-Nya. Hanya bagi Allah perumpamaan yang paling baik.

Ketiga, dekat kepada Allah s.w.t. karena engkau telah betul-betul mengetahui eksistensi-Nya, keagungan-Nya, dan kesombongan-Nya. Dia s.w.t. adalah Maha Pemaksa yang tidak bisa dipaksa, Maha Mengalahkan yang tidak bisa dikalahkan. Dia tidak menyerupai sesuatu apa pun dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Setelah ini, engkau mengetahui apa yang wajib, boleh, dan mustahil bagi-Nya. Inilah derajat paling tinggi dan tujuan utama dari kedekatan seorang hamba kepada Allah s.w.t.

Aku telah mencapai tujuan saat aku berhasil di dekat-Nya,

Tak ada sesuatu pun yang tersisa dariku, yang aku harapkan untuk diriku!

Inilah kedekatan yang telah memutus hati ahli ma‘rifat (ahl-ul-‘irfān). Bagaimana tidak?! Orang terpilih dari hamba-hambaNya dan imam ahli ma‘rifat (maksudnya: Nabi s.a.w.) sampai mengucapkan: “Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu.” (al-Aḥqāf [46]: 9).

Adapun dekat secara dzāt dan dekat secara fisik, Allah s.w.t. tentu Maha Suci dari itu semua. Keabadian-Nya terbebas dari itu semua.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *