Doa dan Pengharapan – Al-Ma’tsurat (5/5)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Allah Maha Dekat - Al-Ma’tsurat

Doa dan Pengharapan.

Di antara syarat kepercayaan terhadap Allah s.w.t. adalah kuatnya pengharapan atas apa yang dimiliki-Nya. Ini sebagaimana kisah Isrā’īliyyat tentang seorang perempuan tua yang bertentangan dengan seorang raja. Suatu hari, perempuan ini pergi ke luar rumah. Sang raja kemudian merobohkan rumah ini dan memasukkannya ke area istana kerajaan. Ketika pulang dan mendapati rumahnya sudah hancur lebur, ia berkata: “Ya Tuhan, seandainya aku tidak mengharapkan bantuan-Mu, lalu di mana Engkau berada?” Allah s.w.t. pun menghancurkan sang raja di dalam rumahnya.

Ja‘far ibn Shādiq pernah ditanya: “Kenapa doa kami tidak kunjung dikabulkan?” Ja‘far ibn Shādiq menjawab: “Karena kalian berdoa kepada Dzāt yang tidak kalian kenal.” (1001).

Ibrāhīm ibn Adham pernah ditanya: “Kenapa doa kami tidak kunjung dikabulkan?” Ibnu Adham menjawab: “Karena kalian mengetahui Allah s.w.t. tapi tidak menaati-Nya, mengetahui Rasūlullāh s.a.w. tapi tidak mengikuti sunnahnya, mengetahui al-Qur’ān tapi tidak berbuat sesuai isinya, memakan ni‘mat Allah tapi tidak mensyukurinya, mengetahui surga tapi tidak berusaha meraihnya, mengetahui neraka tapi tidak berupaya menghindarinya, mengetahui syaithan tapi tidak memeranginya dan justru menyetujuinya, mengetahui kematian tapi tidak mempersiapkan diri untuk menyambutnya, mengubur mayat-mayat orang yang meninggal di antara kalian tapi tidak pernah mengambil pelajaran dari itu semua, menutupi aib kalian tapi membeberkan aib orang lain.” (1012).

Pengabulan dan Ketentuan Allah s.w.t.

Allah s.w.t. mewahyukan kepada Nabi Dāwūd a.s.: “Wahai Dāwūd, barang siapa yang memutuskan dirinya pada-Ku maka Aku akan mencukupkan kebutuhannya, barang siapa yang memohon kepada-Ku maka Aku akan memberikannya, dan barang siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya. Tetapi, orang yang berdoa kepada-Ku dan belum sampai pada ketentuan-Ku maka pengabulan doanya akan ditangguhkan dan Aku telah menerima doanya sampai ketentuan-Ku sempurna, dan saat itulah Aku akan memberikan apa yang dimintanya kepada-Ku.”

Ḥudzaifah (1023) berkata: “Umat ini akan berdoa dengan doa yang seandainya dibuat berdoa oleh umat-umat terdahulu dari kaum ‘Ād dan Tsamūd, pasti doa mereka takkan dikabulkan.” Ḥudzaifah melanjutkan: “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menerangi kegelapan dengan shalat mereka. Allah s.w.t. tidak mengabulkan doa mereka pada tahun ini sampai Dia s.w.t. berkehendaki atas mereka.”

D. Ma‘na Ayat secara Keseluruhan.

Barang kali ada yang berpendapat bahwa kata ujību (Aku kabulkan) dalam firman Allah s.w.t. di surah al-Baqarah ayat 186 itu tidaklah mengandung pengertian yang sama dengan kata astajib dalam firman-Nya: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan (astajib) bagimu.” (Ghāfir [40]: 60). Dalam sebuah sabda Nabi s.a.w. juga disebutkan: “Tuhan kami akan turun ke langit dunia setiap malam dan berfirman: “Barang siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan memperkenanknnya (astajibu lahu), barang siapa yang memohon kepada-Ku maka Aku akan memberikannya …..” (1034) Sebagian pakar kebahasaan mengatakan: “Pengabulan (al-ijābah) terkadang merupakan tujuan yang dimaksudkan, tetapi terkadang juga tidak. Sementara itu, penerimaan (al-istijābah) tidak memiliki arti lain selain tujuan yang dimaksudkan.” Lebih dari itu, mereka menegaskan bahwa huruf sīn dalam kata astajib adalah untuk penekanan (tawkīd), dan sīn tawkīd memiliki kedudukan yang sama dengan qasam (sumpah). Jadi, lafal astajib berarti “pasti akan Aku perkenankan dan kabulkan,” dan Allah s.w.t. sekali-kali takkan mengingkari janji-Nya.

Pendapat seperti ini bisa ditanggapi sebagai berikut:

Kami telah menyebutkan bahwa lafal ajāba dan istajāba mengandung pengertian yang sama, dan itu sudah dikenal luas di disiplin ‘ilmu bahasa. Lalu, apa yang sudah kami kemukakan di awal, termasuk semua pena‘wilan atas ayat ini, adalah sesuatu yang sudah jelas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut lagi.

Mungkin saja doa seorang hamba belum dikabulkan dan baru akan dikabulkan pada waktu tertentu. Doa yang akan langsung dikabulkan hanyalah doa hamba yang sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah s.w.t. dalam ketentuan-ketentuanNya. Nabi s.a.w. bersabda: “Sumpah palsu itu sumpah untuk melariskan dagangan.” (1045) Berapa banyak orang yang bersumpah bohong, tapi barang dagangannya tidak laku.

Catatan:

  1. 100). Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, hlm. 531
  2. 101). Tafsīr-ul-Qurthubī, II/312.
  3. 102). Ḥudzaifah ibn al-Yamān al-Azdī, seorang sahabat Nabi, birokrat, pejuang, perawi banyak hadits. Ia meninggal dunia pada tahun 36 H. Lihat: Ḥilyat-ul-Awliyā’, I/370 dan al-Ishābah, I/318.
  4. 103). Lihat: Jāmi‘-ul-Ushūl, IV/138.
  5. 104). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī. Dalam redaksi lain disebutkan: “Sumpah palsu itu untuk melariskan dagangan, dan bisa menghapus keberkahan.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *