Ibnu ‘Abbās mengisahkan bahwa Nabi ‘Īsā a.s. pernah berdoa meminta hujan bersama-sama orang banyak. Allah s.w.t. kemudian mewahyukan kepadanya: “Janganlah engkau berdoa meminta hujan, sementara engkau bersama para pendosa.” Nabi ‘Īsā a.s. memberitahukan ini pada mereka, lalu berkata: “Siapa di antara kalian yang gemar berbuat dosa, menyingkirlah!” Mereka semua menyingkir kecuali seorang laki-laki dengan mata kanan yang buta. Nabi ‘Īsā a.s. pun berkata: “Kenapa engkau tidak ikut menyingkir?” Laki-laki itu menjawab: “Wahai, Rūḥ Allah. Aku tidak pernah sekejap mata pun bermaksiat kepada Allah. Mataku ini telah melihat kaki perempuan, padahal sebenarnya aku tidak ingin melihatnya. Oleh sebab itu, aku mencungkilnya.” Nabi ‘Īsā a.s. langsung menangis sampai-sampai jenggotnya basah oleh cucuran air matanya, lalu berkata: “Berdoalah, engkau. Engkau lebih pantas berdoa ketimbang aku. Aku ma‘shum dengan wahyu, sementara engkau tidak.” Laki-laki buta ini kemudian maju ke depan, menengadahkan kedua tangannya dan mengucap: “Ya Allah, Engkau telah menciptakan kami, Engkau sudah mengetahui apa yang akan kami perbuat sebelum Engkau menciptakan kami, dan itu tidak menghalangi-Mu untuk menciptakan kami dan menanggung rezeki-rezeki kami; maka kirimkanlah hujan lebat dari langit untuk kami.” Demi Dzat yang menggenggam jiwa ‘Īsā dengan tangan-Nya, belum selesai kalimat yang diucapkan oleh laki-laki ini, langit sudah menurunkan hujan dengan begitu lebatnya.
Wahb ibn Munabbih mengisahkan bahwa Allah s.w.t. telah memberi wahyu kepada seorang nabi dari Bani Isrā’īl tentang keadaan kaumnya. Di dalam wahyu ini, Allah s.w.t. berfirman: “Aku pasti akan memerintahkan awan meliputi seluruh negeri. Meskipun melalui itu langit memberi hujan dan tanah menumbuhkan tanaman, tapi rahmat-Ku Aku berikan kepada binatang; Aku menahannya waktu tanam dan Aku mengirimnya kembali waktu panen. Apabila mereka (Bani Isrā’īl) menanam sesuatu pada masa itu maka Aku akan menimpakan wabah penyakit di tanamannya, apabila mereka memanen sesuatu maka Aku akan menghilangkan keberkahan darinya, apabila mereka berdoa kepada-Ku maka Aku takkan mengabulkannya, apabila mereka memohon kepada-Ku maka Aku takkan memberikannya, apabila mereka menangis maka Aku takkan mengasihi mereka, dan apabila mereka tunduk memohon kepada-Ku maka Aku akan palingkan wajah-Ku dari mereka.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Mūsā a.s. memintakan hujan bagi Bani Isrā’īl. Awan tebal langsung memenuhi langit, lalu tiba-tiba Allah s.w.t. menghilangkannya sekehendak-Nya. Nabi Mūsā a.s. kemudian berkata: “Ya Tuhanku, kami memohon hujan kepada-Mu, dan Engkau menghilangkan awan itu sesuai kehendak-Mu.” Allah s.w.t. lalu mewahyukan kepada Nabi Mūsā a.s.: “Wahai Mūsā, sesungguhnya kaummu datang kepada-Ku dengan hati yang kosong dari rasa takut terhadap-Ku. Oleh sebab itu, Aku memberi mereka awan yang kosong dari rahmat-Ku.”
Kita kembali ke pembahasan sebelumnya, yaitu mengenai ma‘na dari ujību dalam firman Allah s.w.t., : “Aku kabulkan (ujību) doa orang yang berdoa kepada-Ku.” (al-Baqarah [2]: 186).
Bisa jadi, Allah s.w.t. seolah hendak berfirman: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa jika mereka mau mengerjakan amal shalih dan tidak menentang perintah-Ku.” Ini didasarkan pada firman: “Hanya kepada-Nya akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan, Dia akan mengangkatnya.” (Fāthir [35]: 10). Ayat ini menunjukkan bahwa doa takkan diterima kecuali ketika dibarengi dengan amal perbuatan baik. Ayat lain juga menyebutkan: “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dia memperkenankan doa orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan”. (Syūrā [42]: 25-26). Di sini, pengabulan doa orang-orang mu’min juga dikaitkan dengan ‘amal kebajikan.
Ketika langit tidak mau memberikan hujannya, tanah menolak menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhannya, dan penduduknya merasa putus asa, Allah s.w.t. mengidzinkan kepada semua makhluq untuk meminta hujan dan memohon ampun kepada Tuhan mereka. Mereka bisa bermunajat kepada-Nya disertai kekhusyukan, kepatuhan dan ketundukan. Tapi sebelum itu, mereka dituntut untuk berbuat ‘amal kebajikan, seperti tobat, berpuasa, sedekah, dan mengerjakan shalat-shalat sunnah semampu mereka.
Bisa jadi pula, Allah s.w.t. seolah hendak berfirman: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa dengan syarat mereka memenuhi perintah-perintahKu.” Hal ini didasarkan pada terusan ayat yang menyebut, fal-yastajībū lī (jika mereka memenuhi perintah-Ku). (al-Baqarah [2]: 186). Hakikat pemenuhan perintah adalah memenuhi perintah secara totalitas dan tidak menentangnya sedikit pun. Alasannya, kita berdoa dengan sikap memuliakan dan mengagungkan-Nya secara penuh, dan ini menuntut kita untuk secara total menggantungkan diri kepada-Nya. Latar belakang turunnya ayat ini yang paling tepat. (al-Baqarah [2]: 186), sebagaimana telah disebutkan di awal dalam riwayat Ibnu ‘Abbās, adalah dalam konteks menanggapi pertanyaan kaum kafir. Pemenuhan perintah Tuhan dikaitkan dengan keimanan. Jadi, ayat ini seolah hendak mengatakan: “Penuhilah perintah-Ku dengan keimanan terhadap-Ku.”
Apabila ayat tersebut dibaca dan dima‘nai secara literal maka seolah-olah Allah s.w.t. mengaitkan pemenuhan atas permohonan mereka dengan pemenuhan atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Jadi, Allah s.w.t. seolah berfirman: “Aku akan mengabulkan doamu dan memenuhi permohonanmu dengan syarat engkau memenuhi perintah-Ku dan menghindari larangan-Ku.”
Menurut sebagian ‘ulamā’, Allah s.w.t. tidak berfirman: “Aku kabulkan” (ujību) dalam arti dikabulkan secara seketika dan pada waktu itu juga. Seandainya Allah s.w.t. mengabulkannya setelah beberapa bulan atau tahun kemudian, Allah s.w.t. tetap dianggap mengabulkannya. Ini sebagaimana firman: “Kamu pasti akan memasuki Masjid-ul-Ḥarām, jika Allah menghendaki.” (al-Fatḥ [48]: 27), Ketika Nabi s.a.w. dan para sahabat belum bisa memasuki Baitullāh, ‘Umar berkata kepada Abū Bakar: “Bukankah Allah s.w.t. sudah berjanji bahwa kita akan memasukinya?” Abū Bakar kemudian berkata: “Apakah itu harus terjadi pada tahun ini?! Kalian semua pasti akan memasukinya, jika Allah menghendaki.”
Menurut sebagian ‘ulamā’ lain, Allah s.w.t. menerima doa orang mu’min pada waktu itu juga, namun menangguhkan realisasinya agar sang hamba terus berdoa kepada-Nya sehingga Dia s.w.t. bisa mendengar suaranya. Diriwayatkan dari Jābir bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Sungguh, seorang hamba yang berdoa kepada Allah s.w.t., sementara Allah s.w.t. mencintai hamba ini, maka Allah s.w.t. akan berfirman kepada Jibrīl: “Penuhilah kebutuhan hambaku ini, dan tangguhkan pemenuhannya. Sungguh, Aku masih senang mendengar suaranya”.” (941).
*Missing (952)
Diriwayatkan bahwa Yaḥyā ibn Sa‘īd berkata: “Aku pernah memimpikan Tuhan semesta alam. Aku berkata dalam mimpiku itu: “Ya Tuhan, aku selalu berdoa kepada-Mu dan Engkau belum juga mengabulkannya untukku.” Dia s.w.t. lalu berfirman: “Wahai Yaḥyā, sesungguhnya Aku senang mendengar suaramu”.” (963).
Yaḥyā berkata: “Aku kemudian mengadukan mimpi ini ke syaikh saat aku duduk bersamanya. Ia berkata: “Jangan merisaukan itu. Sesungguhnya Allah s.w.t. telah memberkahi kebutuhan hamba-Nya dan mengidzinkan hamba-Nya untuk berdoa memohon itu semua.”
Doa dan Keikhlasan.
Bisa jadi, di dalam ayat di atas (al-Baqarah [2]: 186), Allah s.w.t. seolah berfirman: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku, jika ia ikhlas dalam berdoa kepada-Ku.” Ini sejalan dengan firman: “Mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (Luqmān [31]: 32).
Diriwayatkan bahwa Nabi Mūsā a.s. pernah berjalan melewati seorang laki-laki yang bersimpuh dan berdoa. Nabi Mūsā a.s. lalu berkata: “Ya Tuhanku, seandainya keinginannya berada di genggamanku, aku pasti akan memberikannya.” Allah s.w.t. kemudian mewahyukan kepada Nabi Mūsā a.s.: “Aku lebih mengasihinya daripada engkau. Tapi, ia berdoa kepada-Ku, padahal ia mempunyai kambing dan hatinya selalu terpaut pada kambingnya. Aku takkan mengabulkan doa hamba yang berdoa kepada-Ku dengan hati yang terpaut kepada selain-Ku.” Wahyu ini kemudian diceritakan oleh Nabi Mūsā a.s. kepada laki-laki tersebut. Laki-laki ini lalu memusatkan hatinya hanya kepada Allah s.w.t. semata, dan dikabulkanlah doanya. (974).
Seorang laki-laki berkata pada Dzun Nūn (985): “Sebutlah aku di dalam doamu.” Dzun Nūn lalu berkata: “Engkau harus berdoa sendiri!”
Abū Bakr asy-Syiblī menuturkan: “Di antara karamah wali (kekasih Allah s.w.t.) adalah doanya tidak dikabulkan dan permohonannya tidak dipenuhi.” Seseorang lalu bertanya padanya: “Kenapa seperti itu?” Asy-Syiblī menjawab: “Sebab, tidurnya telah pergi dan keadaan terjaganya telah menemani. Ia memperlihatkan ketidakberdayaannya dan bukan baju ibadah, serta menempatkan dirinya di tempat kepatuhan dan kehinaan.”
Dikatakan: “Doa menuntut kehadiran, pemenuhan kebutuhan menuntut kejujuran, dan berdiri di depan pintu jauh lebih sempurna ketimbang lari dari permasalahan.”
Atas dasar ini, sebagian ‘ulamā’ mengatakan: “Seandainya saja setiap permohonan seorang hamba itu dipenuhi dan dikabulkan, tentu ia keluar dari ruang kehambaan (‘ubūdiyyah). Tapi, ia diperintahkan untuk berdoa agar menjadi seorang hamba, dan Allah s.w.t. berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.”
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata pada Abū Yazīd al-Busthāmī (996): “Aku mohon kepadamu, berdoalah untukku agar hatiku tidak pernah membersitkan hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah.” Abū Yazīd al-Busthāmī lalu menjawab: “Apa ini?!” Aku sendiri sejak 30 tahun lalu sudah berdoa agar itu terkabulkan untukku, tapi Allah s.w.t. belum mengabulkannya.”
Catatan:
- 94). Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, hlm. 528.
- 95). Yaḥyā ibn Sa‘īd al-Qaththān, perawi hadits terkemuka, ḥāfizh, dan tsiqqah (kebenaran hadits-haditsnya bisa dipertanggungjawabkan). Ia meninggal dunia pada tahun 198 H. Lihat: Siyaru A‘lām-in-Nubalā’, IX/175 dan sesudahnya.
- 96). Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, hlm. 528-529.
- 97). Ibid. hlm. 530-531.
- 98). Dzun Nūn al-Mishrī, salah seorang ahli ibadah yang terkenal, yang memiliki kekasihan berbicara, hikmah, dan syair. Ia meninggal dunia di Mesir pada tahun 245 H.
- 99). Abū Yazīd Thayfūr ibn ‘Īsā, seorang ahli ibadah dari penduduk Busthām, dan meninggal dunia pada tahun 261 H. Lihat Thabaqāt-ush-Shūfiyyah, hlm. 68; Ḥilyat-ul-Awliyā’, X/23; dan Siyaru A‘lām-in-Nubalā’, XII/86.