Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Azhar (3/5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Azhar

III

 

وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

69: 25. Dan adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari kirinya, maka berkatalah dia: “Wahai malang! Alangkah baiknya sekiranya tidak didatangkan kepadaku kitabku.

69: 26. Aku tidak tahu apalah hisab terhadap diriku.
69: 27. Wahai, sekiranya kematianlah yang menyelesaikan segala sesuatu.
69: 28. Tidaklah memberi manfaat kepadaku harta-bendaku.
69: 29. Telah hancurlah daripadaku kekuasaanku”.
69: 30. “Ambillah dia dan belenggukanlah tangannya ke lehernya.”
69: 31. Kemudian ke dalam neraka sunukanlah dia.
69: 32. Kemudian itu, kepada rantai yang ukurannya tujuh puluh hasta, belitkanlah dia.
69: 33. Karena sesungguhnya dia adalah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung.
69: 34. Dan tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin.
69: 35. Maka tidaklah ada untuk dia di tempat ini seorang temanpun.
69: 36. Dan tidak ada makanan kecuali dari darah campur nanah.
69: 37. Tidak ada yang akan memakannya, kecuali orang-orang yang bersalah.

 

***

Malang nasib orang yang durhaka!

 

Dan adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kirinya,” (Pangkal ayat 25). Belum lagi diketahui apa isinya, datangnya surat dari sebelah kiri sudahlah jadi alamat bahwa keputusan buruklah yang akan diterima; “maka berkatalah dia: “Wahai malang! Alangkah baiknya sekiranya tidak didatangkan kepadaku kitabku.” (Ujung ayat 25). Belum lagi sampai ke dalam tangan, belum lagi dibuka dan dibaca isinya, rasa takut sudah timbul. Sampai mengeluh, karena orang yang bersalah itu telah menggambarkan dan mengenangkan kembali betapa besarnya pelanggaran yang telah dia lakukan atas batas-batas yang ditentukan Tuhan.

Aku tidak tahu apalah hisab terhadap diriku.” (Ayat 26). Dengan hati yang berdebar rasa sesal dan kesal dia mencoba menaksir apalah gerangan hisab atau hitungan yang berlaku atas dirinya. (Wahai, sekiranya kematianlah yang menyelesaikan segala sesuatu. Ayat 27 tidak ada penjelasan – SH.). “Tidaklah memberi manfaat kepadaku harta-bendaku.” (Ayat 28). Inilah suatu penyesalan dan keluhan yang sangat mendalam. Semasa hidup di dunia kerja hanyalah mengumpul-ngumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Karena menyangka bahwa harta-benda itulah yang akan menaikkan gengsi di hadapan sesama manusia. Namun setelah berhadapan dengan Hakim Yang Maha Agung, Allah s.w.t., secuilpun tidak ada harga harta itu lagi. Tidaklah orang memperkatakan berapa kekayaan yang tersimpan kalau hari telah kiamat. Seputus nyawa manusia sewaktu itu pula hilang kuasanya terhadap harta yang dikumpulkannya dengan susah payah itu. Suasananya di dalam ‘Alam Akhirat itu sudah lain; Hanya Iman dan ‘amal shalih-lah yang dihargai.

Dan terdengar lagi keluhan; “Telah hancurlah daripadaku kekuasaanku”.” (Ayat 29). Semasa hidup di dunia, karena kekuasaan yang besar tersebab harta yang banyak, ataupun karena pangkat dan jabatan, maka apa yang dikehendaki akan disediakan orang. Beratus pengawal dan penjaga, beratus orang suruhan, beratus dan kadang-kadang beribu buruh yang bekerja menggantung harapan kepada kekayaan beliau sebagai seorang kaya-raya, baik sebagai penguasa ataupun sebagai seorang hartawan jutawan. Tetapi semuanya ini telah licin tandas. Jangankan di hari akhirat! Sedangkan setelah nyawa putus, tinggallah tubuh yang telah kaku tidak bergerak lagi dan ditanggalkan segala pakaian kebesaran yang lekat di badan, tinggal tiga lapis kafan, apatah lagi setelah sampai di alam akhirat.

Maka datanglah perintah Tuhan; “Ambillah dia!” (Pangkal ayat 30). Seketika mengartikan ayat ini, seorang murid bertanya: “Mengapa tidak diambil saja kata-kata yang lebih jitu, yaitu misalnya: “Tangkaplah dia!”. Namun penafsir lebih suka mengambil arti: “Ambillah dia!” Sebab kata-kata “Tangkaplah dia!” dipasangkan atas orang yang telah kehilangan tenaga, keputusan-asa, kehabisan daya tidak usah ditangkap lagi, sebab dia tidak lagi akan berdaya untuk melawan, lebih tepatlah jika dikatakan “Ambillah dia!”. “Dan belenggukanlah tangannya ke lehernya.”” (Ujung ayat 30). Maka kedua belah tangannya disandangkan ke atas duduknya di belakang, barulah dilekatkan belenggu ke lehernya itu, sehingga tidak berdaya apa-apa lagi; “Kemudian ke dalam neraka sunukanlah dia.” (Ayat 31). Lemparkanlah dia atau masukkanlah dia. Kita pakai perkataan sunu ialah perkataan yang biasa terpakai untuk orang yang dimasukkan ke dalam api itu dibakar.

Kemudian itu, kepada rantai yang ukurannya tujuh puluh hasta, belitkanlah dia.” (Ayat 32). Begitulah besar ‘adzab siksaan yang akan mereka derita di dalam neraka. Sampai disebut juga rantai yang panjangnya sampai tujuh puluh hasta; alangkah panjang rantai itu!

Kemudian disebutkanlah apa sebab utama dari ‘adzab siksaan yang sebesar itu;

Karena sesungguhnya dia adalah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung.” (Ayat 33). Dengan tidak adanya Iman kepada Allah hilanglah tujuan hidupnya sebagai manusia dan putuslah hubungannya dengan langit. Dia runtuh jatuh ke bawah, ke dalam martabat yang rendah, lebih sesat daripada binatang. Keinginannya di dunia tidak lain daripada mencari makan semata-mata;

Dan tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin.” (Ayat 34). Oleh karena tidak ada kepercayaannya kepada Allah Yang Maha Agung, dengan sendirinya telah hilang pula kepercayaannya kepada kedamaian hidup sesama manusia atau prikemanusiaan. Dia hanya ingat mencari keuntungan buat dirinya sendiri dengan tidak ada rasa kasih-sayang kepada orang yang melarat. Tidak ada ingatannya hendak membantu fakir-miskin dan tidak pula ada geraknya untuk menganjurkan orang lain berbuat demikian. Tegasnya orang ini tidak mengenal prikemanusiaan.

Maka tidaklah ada untuk dia di tempat ini” (Pangkal ayat 35), yaitu di dalam neraka yang penuh dengan ‘adzab dan siksaan itu dia tidak mempunyai; “seorang temanpun.” (Ujung ayat 35). Karena di dunia dia tidak menghubungkkan silaturrahmi, maka di akhirat tidak ada teman yang akan membantunya, tidak ada sahabat dan tidak ada penolong.

Dan tidak ada makanan kecuali dari darah campur nanah.” (Ayat 36). Orang yang bakhil di kala hidup di dunia itu biarkanlah makanan yang akan dimakannya di akhirat darah bercampur nanah, yang disebut juga air mala, semacam air yang titik dari badan bangkai orang yang telah mati; “Tidak ada yang akan memakannya, kecuali orang-orang yang bersalah.” (Ayat 37). Makanan darah campur nanah ini adalah sebagai bandingan dengan makanan ahli syurga, yang memetik buah-buahan berbagai ragam dalam syurga jannat-un-na‘īm, yang sangat dekat daripadanya, sehingga tidak usah dikait dengan galah, boleh dipetik dengan tangan. Kedua macam itu, baik ni‘mat dalam syurga atau siksaan di neraka sekali dikemukakan kepada manusia, sebagai basyīran dan nadzīran, ialah supaya di waktu hidup di dunia ini juga dapat dipilih oleh orang yang mempergunakan akalnya; Niscaya tidak akan ada yang mereka pilih selain dari Iman kepada Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *