Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (3/3)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 24-28

وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.

70: 24. Dan orang-orang yang dalam harta mereka terdapat hak yang diakui.
70: 25. Bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak mau meminta haknya.
70: 26. Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan.
70: 27. Dan orang-orang yang takut terhadap siksaan Tuhan mereka.
70: 28. Sesungguhnya, siksaan Tuhan mereka tidak ada orang yang merasa aman darinya.

 

TAFSIR

Ayat-ayat ke-24 dan 25 membahas orang-orang yang dalam hartanya terhadap bagian orang miskin, baik yang meminta haknya maupun yang tidak. Mereka memelihara hubungan mereka dengan Sang Maha Pencipta dan makhluk melalui hartanya. Dalam hal ini, sebagian mufassir al-Qur’ān berpendapat bahwa “hak yang diakui” mengandung makna zakat yang ukurannya ditentukan dan harus dibayarkan.

Surah ini adalah surah Makkiyyah. Sementara itu, keputusan Allah tentang pembayaran zakat tidak diwahyukan di Makkah. Meskipun diwahyukan, ukurannya tidak ditentukan. Oleh karena itu, sebagian mufassir lainnya berpendapat bahwa “hak yang diakui” bermakna sesuatu selain zakat yang dianggap wajib untuk dibayarkan kepada orang miskin.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. bahwa ketika ditanya tentang tafsir ayat ini, beliau berkata bahawa itu adalah sesuatu selain zakat. Ayat ini pun berhubungan dengan orang-orang yang diberi harta oleh Allah. Mereka membayarkannya satu hingga tiga ribu darinya untuk membantu kerabat dekat mereka. Dengannya, mereka ingin membantu menghapus penderitaan orang yang ada di lingkungan mereka. (1951).

Adapun perbedaan antara orang miskin yang meminta haknya dan yang tidak terletak pada keberanian mereka mengungkapkan kebutuhannya. Orang miskin yang meminta haknya mampu mengungkapkan kebutuhan mereka dan meminta bantuan. Sementara itu, jenis kedua tidak berbuat demikian karena rasa malu dan mengutamakan harga diri.

Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. yang berkata bahwa orang yang tidak mau meminta adalah orang-orang yang bekerja keras untuk memperoleh penghidupan. Namun, mereka mengalami kesulitan keuangan. (1962).

Ayat-ayat 26-28 menunjukkan karakteristik ketiga dan keempat darinya. Dinyatakan bahwa orang-orang yang percaya akan adanya Hari Pembalasan, adalah mereka yang takut terhadap siksaan Allah dan tidak merasa aman dari siksaan Allah.

Bentuk kata kerja ‘Arab yushaddiqūn menjelaskan bahwa mereka penuh perhatian setiap waktu terhadap catatan perbuatan masa lalunya. Mereka menyadari bahwa perbuatan mereka akan diperhitungkan pada Hari itu. Sebagian mufassir berpendapat bahwa bentuk kata kerja tersebut menunjukkan adanya pembenaran atau perbuatan tertentu, yaitu melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang.

Namun, makna kontekstual dari ayat tersebut menyatakan penegasan teoretis dan praktis. Sebagian orang mungkin percaya akan adanya Hari Pembalasan, tetapi mengira bahwa mereka tidak akan disiksa. Ayat tersebut menyatakan bahwa orang yang beriman tidak merasa aman dari siksaan Allah. Mereka merasa berkewajiban untuk melaksanakan perintah Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan baik dan shalih tidaklah berarti, dan dosa mereka begitu besar dan berat.

Diriwayatkan dari Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī a.s. yang membekali putranya dengan nasihat, beliau berkata: “Wahai putraku! Takutlah engkau kepada Allah s.w.t. Karena boleh jadi engkau telah melaksanakan segala perbuatan shalih di dunia ini, tapi mungkin saja Dia tidak menerimanya. Gantunglah harapan-harapanmu kepada-Nya. Karena boleh jadi engkau telah melakukan segala dosa di dunia ini, tapi Dia dapat mengampuni dosa-dosamu.” (1973).

Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak ada orang yang akan dimasukkan ke dalam surga karena perbuatan-perbuatannya.”

Ketika itu beliau ditanya: “Bahkan engkau?”

Beliau menjawab: “Ya, bahkan aku kecuali jika aku diberi rahmat oleh Allah.”

 

AYAT 29-31

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.

70: 29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
70: 30. Dan tidak melakukan hubungan seksual kecuali dengan para istri mereka atau para budak perempuan yang mereka miliki. Maka sesungguhnya untuk yang demikian itu mereka tidak dicela.
70: 31. Namun, siapa pun yang mencari di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

 

TAFSIR

Ayat-ayat sebelumnya membahas empat karakteristik dari orang mu’min sejati dan orang-orang yang akan menjadi penghuni surga. Ayat-ayat ke-29 dan 30 menyatakan: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya dan tidak melakukan hubungan seksual kecuali dengan para istri mereka atau para budak perempuan yang mereka miliki maka sesungguhnya untuk yang demikian itu mereka tidak akan dicela.” Dorongan seksual adalah salah satu dari dorongan manusiawi yang tidak mudah dikendalikan. Dorongan ini merupakan sumber dari sejumlah dosa. Sebagian ahli berpendapat bahwa jejak perbuatan ini dapat ditemukan dalam seluruh kasus kejahatan yang berat.

Mengendalikan dorongan seksual berperan sebagai tanda penting dari rasa takut kepada Allah s.w.t. Mengendalikan dorongan seksual dapat dilakukan dengan mendirikan shalat, bersahabat dengan orang miskin, percaya akan adanya Hari Kiamat dan takut terhadap siksaan Allah.

Namun, tidak berarti bahwa dorongan seksual sama sekali harus dihilangkan. Manusia harus bergerak melawan hukum-hukum makhluk seperti para rahib, para biarawati dan sebagian pendeta. Menghilangkan dorongan seksual adalah hal yang mustahil secara logika. Terbukti, banyak rahib dan biarawati yang gagal menghilangkan dorongan seksual dari kehidupan mereka. Banyak dari mereka secara sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas seksual. Contoh-contoh tentang perbuatan memalukan ini sangat banyak. Para ahli sejarah Kristen seperti Will Durant telah membeberkan berbagai contoh perbuatan asusila ini.

Bentuk nomina ‘Arab azwāj meliputi para istri permanen (dā’im) dan sementara (tamattu‘). Sebagian orang mengira bahwa ayat tersebut menolak pernikahan. Ayat ke-31 menekankan: “Namun, siapa pun yang mencari di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Oleh karena itu, Islam merencanakan masyarakat yang memelihara dorongan fitri untuk menemukan jalan keluar persoalan ini tanpa perlu melakukan perbuatan asusila. Dulu, para budak perempuan memiliki sejumlah hak sah sebagai istri. Namun, hal itu sudah tidak lagi relevan pada masa kini.

 

AYAT 32-35

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.

70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji-janji mereka.
70: 33. Dan orang-orang yang berdiri memberikan kesaksian-kesaksian mereka.
70: 34. Dan orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.
70: 35. Mereka itulah orang-orang yang akan dimuliakan di dalam taman-taman surga.

 

TAFSIR

Karakteristik lain tentang mereka dijelaskan pada ayat ke-32: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji-janji mereka.” Frase ‘Arab amānah “amanat” meliputi makna yang luar. Kata ini tidak hanya meliputi berbagai amanat duniawi manusia, tetapi juga amanat Allah, para nabi dan para Imām a.s. Setiap ni‘mat Allah merupakan salah satu dari amanat-Nya. Demikian pula, posisi sosial terutama kepemimpinan adalah salah satu di antara amanat yang paling penting.

Diriwayatkan dari Imām Bāqir a.s. dan Imām Shādiq a.s. mengenai penafsiran ayat: “Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu untuk mengembalikan barang-barang yang diamanatkan kepada para pemiliknya.” Manusia diperintahkan untuk mengembalikan kepemimpinan kepada para wali yang pantas. (1984).

Penafsiran itu dibuktikan pada ayat lain dalam al-Qur’ān [33]: 72). “Sesungguhnya, Kami telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi mereka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan takut tentangnya. Namun, manusia mau memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan bodoh.” Kaum Muslim wajib memelihara agama Allah dan kitab-Nya sebagai amanat-Nya yang terbesar.

Istilah ‘Arab ‘ahd “janji”, mengandung makna yang luas secara bahasa. Istilah ini meliputi janji-janji manusia dan janji-janji Allah. Istilah tersebut mengacu pada jenis kewajiban apa pun bagi seseorang. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya s.a.w. sudah pasti menerima kewajiban besar. Penekanan utama diberikan oleh Islam untuk seseorang agar memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya sebagai salah satu tanda paling penting dari keimanan sejati.

Ayat ke-33 menegaskan bahwa demikianlah karakteristik orang beriman dan orang-orang yang memberikan kesaksian sejati. Memberikan kesaksian yang benar dan tidak menyembunyikannya merupakan tonggak utama dalam melaksanakan keadilan masyarakat. Mereka bertanya tentang alasan di balik kesaksian terhadap orang-orang yang mewariskan permusuhan, yang akhirnya menciptakan persoalan bagi mereka. Orang-orang yang mewariskan permusuhan tidak pernah peduli terhadap hak-hak manusia, tidak memiliki jiwa sosial dan tidak bertanggung-jawab untuk melaksanakan keadilan. Al-Qur’ān berkali-kali mengajak kaum Muslim untuk memberikan kesaksian yang benar dan menganggap menyembunyikannya sebagai dosa (lihat 2: 140, 283; 5: 106; dan 65: 2). Masalah tersebut bermakna khusus dalam hukum Islam, yang berperan sebagai pilar untuk membuktikan banyaknya individu dan hukum sosial yang dikendalikan oleh hukum dan aturan khusus pula.

Karakteristik terakhir disebutkan pada ayat ke-34. Sekali lagi, penjelasan ini berkenaan dengan mendirikan shalat. Bunyinya: “orang-orang yang memelihara shalat-shalat mereka.” Telah dijelaskan bahwa shalat yang dimaksudkan di sini adalah shalat wajib. Sudah dijelaskan pula tentang shalat-shalat sunnah. Karakteristik pertama menyangkut ketabahan dalam mendirikan shalat. Karakteristik yang dibahas dalam ayat ini adalah melaksanakan aturan dan pilarnya. Karakteristik ini membuat shalat terpelihara shingga manusia terhindar dari kerusakan moral. Inilah roh orang yang shalat, yakni kehadiran pikiran yang kuat sewaktu melaksanakannya. Rintangan-rintangan hilang dan sama sekali tidak dianggap ada, membuktikan bahwa konsistensi dalam mendirikan shalat merupakan karakteristik paling utama dari seorang mu’min. Shalat adalah jalan pertumbuhan spiritual yang paling agung dan sarana penyucian jiwa dan masyarakat paling utama.

Ayat ini mengisyaratkan tujuan final seorang mu’min. Ayat ke-35 menjelaskan secara singkat bahwa orang dengan karakter ini akan menghuni taman-taman surga. Mereka akan diberi penghargaan dari segala aspek. Mereka adalah para tamu Allah. Untuknya segala sarana kesenangan dan keramahtamahan akan disediakan oleh Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kuasa. Ungkapan jannat (“taman-taman”) dan mukramun (“dimuliakan”) menyangkut ni‘mat materi dan spiritual bagi mereka.

 

AYAT 36-39

فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ. عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ. أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍ. كَلَّا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِّمَّا يَعْلَمُوْنَ.

70: 36. Ada apa dengan orang-orang kafir yang bersegera datang kepadamu,
70: 37. Dalam kelompok-kolompok di kanan dan di kiri yang berharap untuk dimasukkan ke surga?
70: 38. Apakah setiap orang dari mereka ingin masuk surga yang penuh dengan ni‘mat-ni‘mat Allah?,
70: 39. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui.

 

TAFSIR

Ayat-ayat sebelumnya membahas karakteristik orang beriman dan orang kafir serta nasib mereka. Ayat-ayat berikut ini membahas orang kafir dan ejekan mereka tentang hal yang suci. Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat-ayat ini menjelaskan sejumlah orang musyrik yang berkumpul untuk menyatakan bahwa mereka memiliki keadaan yang jauh lebih baik di akhirat dibandingkan dengan orang-orang beriman pada Hari Kiamat. Mereka memiliki kehidupan yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan orang-orang yang beriman kepadanya (Muḥammad s.a.w.). Hal ini dinyatakan ketika mereka mendengarkan Nabi s.a.w. membacakan beberapa ayat tentang kiamat kepada kaum Muslim di Makkah. Ayat-ayat 36-38 menanggapi klaim mereka dengan menyatakan: “Ada apa dengan orang-orang kafir yang bersegera datang kepadamu, dalam kelompok-kolompok di kanan dan di kiri yang berharap untuk dimasukkan ke surga? Apakah setiap orang dari mereka ingin masuk surga yang penuh dengan ni‘mat-ni‘mat Allah?

Bagaimana mereka berharap untuk dimasukkan ke surga dengan perbuatan mereka yang memalukan? Bentuk nomina ‘Arab muhthi‘īn adalah bentuk jama‘ akusatif dari muhthi‘ yang bermakna “seseorang berjalan secara tergesa-gesa dengan lehernya ditegakkan karena mencari sesuatu”. Adakalanya leher itu ditegakkan untuk mencari berita. Bentuk nomina ‘Arab ‘izīn mengacu pada kelompok-kelompok yang terpencar. Kadang-kadang kata ini dikaitkan dengan orang lain, karena kelompok-kelompok yang berkumpul saling berkaitan. Mungkin juga mereka mengejar satu tujuan yang sama. Dari sinilah bermula penerapan kata ‘iza bagi sebuah kelompok. Namun, kaum musyrik yang sombong memberikan sejumlah klaim yang sama dan tidak berdasar sama sekali. Mereka menganggap kehidupan mereka menyenangkan karena perbuatan haram seperti merampok, bahkan menganggapnya sebagai kedudukan agung mereka di sisi Allah. Mereka menggunakan analogi-analogi tidak berdasar tentang kedudukan-kedudukan tinggi mereka di akhirat. Mereka memang tidak percaya pada adanya akhirat sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān. Namun, kadang-kadang mereka membahasnya sebagai sebuah kemungkinan. Mereka menyatakan bahwa seandainya kiamat itu ada, mereka akan memiliki berbagai posisi mulia di akhirat. Mereka mungkin bertujuan mengejek kepercayaan terhadap Hari Akhir ini.

Ayat ke-39 merupakan tanggapan atas klaim palsu mereka. Bunyinya: “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, Kami menciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui.” Tanggapan ini bertujuan menghancurleburkan kesombongan mereka. Dikatakan bahwa mereka mengetahui dari apa mereka diciptakan, yakni dari setetes air mani yang tidak bernilai. Jadi, apa alasan di balik kesombongan mereka?

Selanjutnya, ayat tersebut menanggapi orang-orang yang mengejek kepercayaan akan adanya kiamat. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki keraguan tentang kebenaran Hari Kiamat. Mereka dapat memperhatikan fakta bahwa Allah s.w.t. telah menciptakan wujud-wujud sempurna dari setetes sperma yang tidak bernilai itu. Mereka melihat setetes sperma ini mengalami berbagai perkembangan di dalam rahim setiap hari dan diciptakan kembali setiap waktu.

Hal penting lain adalah bahwa catatan perbuatan mereka penuh dengan dosa. Mereka tidak mungkin berharap untuk masuk surga karena suatu wujud yang tercipta dari setetes sperma yang tidak bernilai adalah sebuah kehinaan. Kemuliaan muncul sebagai akibat dari keimanan dan melakukan perbuatan baik yang tidak mereka lakukan. Jadi, bagaimana mungkin mereka berharap untuk menghuni taman surga?

 

AYAT 40-41

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُوْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ.

70: 40. Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki Timur dan Barat, sesungguhnya Kami Maha Kuasa.
70: 41. Untuk menggantikan mereka dengan orang-orang lain yang lebih baik dari mereka dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.

 

TAFSIR

Contoh-contoh dari bentuk tunggal “Timur dan Barat” juga dinyatakan dalam al-Qur’ān, seperti pada ayat: “Dan milik Allah-lah Timur dan Barat.” (2: 115). Ungkapan tersebut kadang-kadang muncul dalam bentuk ganda, seperti pada ayat: “Tuhan dari dua Timur dan dua Barat.” (55: 17). Bentuk jama‘ juga muncul, seperti pada ayat ini.

Sebagian orang yang berpikiran picik telah menganggap hal ini sebagai ungkapan kontradiktif. Padahal, mereka sepakat menunjukkan satu hal: matahari terbit dari suatu titik baru dan terbenam di titik baru lainnya setiap hari. Dari titik inilah tempat terbit dan tempat terbenamnya matahari sebanyak bilangan hari dalam setahun.

Selanjutnya, dua Timur dan dua Barat dibedakan di antara begitu banyak Timur dan Barat: musim panas dan musim dingin mengalami titik balik ketika matahari mencapai titik puncaknya pada garis balik Cancer (Utara) dan garis balik Capricorn (Selatan). Di samping dua titik balik berbeda ini, terdapat dua musim semi dan musim gugur, yaitu ketika siang dan malam hari sama panjangnya. Sebagian mufassir berpendapat bahwa: “Tuhannya Timur-Timur dan Tuhannya Barat-Barat” menyangkut fenomena yang sama. Ini patut diperhatikan.

Namun, setiap pembuktian hanya memberikan penekanan pada Timur dan Barat tanpa memberikan perhatian apa pun terhadap contohnya tersendiri. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan tersebut menyampaikan pesan tertentu yang mendorong manusia untuk memperhatikan perubahan-perubahan pada saat matahari terbit dan terbenam. Demikian pula perubahan-perubahan tetap dari orbit tata surya.

 

AYAT 42-44

فَذَرْهُمْ يَخُوْضُوْا وَ يَلْعَبُوْا حَتَّى يُلَاقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ يُوْعَدُوْنَ. يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوْفِضُوْنَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ذلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ.

70: 42. Maka biarkanlah mereka tenggelam dalam kebatilan dan bermain-main hingga mereka bertemu Hari yang dijanjikan kepada mereka.
70: 43. Hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seolah-olah mereka bersegera menuju berhala-berhala mereka.
70: 44. Dalam keadaan pandangan mata mereka tertunduk karena ketakutan, dan mereka diliputi dengan kehinaan. [Akan dikatakan kepada mereka]: Inilah Hari yang dahulu dijanjikan kepadamu.

 

TAFSIR

Ayat-ayat penutup surah al-Ma‘ārij ini memperingatkan kaum kafir pembangkang yang mengejek adanya Hari Kiamat dan kepercayaan Islam. Bunyinya: “Maka biarkanlah mereka tenggelam dalam kebatilan dan bermain-main hingga mereka bertemu Hari yang dijanjikan kepada mereka. Hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seolah-olah mereka bersegera menuju berhala-berhala mereka. Dalam keadaan pandangan mata mereka tertunduk karena ketakutan, dan mereka diliputi dengan kehinaan. [Akan dikatakan kepada mereka]: Inilah Hari yang dahulu dijanjikan kepadamu.” Argumen dalam ayat itu sangat tegas. Mereka tidak siap untuk bangkit. Mereka tenggelam dalam kepercayaan batil mereka. Kepercayaan itulah yang menyibukkan mereka dalam permainan anak-anak hingga Hari yang dijanjikan itu tiba, yaitu kiamat. Ayat ke-43 melukiskan keadaan dan tanda-tanda Hari Kiamat yang menakutkan. Dinyatakan bahwa mereka akan meninggalkan kuburan mereka dengan cepat. Pada Hari itu, seolah-olah mereka bersegera menuju berhala-berhala mereka dalam perayaan atau perkabungan. Penjelasan ini bertujuan mengejek kepercayaan batil mereka.

Frase ‘Arab ajdāts adalah bentuk jama‘ dari jadats. Kata sirā‘an adalah kata keterangan yang bermakna “dengan segera”. Bentuk nomina ‘Arab nushub adalah bentuk jama‘ dari nashb yang bermakna “sesuatu yang ditempatkan di suatu tempat.” Namun dalam konteks ini, kata tersebut bermakna berhala batu yang ditempatkan di tempat tertentu yang disembah dengan menumpahkan darah hewan kurban sebagai persembahan kepadanya.

Perbedaan antara nashb dan shanam adalah dari segi bentuk. Shanam memiliki bentuk khusus, sedangkan nashb adalah tidak berbentuk. Nashb disembah para penyembah berhala. Bentuk kata kerja ‘Arab yūfidhūn: “bergerak cepat, bersegera” berasal sama dengan ifādha. Maknanya adalah gerakan cepat seperti gerakan air yang mengalir dari sumbernya. Sebagian mufassir berpendapat bahwa nushub bermakna panji-panji yang ditempatkan di antara pasukan tentara atau kafilah di tempat tertentu yang segera dituju semua orang.

Ayat ayat ke-44 membahas tanda yang lain. Dinyatakan bahwa pada Hari itu, pandangan mata mereka akan tertunduk karena ketakutan luar biasa. Mereka memandang sekitar mereka dengan kehinaan, sedangkan mereka sendiri akan diliputi dengan rasa malu dan cela. Ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Hari itu adalah hari yang dijanjikan kepada mereka. Mereka sebelumnya memperolok-olokkan akan adanya Hari itu. Mereka menyatakan bahwa Hari itu ada, sedangkan nasib mereka jauh lebih bahagia daripada orang beriman. Meskipun demikian, mereka tidak menegakkan kepala mereka karena takut dan malu. Mereka akan diliputi kehinaan. Mereka akan tenggelam dalam kesedihan, tetapi penyesalan mereka tidak akan ada manfaatnya.

Ya Allah! Lindungilah kami dengan rahmat-Mu pada Hari yang menimbulkan ketakutan itu. Ya Allah! Golongkanlah kami di antara orang beriman yang telah memenuhi janji mereka kepada-Mu dan telah mematuhi perintah-Mu.

Catatan:

  1. 195). Ibid, jil. 5, hal. 417.
  2. 196). Ibid.
  3. 197). Jāmi‘-ul-Akbār, hal. 113.
  4. 198). Tafsīr-ul-Burhān, jil. 1, hal. 380.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *