03,4 Hasrat Seksual Wajib Disalurkan – Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual

40 HADITS SHAHIH
Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual
Oleh: Bintus Sami‘ ar-Rakily

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: Bagian 1 - Kewajiban Menyalurkan Hasrat Seksual

Hasrat Seksual Wajib Disalurkan

Hadits ke-3

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِ.

(رواه النسائي)

Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah: “Rasūlullāh s.a.w. melarang tabattul (membujang selamanya).” (11).

Hadits ke-4

عَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ يَقُوْلُ: رَدَّ رَسُوْلُ اللهِ (ص) عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ وَ لَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا.

(رواه البخاري)

Diriwayatkan dari Sa‘d bin Abī Waqqāsh yang berkata: bahwa Rasūlullāh s.a.w. melarang ‘Utsmān bin Mazh‘ūn dari bertabattul. Jikalau Rasūlullāh mengizinkannya, tentu kami mengebiri diri kami.” (HR. al-Bukhārī).

Keterangan:

Pada hadits ke-1 dan ke-2, Rasūlullāh telah menegaskan besarnya fitnah yang berkaitan dengan syahwat kemaluan. Bersamaan dengan itu, beliau juga memperingatkan umatnya tentang kenistaan dan kehancuran yang ditimbulkan oleh fitnah syahwat itu. Namun demikian, peringatan keras Rasūlullāh itu bukan berarti beliau menganjurkan umatnya untuk membunuh syahwat tersebut. Sebab, bagaimanapun Islam adalah agama yang menghormati keseimbangan fitrah. Islam adalah agama yang mengakui eksisitensi manusia apa adanya; di mana ia bukan malaikat yang tidak memiliki secuil pun nafsu. Allah telah menciptakan apa-apa yang ada di dunia ini untuk makhluk-Nya yang paling sempurna itu, termasuk menciptakan nafsu syahwat. Hanya saja, dengan segala apa yang dianugerahkan-Nya itu, Allah ingin menguji hamba-hambaNya; apakah mereka dapat memanfaatkannya untuk tujuan mendekatkan diri kepada-Nya ataukah sebaliknya?

Terkait dengan hal ini, hadits ke-3 dan ke-4 mengingatkan kepada kita bahwa perilaku tabattul juga tidak dianjurkan oleh Rasūlullāh. Hidup membujang selamanya bukanlah suatu jalan yang tepat untuk menjadi suci dari dosa. Sebaliknya, hidup membujang justru sangat berbahaya. Sebab, nafsu yang disimpan tanpa secuil pun diberi kesempatan “mengapresiasikan diri” akan menjadi bara api dalam sekam. Nafsu yang diperlakukan demikian ibarat bom waktu yang menunggu suatu pemantik membuatnya meledak.

Ada suatu agama yang mana pemimpin umatnya didaulat tidak menyentuh perempuan. Atas nama kesucian, mereka dilarang menyalurkan syahwatnya dalam pernikahan. Namun apa yang terjadi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pemuka agama mereka, dengan diam-diam mengambil jalan belakang. Ada yang terjerumus dalam lembah perzinaan, ada yang mengalami perilaku seksual menyimpang, dan ada pula yang mengalami ketertekanan dan keguncangan jiwa berkepanjangan. Di sisi lain, harus diakui bahwa dalam agama-agama yang menganjurkan pemukanya hidup membujang, justru angka perzinaan cukup tinggi.

Oleh karena itu, sungguh sangat bijak apa yang digariskan Islam melalui Rasūlullāh tentang larangan hidup membujang ini. Wallāhu a‘lam.

Catatan:

  1. 1). Tabbatul adalah memutuskan untuk tidak menikah selamanya (karena keinginan beribadah kepada Allah semata).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *