05,6 Jalan Menyalurkan Syahwat – Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual

40 HADITS SHAHIH
Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual
Oleh: Bintus Sami‘ ar-Rakily

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: Bagian 1 - Kewajiban Menyalurkan Hasrat Seksual

Jalan Menyalurkan Syahwat

Hadits ke-5

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ عَلْقَمَةَ وَ الْأَسْوَدِ عَلَى عَبْدِ اللهِ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ (ص) شَبَابًا لَا يَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ (ص): يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. (رواه البخاري)

Diriwayatkan dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Yazīd yang berkata: Bersama ‘Alqamah dan al-Aswad, aku menghadap ‘Abdullāh (bin Mas‘ūd). Saat itu, ‘Abdullāh berkata: Kami bersama Nabi s.a.w. saat kami muda, dan kami tidak memiliki apa-apa. Maka, Nabi s.a.w. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk bā’ah (menikah) hendaknya ia menikah. Sebab, pernikahan itu lebih membuat pandangan menunduk dan lebih membuat kemaluan terjaga.” (HR. al-Bukhārī).

 

Hadits ke-6

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ (ص) يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ (ص) فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا وَ أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ (ص) قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَ قَالَ ﺁخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ ﺁخَرُ أَنَا أَغْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ (ص) إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَ كَذَا أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ للهِ وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُوْمُ وَ أُفْطِرُ وَ أُصَلِّي وَ أَرْقُدُ وَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي. (رواه البخاري)

Diriwayatkan dari Anas bin Mālik yang berkata: Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah para istri Nabi s.a.w. Mereka menanyakan tentang ibadah yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. Ketika mereka diberitahu, mereka pun saling membicarakannya: “Sungguh, kita tidak ada apa-apanya dibanding Nabi. Padahal beliau telah diampuni segala dosanya, baik dosa yang terdahulu maupun yang akan datang.” Salah satu di antara mereka berkata: “Mulai saat ini aku akan mengerjakan shalat malam selamanya.” Yang lain berkata: “Aku akan berpuasa setahun penuh tanpa berbuka.” Yang lain lagi berkata: “Aku akan menghindari setiap perempuan. Aku tidak akan menikah selamanya.” Pada saat yang demikian datanglah Rasūlullāh s.a.w. Beliau bersabda: “Wahai kalian yang berkata demikian! Aku peringatkan, takutlah dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sebab, aku berpuasa namun aku juga berbuka. Aku shalat namun aku juga istirahat. Dan aku juga menikahi perempuan. Maka barang siapa membenci sunnahku ini, dia bukanlah golonganku.” (HR. al-Bukhārī).

Keterangan:

Dua Hadits di atas masih terkait dengan dua hadits sebelumnya tentang kewajiban menyalurkan hasrat seksual dan larangan hidup membujang. Hanya saja, dalam hadits ke-5 dan ke-6 ini, Rasul menunjukkan jalan dan memberikan petunjuk kepada kita bagaimana cara menyalurkan hasrat seksual secara benar. Dalam dua hadits ini, Rasul menegaskan bahwa dalam Islam, satu-satunya jalan yang absah untuk menyalurkan gelora syahwat adalah dengan menikah.

Ya, menikah adalah satu-satunya jalan. Tak ada jalan yang lain. Mengapa?

Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang pembosan. Manusia tidak senang dengan sesuatu yang monoton. Ketika ia telah mencapai tujuannya, ia tidak akan tertarik lagi untuk mengejarnya. Hal ini diakui, misalnya, oleh hukum ekonomi modern yang dicetuskan oleh Herman Henrich Gossen (1854). Teori atau kesimpulan yang kemudian dikenal dengan Hukum Gossen I itu berbunyi: “Jika kebutuhan manusia dipenuhi terus-menerus, maka kenikmatannya makin lama makin berkurang, hingga akhirnya mencapai titik nol.”

Di sisi lain, manusia juga selalu tertarik kepada misteri. Sesuatu yang belum dirasakannya, ingin ia coba. Sesuatu yang ditutup-tutupi, ingin ia buka. Rahasia yang disimpan dalam-dalam, selalu menggedor-gedor dirinya seakan meminta diberikan.

Dua karakter dasar menusia ini berlalu pula dalam tataran syahwat. Seseorang yang belum pernah bersenggama, akan selalu tertarik untuk melakukannya (apalagi jika rangsangan di sekitarnya merajalela). Pada kondisi ini, ia adalah manusia yang selalu tertarik oleh misteri. Namun ketika misteri ini terbuka, dan ia sudah menaklukkannya, pada suatu titik tertentu ia akan menjadi bosan. Lalu dengan gampang ia mencampakkan kekasihnya. Manis didapat, sepah pun dibuang.

Demikian pula yang akan terjadi jika hasrat seksual tidak diikat dalam sebuah pernikahan. Dua orang sejoli memadu kasih, mendekat, merapat, melekat, hingga akhirnya terjerumus untuk melampiaskan syahwat. Satu kali dua kali mungkin keduanya masih kurang; masih ingin mengulang. Namun, waktulah yang kemudian berbicara. Karena tak ada ikatan, gampang saja salah seorang di antara keduanya untuk mencampakkan. Apalagi jika keadaan itu ditambah dengan adanya pihak ketiga (perempuan/lelaki lain), yang tentu saja-karena belum ditaklukkan-masih menjadi misteri yang mengundang penasaran. Maka, pencampakkan demi pencampakkan akan terjadi. Skandal demi skandal menyeruak. Lalu, muncullah banyak korban bergelimpangan: baik itu laki-laki maupun (terutama) perempuan. Banyak anak-anak yang terganggu psikisnya karena ia tidak pernah melihat bapak atau ibunya. Dan karenannya, kekacauan pun melanda masyarakat manusia.

Oleh karena itu, Allah dan rasul-Nya menciptakan lembaga pernikahan sebagai satu-satunya jalan tempat manusia menyalurkan syahwatnya. Dalam pernikahan, kedua belah pihak bersumpah setia untuk menaati perjanjian, menetapi mitsāqan ghalīzhā. Firman Allah:

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mistāqan ghalīzhā).” (QS. an-Nisā’: 21)

Ketika sudah memasuki pintu pernikahan, seseorang mungkin menjadi bosan terhadap pasangannya. Namun karena ia diikat oleh sebuah perjanjian yang kuat, ia tidak akan mudah terjerumus untuk mencampakkannya. Ia akan berpikir puluhan kali untuk menceraikannya. Dan seiring berjalannya waktu, pikiran-pikiran nakal dan rasa bosan itu akan hilang dengan sendirinya. Kemudian, ia pun kembali ke pasangannya. Dan ketika ia telah kembali, pasti ada misteri lain yang tiba-tiba muncul, yang selama ini ternyata belum tersingkap olehnya. Sebab, meski seorang manusia merasa sudah mengenal orang lain secara lahir dan batin, ia tak akan pernah mampu mengenalnya secara utuh. Masih banyak sisi-sisi lain yang tidak dikenalnya, bahkan meski ia selalu bersama-sama sepanjang usianya.

Tanbīh: Tentang Trend Pernikahan Dini

Terkait dengan anjuran menikah ini, Rasulullah bersabda dalam hadits yang lain: “Ada tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan Allah. Yaitu: seorang budak mukatib yang ingin melunasi dirinya, seorang yang hendak menikah, dan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR. an-Nasā’i).

Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa seseorang yang memiliki keinginan besar untuk menikah berarti telah masuk dalam tanggungan Allah. Hal ini bukan berarti orang yang ingin menikah kemudian tiba-tiba akan menjadi kaya. Sebab, hadits ini ingin mengatakan bahwa siapa yang berkehendak menikah pasti akan ditolong Allah dengan segala kemungkinan ‘pertolongan itu’; bisa pertolongan yang berdimensi bendawi, bisa pula pertolongan yang berdimensi psikis atau ruhani. Bukankah Allah yang telah menciptakan syahwat di dalam dirinya? Bagamaina Allah tidak akan menolongnya ketika ia hendak menyalurkan syahwat tersebut di jalan yang diridhai-Nya?

Meskipun demikian, hendaknya seseorang tidak pula bersifat fatalis. Sebagaimana kita lihat akhir-akhir ini, fenoman ‘pernikahan dini’ seakan menjadi trend. Dengan alasan agama dan alasan demi menghindari fitnah syahwat, banyak anak muda berbondong-bondong melakukan pernikahan tanpa persiapan. Sikap yang demikian tentu saja juga kurang bijak. Sebab, pernikahan bukan semata-mata soal seks dan syahwat. Pernikahan juga membutuhkan mental yang kuat, ilmu yang memadai, persiapan-persiapan materi, dan juga persetujuan keluarga besar dari calon mempelai perempuan maupun lelaki. Semua faktor itu adalah beberapa pilah kehidupan rumah tangga yang sedikit banyak akan berpengaruh pada harmonis-tidaknya suatu pernikahan.

Oleh karena itu, seorang pemuda hendaknya berdiri di tengah-tengah: tidak fatalis, tidak pula terlalu perfeksionis dalam permasalahan menikah. Ia hendaknya berkonsultasi dengan beberapa orang yang sudah menikah, banyak membaca cerita-cerita tentang pernikahan, meminta nasihat orangtua ataupun orang yang dituakan, berguru kepada pengalaman orang-orang di sekitarnya, dan-yang tidak boleh dilupakan juga-harus meminta pendapat Allah dengan cara beristikharah.

Seorang yang hendak menikah harus berijtihad: apa yang paling baik bagi dirinya, tidak asal ikut-ikutan trend nikah muda yang menggejala. Jika ia dan calon istrinya merasa telah matang secara mental, mendapat dukungan dari kedua orang tua masing-masing (baik secara materi maupun non-materi), juga merasa yakin akan mampu menghidupi diri dan istrinya meski tidak memiliki modal dan harus dimulai dari nol, maka menikahlah. Namun jika masih ragu-ragu, apalagi tidak ada dukungan dari orangtua, lebih baik ia menahan gejolak syahwatnya dengan berpuasa. Sebab, puasa adalah perisai dan benteng pertahanan dari nafsu syahwat, sebagaimana sabda Nabi di atas. Jika diniatkan karena Allah semata, pahala menahan nafsu syahwat juga tidak kecil sebagaimana besarnya pahala menikah. Sebaliknya, dosa menelantarkan keluarga, menzalimi pasangan dan anak karena tidak dapat menafkahi mereka, juga tidak kecil sebagaimana besarnya dosa berzina.

Alhasil, hukum asal menikah adalah mubah. Namun, hukum ini bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, dan bisa pula menjadi haram, tergantung situasi dan kondisi yang melingkupinya. Jika seseorang sudah memiliki biaya, ia sudah memiliki pasangan dan hubungan keduanya sudah sedemikian jauh sehingga dapat terjerumus ke dalam perzinaan, maka pernihakan menjadi wajib hukumnya. Jika seseorang sudah mampu memberi nafkah keluarga, namun ia masih mampu menahan syahwatnya, menikah menjadi sunnah baginya.

Sebaliknya, pernikahan dapat menjadi makruh jika seseorang belum mampu memberi nafkah, sementara ia masih dapat menahan dirinya dari zina. Bahkan, pada saat tang demikian, ada pula ulama yang mengharamkannya. Di antaranya adalah para ulama dari Madzhab Maliki dan Hanafi. Dalam al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jazairi berpendapat bahwa perkawinan menjadi haram jika orang yang bersangkutan meyakini perkawinannya itu justru akan membawanya kepada hal-hal yang diharamkan. Sebab, selain demi mengharap pahala Allah, perkawinan dianjurkan oleh agama dalam rangka menjaga diri (hifzh an-nafs) dan menjaga reproduksi (hifzh an-nasl). Oleh karena itu, apabila perkawinan itu justru membawanya kepada perbuatan-perbuatan haram (semisal menyakiti orang lain, mengabaikan nafkah terhadap anak istri, mencari harta dengan jalan haram, dan lain-lain) maka ia telah berbuat dosa. Sebab, kemaslahatan yang hendak dicapai justru berbalik menjadi kemadharatan (kerusakan).(11) Wallahu a’alam.

Catatan:

  1. 1). Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, 2001 (Yogyakarta: Penerbit LkiS), hlm. 100.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *