Di dalam Zād-ul-Ma‘ād, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa puasa dimaksudkan tak lain adalah menahan syahwat dan menyapihnya dari hal-hal yang disenangi dan menundukkan nafsu. Penundukan tersebut tak lain agar seseorang siap dalam mencari tujuan kebahagiaan dan kenikmatan serta kesucian hidup yang abadi. Menahan lapar adalah sarana mengingat saudara yang miskin, menghambat tubuh agar tidak kebablasan menuruti tabiat yang dapat merusak kehidupan dunia dan akhirat. Puasa itu tali-temali orang bertaqwa, baju ziarah para mujāhidīn, serta sarana mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. bagi orang-orang yang ingin dekat.
Puasa adalah amalan untuk Allah s.w.t. Seorang menahan lapar dan dahaga untuk Allah s.w.t., Dzāt yang disembahnya, tak untuk yang lainnya. Dia meninggalkan kesenangan jiwa demi cinta dan ridha-Nya. Keikhlasan puasa adalah rahasia antara seseorang dan Allah s.w.t. dan tidak ada seorang pun dapat mengetahuinya. Manusia dapat melihat seseorang meninggalkan makan-minum secara empiris, tapi niat hati hanya Allah s.w.t. yang mengetahuinya.
Ibnu Qayyim menegaskan itulah hakikat puasa. Tubuh dan jiwa dijaga dari hal yang dapat merusak atau mendominasi jiwa. Puasa juga menjadi benteng masuknya unsur kotor ke dalam diri. Inilah mengapa puasa terkait kesehatan jiwa dan badan. Puasa adalah langkah pengambilalihan jiwa yang sehat bagi pengendalian diri yang secara bertahun-tahun yang barang kali sudah dikuasai syahwat. Maka dari itu, siapa yang memiliki keinginan besar dan ambisi tak terkendali, ia harus berpuasa sebab puasa adalah penawar bagi itu semua.
Buya Hamka mengatakan bahwa puasa adalah ibadah yang bertujuan untuk membangun dan memelihara hubungan baik antara manusia dengan Allah s.w.t. Dalam al-Qur’ān Allah s.w.t. berfirman, kita diwajibkan mengerjakan puasa ketaqwaan kita bertambah. Menurut Buya Hamka yang dimaksud dengan “la‘allakum tattaqūn” (agar kamu bertaqwa) adalah supaya hubunganmu dengan Allah s.w.t. selalu terpelihara dengan baik.
Dalam puasa, kita insyaf bahwa yang memerintahkan kita adalah Allah s.w.t. dan bukan sesuatu yang lain. Kalau sekiranya ada orang lain yang melarang kita makan dan minum di siang hari, kita tidak akan setia mengikuti perintah orang itu. Di sinilah akan timbul kontak diri kita dengan Allah s.w.t., apabila kita telah mengerjakan perintah itu dengan insyaf, maka dengan sendirinya kita tidak akan merasa kesepian dalam hidup ini karena kita merasa ada hubungan dengan Allah s.w.t.
Banyak orang mengatakan bahwa puasa bentuk pengekangan kebebasan manusia. Namun, menurut Buya Hamka justru sebaliknya, puasa adalah manifestasi kebebasan jiwa. (liberty of soul). Melalui ibadah puasa, jiwa dididik dengan pendisiplinan dari yang kental untuk kembali kepada akar dari tuntutan nafsu yang terkadang tidak terkendalikan menandakan kemerdekaan jiwa yang sebenar-benarnya.
Puasa adalah pendidikan mengatur diri sendiri, sebab, orang yang tidak sanggup mengatur diri sendiri, maka jangan berharap akan dapat mengatur orang lain. Puasa adalah introspeksi diri, mengatur dan menguasai hawa nafsu diri untuk membentuk jiwa yang kokoh, dan jiwa yang kokoh harus dilatih paling tidak satu bulan dalam satu tahun.
Makna puasa bagi Quraisy Shihab terkait dengan makna taqwa yang tak lain adalah “menghindar”, “menjauhi”, atau “menjaga diri”. Kalimat perintah ittaqullāh secara harfiah berarti “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari (murka) Allah.”
Menghindari siksa Allah s.w.t. dimulai dengan merasakan kehadiran-Nya. Dengan demikian, yang bertaqwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah s.w.t. Setiap saat bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah s.w.t. melihatnya. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, dan puasa adalah salah satu jalannya.
Puasa menurut Quraish (Shihab) adalah langkah meneladani sifat-sifat Allah s.w.t. Manusia butuh makan, minum, dan hubungan seks. Sementara Allah s.w.t. memperkenalkan Diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri. “Dan sesungguhnya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak pula beranak.” (QS. al-Jinn [72]: 3).
Allah juga adalah Dzāt yang memberi makan dan Dia tidak diberi makan oleh siapa pun. “(Katakanlah Muḥammad) Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan….?” (QS. al-An‘ām [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontoh sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks. Lewat ketiga sifat ini manusia dapat menjelajahi sifat-sifat Allah yang lain yakni Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Mengampuni, Maha Kuat, Maha Mengetahui, Maha Lembut, dan lain-lain. Peneladanan inilah yang akan membawa manusia dapat menghadirkan Tuhan dalam kesasarannya.
Selain itu, menurut Quraish (Shihab), makna puasa dapat diraih dengan mengelaborasi makna kata “shiyām” yang terambil dari akar kata “shawama” yang maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti atau tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shā’im. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas apa pun dinamai shā’im (berpuasa). Menahan dalam kajian sufistik adalah menahan dari hal jasmani dan juga menahan diri dari berbuat dosa.