3. PUASA DAN AL-QUR’ĀN.
Untuk memaknai kesucian puasa, kita dapat menemukan dan menangkap maknanya melalui al-Qur’ān. Al-Qur’ān diturunkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Ramadhān, bulan di mana puasa diwajibkan. Al-Qur’ān adalah firman Allah s.w.t. yang terjaga kesuciannya dari zaman awal hingga zaman akhir. Al-Qur’ān diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dengan perantara Rūḥ-ul-Amīn (Malaikat Jibril) dan caranya tidaklah sekali turun, tetapi berangsur-angsur dari ayat ke ayat.
Pernahkah anda bertanya mengapa al-Qur’ān diturunkan Allah s.w.t. pada bulan Ramadhān? Jika merenungi ayat ke-79 surah al-Wāqi‘ah [57], maka kita dapat memetik sebuah benang merah. Allah s.w.t. berfirman: “Tidak ada yang menyentuh al-Qur’ān kecuali orang-orang yang disucikan.” Itulah intinya: Kesucian!
Al-Qur’ān itu suci karena al-Qur’ān adalah Firman Allah s.w.t. Sang Pencipta, Dzāt Yang Sempurna yang bebas dari kekurangan dan kefana’an. Sesuatu yang suci sudah selayaknya diturunkan di waktu yang suci pula. Maka amatlah pantas jika al-Qur’ān turun pada bulan Ramadhān, bulan yang penuh berkah dan ampunan, bulan di mana manusia melakukan satu ‘amal yang disebut Allah s.w.t. sebagai amalan untuk Diri-Nya yaitu puasa. Itulah mengapa pada bulan Ramadhān al-Qur’ān lebih sering dibaca dan diingat orang, karena itulah saat-saat dua kesucian bertemu.
Al-Qur’ān yang suci dan turun di bulan suci adalah sebuah kitab yang diturunkan Allah s.w.t. bagi seorang hamba-Nya. Ayat-ayatnya gencar diperdengarkan dan mushhafnya begitu banyak kita temui. Tapi sebagaimana kesucian al-Qur’ān yang terjaga dari kekurangan hingga hari akhir, zhahir al-Qur’ān dan kandungannya juga terjaga dari batin dan tangan yang kotor. Batin siapa pun akan terhalang untuk menyentuh al-Qur’ān dan memasuki kedalaman maknanya kecuali jika diri itu dapat lepas dari najis secara lahir dan batin serta diterangi oleh cahaya ta‘zhim dan penghormatan atas setiap huruf yang tertera di dalamnya.
Al-Qur’ān adalah kitab suci yang diturunkan pada saat yang suci dan hanya dapat disentuh oleh orang yang berniat menyucikan hatinya dan disucikan oleh-Nya. Maka betapa dahsyat hubungan al-Qur’ān dengan manusia karena label bagi hubungan itu tak lain adalah kesucian. Pertemuan tiap-tiap hamba dengan al-Qur’ān juga hanya dapat tercipta di atas “tikar putih” yang juga bernama kesucian.
Maka tak heran pula, bagi siapa pun yang ingin menempuh jalan penyucian jiwa, ia tidak dapat lepas dari al-Qur’ān. Al-Qur’ān seperti kata Sa‘īd Ḥawwā’, adalah pelita penerang hati yang menyempurnakan segala macam ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan membacanya. Al-Qur’ān menyempurnakan fungsi ibadah. Terkhusus pada masalah puasa, al-Qur’ān akan dapat disentuh lebih dalam maknanya, sebab jiwa orang berpuasa adalah jiwa ikhtiar yang ingin selalu berada dalam kesucian Allah s.w.t.
4. PUASA MENURUT IMĀM AL-GHAZĀLĪ.
Sudah mahsyur diketahui bahwa al-Ghazālī membagi puasa dalam tiga tingkatan yang terkait erat dengan tingkatan hati dan jiwa orang yang bersangkutan yakni (1) puasa awam; (2) khusus; dan (3) paling khusus.
Fokus dari puasa awam adalah menahan perut dan kemaluan. Sementara puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari berbagai dosa. Puasa yang paling khusus adalah puasa hati dari ambisi yang hina serta pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala sesuatu selain Allah s.w.t. secara total. Inilah puasa tingkatan para Nabi dan orang-orang yang dekat dengan Allah s.w.t. Puasa ini adalah puasa yang menghadap sepenuh tekad kepada Allah s.w.t. dan memalingkan wajah dan hati sejauh mungkin dari yang selain-Nya.
Umumnnya puasa yang kita lakukan adalah puasa awam, yakni puasa yang hanya menahan haus dan lapar saja. Sa‘īd Ḥawwā’ yang menadabburkan pemikiran al-Ghazālī menyebut setidaknya ada 6 syarat agar puasa awam dapat ditingkatkan ke khusus.
1. Menjaga pandangan dari hal tercela dan dibenci. Tak hanya menahan, namun pandangan itu juga harus ditundukkan. Pandangan yang dimaksud adalah pandangan yang dapat menimbulkan syahwat, pandangan yang dapat membuat hati marah, pandangan yang memicu iri dan kedengkian, serta segala pandangan yang dapat mengganggu hati dan melalaikan dari mengingat Allah s.w.t.
2. Menjaga lisan. Inilah adab puasa yang sering kita dengar namun sangat sulit untuk dikerjakan. Jika pandangan diibaratkan Rasūlullāh s.a.w. sebagai panah beracun, maka lisan tak lain adalah sabetan pedang yang dapat membunuh dan merusak. Hal ini didapat dari lisan yang berbicara hal tak berguna, lisan yang berdusta, membicarakan ‘aib orang (ghibah), lisan yang memfitnah dan mengadu-domba. Puasa siapa pun akan rusak jika lisan tidak dijaga. Karenanya diam adalah pilihan terbaik yang dapat ditambah dengan dzikir dan membaca al-Qur’ān. Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan jika ada orang yang menyerang, mengajak bertengkar, serta berdebat yang dapat memicu lisan mengeluarkan kata-kata buruk, katakanlah: “Sesungguhnya saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa.”
3. Menjaga pendengaran. Hal yang dapat merusak hati melalui pendengaran adalah ghibah. Jika kita dapat menahan lisan untuk tidak berkata hal yang buruk dan tercela, maka telinga juga mesti ditahan untuk tidak mendengarkan hal-hal buruk. Memilih pergi jika ada perkataan mengandung ghibah dan keburukan baik dari orang lain, radio, atau televisi (dan zaman sekarang HP, Komputer, dll. – SH.) , adalah langkah kongkret dari hal ini. Telinga mesti dilatih mendengarkan perkataan mulia sesering mungkin misalnya mendengar nasihat, al-Qur’ān, serta perkataan berguna di majelis-majelis ilmu.
4. Menahan anggota tubuh dari perbuatan dosa. Menahan tangan dan kaki dari perbuatan yang dibenci serta menahan perut memakan makanan yang syubhat pada saat berbuka puasa. Sungguh tidak berguna apabila di siang hari kita menahan diri dari makanan dan minuman yang halal namun berbuka dengan barang yang haram. Ibaratnya seperti membangun sebuah istana tapi kemudian diteruskan dengan menghancurkan sebuah kota.
5. Memakan makanan – sekalipun itu halal – secara berlebihan ketika berbuka juga sangatlah berbahaya. Tujuan puasa untuk melatih kesabaran menjadi tidak relevan jika pada saat berbuka nafsu dilepas untuk memakan segala rupa. Menurut Sa‘īd Ḥawwā’, memakan makanan halal ketika berbuka seperti memakan obat saat sedang sakit. Obat hanya baik jika dikonsumsi sedikit dan seperlunya dan sangat berbahaya jika dikonsumsi banyak.
6. Sedangkan perkara yang terakhir adalah menambatkan hati antara cemas (khauf) dan harap (rajā’), sebab setiap orang tak ada yang mengetahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah s.w.t. Hal ini dapat menghindarkan hati dari riya’ dalam ber‘amal. Ia merasa sudah berpuasa lantas merasa menjadi orang shalih padahal ia tak tahu sama-sekali puasanya diterima atau tidak. Mestilah hati berada dalam kondisi harap dan cemas itu agar mawas diri, karena jika amalannya ditolak ia akan menjadi orang yang dimurkai.