Bab-ul-Kalam (Sabda) – Tata Bahasa Sufi

Dari Buku:
Tata Bahasa Sufi – Mengungkap Spiritualitas
Matan Jurumiyah
Oleh: Imam Ibnu ‘Ajibah al-Hasani r.a.

Penerjemah: H. Abdul Aziz Sukarnawadi, MA.
Penerbit: Badan Penerbitan dan Penerjemahan Nahdlatul Wathan (BPPNW)

بَابُ الْكَلَامِ

Bab-ul-Kalam (Sabda)

 

الْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيْدُ بِالْوَضْعِ.

Kalām adalah lafaz yang terdiri (murakkab) dari ucapan dan keadaan. Artinya, seseorang yang berbicara hendaknya berbicara sesuai keadaan hati jernihnya, dan terungkap dengan maksud mengingatkan kepada Allah s.w.t. Kalām juga seyogyanya memberi manfaat (mufīd) bagi para pendengar, baik untuk intelektual maupun spiritualnya. Tak heran mengapa cahaya ahli hikmah selalu mendahului perkataannya, karena kalām apabila keluar dari hati, maka akan mudah sampai ke hati, sehingga melahirkan rasa takut kepada Allah ataupun rindu berjumpa dengan-Nya. Namun, apabila keluar dari lisan, maka sasarannya hanyalah telinga belaka.

Kalām juga merupakan lafaz yang tersusun dari ucapan dan perbuatan. Apabila kalām sunyi dari perbuatan, maka ia tidak akan berguna (mufīd) bagi mendustakan perkataannya. Seorang pembicara yang budiman adalah yang berbuat sebelum berbicara, sebagaimana nasehat seorang penyair yang mengatakan:

يَا أَيُّهَا الرّجُلُ الْمُعَلِّمُ غَيْرَهُ
هَلْ لَا لِنَفْسِكَ كَانَ ذَا التَّعْلِيْمُ
تَصِفُ الدَّوَاءَ لِذِي السَّقَامِ وَ ذِي الضَّنَى
كَيْمَا يَصِحُّ بِهِ وَ أَنْتَ سَقِيْمُ
وَ تَرَاكَ تَلْقَحُ بالرَّشَادِ عُقُوْلنَا
نُصْحًا وَ أَنْتَ مِنَ الرَّشَادِ عَدِيْمُ
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَانْهَهَا عَنْ غَيِّهَا
فَإِذَا انْتَهَتْ عَنْهُ فَأَنْتَ حَكِيْمُ
فَهُنَاكَ يَقْبَلُ مَا نَقُوْلُ وَ يَقْدَى
بِالْوَعْظِ مِنْكَ وَ يَنْفَعُ التَّعْلِيْمُ
لَا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَ تَأْتِيْ مِثْلَهُ
عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ

Wahai engkau yang mengajar kesana kemari,
Sudahkah engkau mengajari diri sendiri?

Jangan kau obati orang yang sedang menderita,
Sedang kau sendiri masih terlonta-lonta.

Jangan kau umbar segala petunjuk,
Sedang kau sendiri nyaris terkutuk.

Mulailah dari diri sendiri. Janganlah tertipu,
Bila ingin bijak, selamatkanlah jiwamu.

Saat itulah ucapanmu menjadi panutan mulia,
Dan kau pantas mendidik siapa saja.

Jangan kau larang orang berbuat keji,
Bila kau sendiri yang melakukannya, maka kau sangatlah keji.

Adapun kalam yang mufīd (berguna) bagi pelakunya sendiri adalah setiap ucapan yang meliputi hati dan lisan, yang berguna sebagai penerang nurani dengan cahaya dzikir lisan, dzikir qalbu, dan dzikir ruh. Selain kalām mulia tersebut, maka hanyalah sia-sia dan semua belaka. Allah s.w.t. berfirman:

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ.

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyeru memberi sedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (11)

Dengan demikian maka setiap kalam akan menjadi beban berat bagi pengucapnya, kecuali dzikir menyebut nama Allah s.w.t. sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:

رَحِمَ اللهُ عَبْدًا سَكَتَ فَسَلِمَ أَوْ تَكَلَّمَ فَغَنِمَ.

“Allah merahmati hamba yang diam tapi nurut, (juga bisa diartikan: diam maka ia selamat – S.H.) atau berbicara tapi memberi petunjuk (juga bisa diartikan: berbicara maka ia mendapatkan keuntungan – S.H.).”

Dan seorang ahli hikmah berkata:

لَوْ قُدِّرَ الْكَلَامُ عِنْدَ النَّاسِ
مِنْ فِضَّةٍ بَيْضَاءَ فِي الْقِيَاسِ
إِذًا لَكَانَ الصَّمْتُ مِنْ أَعْلَى الذَّهَبِ
فَافْهَمْ هَدَاكَ اللهُ آدَابَ الطَّلَبِ.

Andaikan bicara adalah perak termurni,
Maka diam adalah emas tertinggi.

Syaikh al-Būzaidī r.a. pernah berkata: “Orang mulia adalah yang menunaikan seribu hajat hanya dengan satu kata, sedang orang pendusta adalah yang mengeluarkan seribu kata tapi satu hajat pun tidak ditunaikannya.”

Orang yang benar-benar ingin lekas sampai adalah yang berdzikir, bertafakkur, membaca al-Qur’an, shalat, menasehati, dan mendengarkan nasehat. Waktu, gerakan, dan diamnya senantiasa dipenuhi keikhlasan. Apabila ia berbicara maka ia berdzikir atau berkata yang mendekatkannya kepada Allah, dan apabila ia diam maka ia diam dari umpat-mengumpat. Apabila ia bergerak maka ia bergerak dengan Allah dan menuju Allah, dan apabila ia tidak bergerak maka ia tetap bersama Allah dan menafikan dirinya (fanā’) di hadapan Allah. Takwa adalah bekalnya, dan qanā‘ah (selalu merasa cukup) adalah kekayaannya. Ia selalu berenang dalam lautan makrifat sehingga ia membuang dunia dan hawa nafsunya dan menjadikan Allah sebagai pelita hidupnya.

Diam memiliki hikmah-hikmah rahasia yang hanya dapat dicicipi oleh mereka yang telah dipilih Allah dan berakhlak dengan akhlak Allah.

وَ أَقْسَامُهُ ثَلَاثَةٌ إِسْمٌ وَ فِعْلٌ وَ حَرْفٌ جَاءَ لِمَعْنَى.

Kalām yang dapat menyampaikan kepada Allah ada tiga macam:

Pertama, isim. Yaitu dzikir isim mufrad “Allah”, sebagaimana firman-Nya:

وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبَّكَ وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا.

Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadanya dengan penuh ketekunan.” (22).

Isim mufrad “Allah” adalah raja seluruh asmā’ Allah, maka setiap murid hendaknya berdzikir dengan isim mufrad “Allah” menggunakan lisannya dan bergoyang dengannya hingga mendarah-daging padanya, dan mengalir cahaya-cahayanya dalam jiwa dan raganya. Selanjutnya dzikir berpindah dari lisan ke hati kemudian ke ruh dan jiwa, dan pada saat itu ia dapat menyaksikan Allah (musyāhadah) sehingga dzikir lisan menjadi dosa baginya, sebab ia telah dianugerahi yang jauh lebih tinggi darinya. Karena sungguh, pahalanya orang-orang abrār adalah dosanya orang-orang muqarrabīn.

Seorang wali berkata:

الذِّكْرُ بَابٌ عَظِيْمٌ أَنْتَ دَاخِلَهُ
فَاجْعَلْ لَهُ الْأَنْفَاس حُرَّاسَا

Dzikir adalah pintu teragung yang dapat kau masuki,
Maka jadikanlah dzikir sebagai lentera jiwa dan hati
.”

Kedua, fi‘il. Yaitu jihad melawan hawa nafsu melalui sebuah upaya mendobrak penghalang-penghalang suluk semisal banyak bicara, banyak makan, cinta tahta, gila harta, dan lain sebagainya.

Tanamkanlah sifat rendah hati. Jangan terlalu berharap pada pujian manusia, sebab mengharapkan ridha manusia adalah menghindari ridha Sang Pencipta. (33) Dan puncak perjalanan spiritual seorang murid ialah apabila ia bebas dari hawa nafsunya.

Ketiga, hurūf. Yaitu semanggat baja untuk sampai kepada Allah s.w.t. Huruf sangat dibutuhkan di awal perjalanan, namun pada akhirnya, huruf itu akan dibuang. Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: “Huruf antara kau dan Allah lebih mulia dari huruf antara kau dan makhluk.” Huruf di sini adalah huruf yang bercahaya berupa keinginan tinggi untuk mencapai ridha Allah s.w.t. Namun ada lagi huruf lain yang gelap gulita. Ia adalah sifat rakus terhadap tahta dan dunia.

Bagian-bagian kalam di atas (isim, fi‘il, dan ḥurūf) juga mengisyaratkan kepada syariat, tarekat, dan hakikat. Syariat adalah sabda-sabda Nabi s.a.w., tarekat adalah perbuatan-perbuatan beliau, dan hakikat adalah keadaan-keadaan beliau. Sebagaimana sabda beliau s.a.w.:

الشَّرِيْعَةُ مَقَالِيْ، وَ الطَّرِيْقَةُ فِعَالِيْ، وَ الْحَقِيْقَةُ حَالِيْ.

Syari‘at adalah sabdaku, tarekat adalah perbuatanku, dan hakikat adalah keadaanku (ruhaniku).

Syari‘at adalah pengabdian kepada Allah, tarekat adalah perjalanan menuju Allah, dan hakikat adalah penyaksian kepada Allah.

Syari‘at adalah ucapan berharga, tarekat adalah perbuatan mulia, dan hakikat adalah rasa nikmat tiada tara.

Syari‘at untuk ‘awām (orang-orang umum), tarekat untuk khawāsh (orang-orang khusus), dan hakikat untuk khawāsh-ul-khawāsh (orang-orang paling khusus).

Orang-orang ‘awām hanya berpegang kepada syari‘at saja, sedangkan orang-orang khawāsh berpegang kepada syari‘at dan diiringi dengan suluk dalam tarekat, adapun orang-orang khawāsh-ul-khawāsh zahirnya bersyari‘at dan batinnya bertarekat, hingga mereka disinari cahaya-cahaya hakikat dengan berakhlak mulia sebagaimana akhlak Rasulullah s.a.w. Mereka adalah para pewaris tulen Baginda Rasul s.a.w.

Imām al-Qusyairī ketika menafsirkan ayat:

فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَ مِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ.

Dan di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang di pertengahan, dan di antara mereka ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan.” (44)

Beliau menafsirkannya bahwa “yang menganiaya diri mereka sendiri” adalah mereka yang berpegang kepada sabda-sabda Rasulullah s.a.w. (55) sedangkan “yang di pertengahan” adalah mereka yang berpegang kepada sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan Rasulullah s.a.w., adapun “yang lebih dahulu berbuat kebaikan” adalah mereka yang berpegang kepada sabda-sabda, perbuatan-perbuatan, serta akhlak Rasulullah s.a.w.

فَالْإِسْمُ يُعْرَفُ بِالْخَفْضِ وَ التَّنْوِيْنِ وَ دُخُوْلِ الْأَلِفِ وَ اللَّامِ وَ حُرُوْفِ الْخَفْضِ.

Allah s.w.t. (yang diisyaratkan oleh isim mufrad-Nya) dapat digapai ridha-Nya (makrifat) melalui sifat kerendahan hati (khafdh). Dengan kerendahan hati itu tingkatan makrifat dapat dicapai, sebab seorang penyair berkata:

تَذَلَّلْ لِمَنْ تَهْوَى فَلَيْسَ الْهَوَى سَهْلُ
إِذَا رَضِيَ الْمَحْبُوْبُ صَحَّ لَكَ الْوَصْلُ.

Rendahkan hatimu pada yang kau cintai, karena cinta tidaklah mudah.
Apabila ia telah meridhaimu maka aku telah sampai dan bersenanglah
.”

Penyair lain mengatakan:

تَذَلَّلْ لِمَنْ تَهْوَى لَتَكْسِبَ عِزَّةً
فَكَمْ عِزَّة قَدْ نَالَهَا الْمَرْءُ بِالذُّلِّ
إِذَا كَانَ مَنْ تَهْوَى عَزِيْزًا وَ لَمْ تَكُنْ
ذَلِيْلًا لَهُ فَاقْرَأِ السَّلَامَ عَلَى الْوَصْلِ.

Rendahkan hatimu pada yang kau cintai, niscaya kemuliaan segera kau dapati,
Betapa banyak orang-orang mulia, mereka jadi mulia karena rendah hati.

Jikalau mulia yang kau cintai, dan di hadapannya kau merasa tinggi,
Maka jangan pernah berharap sampai kepada Tuhan Yang Maha Suci
.”

Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: “Betapa banyak orang hina namun akhirnya menjadi mulia, dan betapa banyak orang menghilang namun akhirnya berjumpa.” Kehinaan yang dimaksud ialah kerendahan hati (tawādhu‘) demi menggapai ridha Allah s.w.t. hingga matilah nafsu dan hiduplah ruh dengan ilmu makrifat dan musyāhadah kepada Allah s.w.t.

Makrifat juga dapat diraih dengan tanwīn. Tanwīn di sini ada empat macam:

Pertama, tanwīn-ut-tamkīn, yaitu anugerah mencintai dan mengikuti seorang syaikh yang sempurna hingga meraih musyahadah ilahiyyah.

Kedua, tanwīn-ut-tankīr, yaitu anugerah menjauhi orang-orang yang menghalangi perjalanan menuju Allah s.w.t.

Ketiga tanwīn-ul-‘iwadh, yaitu anugerah menukar segala kekejian dengan kebajikan.

Keempat, tanwīn-ul-muqābalah, yaitu anugerah beribadah dengan segala ketundukan hati demi keagungan Ilahi, hingga segala ketundukan hati demi keagungan Ilahi, hingga dikaruniai kekayaan dan kekuatan yang penuh arti serta sifat-sifat yang terpuji.

Makrifat juga dapat dicapai dengan masuknya alif dan lām. Alif dan lām di sini mengisyaratkan sampainya seorang murid pada kawasan suci di alam ghaib, ialah kawasan musyāhadah.

Makrifat juga dapat diperoleh melalui huruf-huruf khafdh atau huruf-huruf jarr, yaitu hal-hal yang memikat kerendahan dan ketundukan hati alias tawādhu‘.

وَ هِيَ مِنْ وَ إِلَى وَ عَنْ وَ عَلَى وَ فِيْ وَ رُبَّ وَ الْبَاءُ وَ الْكَافُ وَ اللَّامُ.

Adapun hal-hal yang memikat ketundukan hati (huruf-huruf jarr) itu ada sembilan:

Pertama, min (dari), yaitu awal perjalanan menuju Allah dengan kesungguhan mengikuti seorang syaikh.

Kedua, ilā (ke), yaitu akhir perjalanan dengan kesungguhan menyaksikan Allah. Dan dalam hal ini manusia dibagi tiga. Pertama, orang awam yang merasa cukup dengan keislamannya dan tidak mau bersuluk. Kedua, orang baik-baik yang banyak melakukan ibadah namun tanpa mengikuti seorang syaikh. Dan ketiga, orang mulia yang dibimbing seorang syaikh menuju Allah s.w.t.

Huruf jarr ketiga adalah ‘an (dari/melalui), yaitu berpaling dari segala penghalang suluk, sebagaimana pernyataan Syaikh al-Būzaidī bahwasanya tidak akan pernah sampai seorang murid kepada Tuhannya apabila di hatinya masih terdapat satu penghalang saja, sebab Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادَى.

Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri.” (66).

Yang dimaksud dengan “furādā/sendiri-sendiri” dalam ayat di atas adalah dalam keadaan bersih dari segala penghalang dan penyibuk hati.

Keempat, ‘ala (atas), yaitu pengendalian yang kuat atas belenggu nafsu hingga selalu di bawah petunjuk Tuhan, sebagaimana firman-Nya:

أُولئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.

Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (77)

Kelima, fī (di/dalam), yaitu keberhasilan memasuki singgasana musyāhadah alias perjalanan dalam kekuasaan Allah setelah berjalan menuju-Nya. Allah s.w.t. berfirman:

وَ قَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ.

Dan Nabi Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku berjalan menuju Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (88).

Keenam, rubba (sedikit), yaitu isyarat kepada minimnya orang-orang mulia, sebagaimana firman Allah s.w.t.:

وَ قَلِيْلٌ مَا هُمْ.

Dan sedikitlah mereka ini.” (99).

Dan firman-Nya:

وَ قَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ.

Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (1010).

Allah juga berfirman:

أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ.

Kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (1111).

Ketujuh, bā’ (dengan), yaitu merasa cukup dengan Allah dalam setiap langkah, serta menjauhi segala yang memalingkan hati dari-Nya.

Kedelapan, kāf (seperti), yaitu upaya menyerupai dan menirukan orang-orang mulia dalam pakaian, akhlak, dan perjalanan hidup mereka, sebab menyerupai mereka adalah menjadi bagian dari mereka juga, dengan syarat amal dan ikhlas. Seorang ahli hikmah mengatakan:

تَشَبَّهُوْا بِالْكِرَامِ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
إِنَّ التَّشْبِيْهَ بِالْكِرَامِ فَلَاحُ.

Walau tak ada kesamaan, tirulah orang-orang mulia,
Walau sekedar tiruan, yakinlah anda kan jaya
.”

Kesembilan, lām (untuk), yaitu isyarat kepada kesuksesan meraih kewalian tertinggi sehingga dianugerahi izin mengontrol alam semesta sesuka hati. Mengontrol alam semesta sesuka hati di sini adalah mengatur perjalanan takdir sesuai izin yang diberikan Allah s.w.t. kepada hatinya yang telah bening, suci, dan jernih dari segala jenis noda.

وَ حُرُوْفُ الْقَسَمِ وَ هِيَ الْوَاوُ وَ الْبَاءُ وَ التَّاءُ.

Makrifat juga diperoleh melalui huruf-huruf sumpah, yaitu: wāw, bā’, dan tā’. Hal ini mengisyaratkan sumpah dan doanya para wali yang pasti benar dan terkabulkan. Rasulullah s.a.w. bersabda:

رُبَّ أَشْعَثِ مَدْفُوْعٌ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لِأَبَرَّهُ.

Betapa banyak pengemis berambut kusut yang ditolak di depan pintu-pintu, tapi jika ia bersumpah dengan nama Allah maka sumpahnya pasti benar.” (1212).

Maka tentulah para wali Allah jauh lebih sakti dan sumpahnya lebih benar serta doanya lebih terkabulkan.

وَ الْفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ وَ السِّيْنِ وَ سُوْفَ وَ تَاءِ التَّأْنِيْثِ السَّاكِنَةِ.

Sedangkan fi‘il (jihad melawan hawa nafsu) dapat dicapai melalui empat hal:

Pertama, qad, yaitu tekad yang bulat untuk berbuat baik dan bersuluk menuju Allah s.w.t.

Kedua, dan ketiga, sīn dan sawfa, yaitu meninggalkan kebiasaan menunda-nunda perbuatan mulia.

Keempat, tā’ ta’nīts yang mati, yaitu meninggalkan pergaulan yang berlebihan dengan kaum wanita agar selamat dari fitnahnya, sebab fitnah wanita adalah penghalang suluk yang paling berbahaya. Rasulullah s.a.w. bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (1313).

Tak heran mengapa para leluhur sufi dahulu sering melarang para murid untuk menikah kecuali setelah mengikuti bimbingan dan petunjuk seorang syaikh.

وَ الْحَرْفُ مَا لَا يَصْلُحُ مَعَهُ دَلِيْلُ الْإِسْمِ وَ لَا دَلِيْلُ الْفِعْلِ.

Adapun hurūf (semangat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.), maka berbahagialah seorang murid apabila perjalanannya menjadi lancar, dan menderitalah ia apabila ia bersuluk dengan niat mencari tahta atau harta, dan sia-sialah semua amal perbuatannya di dunia hingga di akhirat ia menjadi orang yang paling merugi nasibnya.

Catatan:

  1. 1). An-Nisā’: 114.
  2. 2). Al-Muzzammil: 8.
  3. 3). Tentunya ridha manusia yang dimaksud adalah yang bersebrangan dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
  4. 4). Fāthir: 32.
  5. 5). Menganiaya diri sendiri di sini maksudnya: masih pada langkah awal dan harus menempuh jalan berikutnya yang cukup panjang.
  6. 6). Al-An‘ām: 94.
  7. 7). Luqmān: 5.
  8. 8). Ash-Shāffāt: 99.
  9. 9). Shād: 24.
  10. 10). Saba’: 13.
  11. 11). Az-Zumar: 29
  12. 12). H.R. Muslim.
  13. 13). Bukhari dan Muslim.

2 Komentar

  1. Chabib berkata:

    Assalamualaikum..
    Mf mas sya mau bertanya, kok terjemahan tata bahasa sufi tidak dilanjutkan ya?. Padahal itu sangat penting. Syukron.

    1. Wa ‘alaikum salam, mohon maaf baru sempat kami balas. In sya Allah besok akan mulai dipasang lanjutannya utk kitab Tata Bahasa Sufi. Terima kasih. ??

Tinggalkan Balasan ke Majlis Dzikir Hati Senang Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *