بَابُ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى الْمُبْتَدَأِ وَ الْخَبَرِ
بَابُ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى الْمُبْتَدَأِ وَ الْخَبَرِ
وَهِيَ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا وَ إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا وَ ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا
فَأَمَّا كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا فَإِنَّهَا تَرْفَعُ الْاِسْمَ وَ تَنْصِبُ الْخَبَرَ وَ هِيَ كَانَ وَ أَمْسَى وَ أَصْبَحَ وَ أَضْحَى وَ ظَلَّ وَ بَاتَ وَ صَارَ وَ لَيْسَ وَ مَا زَالَ وَ مَا انْفَكَّ وَ مَا فَتِئَ وَ مَا بَرِحَ وَ مَا دَامَ وَ مَا تَصَرَّفَ مِنْهَا نَحْوُ كَانَ وَ يَكُوْنُ وَ كُنْ وَ أَصْبَحَ وَ يُصْبِحُ وَ أَصْبِحْ تَقُوْلُ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا وَ لَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ
وَ أَمَّا إِنَّ وَ أَخَوَاتِهَا فَإِنَّهَا تَنْصِبُ الاِسْمَ وَ تَرْفَعُ الْخَبَرَ
وَ هِيَ إِنَّ وَ أَنَّ وَ لكِنَّ وَ كَأَنَّ وَ لَيْتَ و لَعَلَّ تَقُوْلُ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ وَ لَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ وَ مَعْنى إِنَّ وَ أَنَّ لِلتَّوْكِيْدِ وَ لكِنَّ لِلاِسْتِدْرَاكِ وَ كَأَنَّ لِلتَّشْبِيْهِ وَ لَيْتَ لِلتَّمَنِّي وَ لَعَلَّ للتَّرَجِّيْ وَ التَّوَقُّعِ
وَ أَمَّا ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا فَإِنَّهَا تُنْصِبُ الْمُبْتَدَأَ وَ الْخَبَرَ عَلى أَنَّهُمَا مَفْعُوْلَانِ لَهَا وَ هِيَ ظَنَنْتُ وَ حَسِبْتُ وَ خِلْتُ وَ زَعَمْتُ وَ رَأَيْتُ وَ عَلِمْتُ وَ وَجَدْتُ وَ اتَّخَذْتُ وَ جَعَلْتُ وَ سَمِعْتُ تَقُولُ ظَنَنْتُ زَيْدًا مُنْطَلِقًا وَ خِلْتُ عَمْرًا شَاخِصًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ
Ketetapan-ketetapan Allah s.w.t. yang telah digariskan-Nya di papan azali masih dapat berubah atau diganti dengan ketetapan lain, dengan maksud menunjukkan kekuasaan Allah s.w.t. atas segala sesuatu, dan kasih-sayangNya terhadap segenap makhluk-Nya. Oleh karena itu, para sahabat pernah berdoa sebagai berikut:
اللهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَ لَا يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْمًا أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقترًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ فَامْحُ اللهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِيْ وَ حِرْمَانِيْ وَ طَرْدِيْ وَ إِقْتَارَ رِزْقِيْ وَ اثْبِتْنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيْدًا وَ مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ الْمُنْزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ:(يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ). إِلهِيْ بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِيْ لَيْلِةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانِ الْمُعَظَّمِ أَنْ تَرْفَعَ عَنَّا الْبَلَاءَ مَا نَعْلَمُ وَ مَا لَا نَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ
“Ya Allah Yang Maha Memberi anugerah dan tidak pernah dianugerahi. Hai Yang Maha Agung lagi Mulia, apabila Engkau telah mencatatku di Lauḥ-il-Mahfūzh sebagai orang yang menderita, tidak diberi nikmat, tidak diterima di sisi-Mu, atau tidak lancar rizkiku, maka hapuslah dengan kemuliaan/kemahaberlimpahan-Mu kesengsaraanku, nasib burukku, dan kesusahanku, lalu tetapkanlah diriku di Lauḥ-il-Mahfūzh sebagai hamba yang bahagia, kaya, dan senantiasa berbuat baik. Sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan kepada Nabi utusan-Mu: “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nyalah Lauḥ-il-Mahfūzh.” (271) Ya Allah, dengan keagungan anugerah-Mu di malam pertengahan Sya‘ban yang agung, cabutlah bencana dari kami, baik yang kami ketahui atau tidak kami ketahui. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Agung lagi Mulia. Shalawat serta salam kepada Sayyidina Muhammad, para sahabat, serta keluarga.” (282)
Namun yang dapat berubah hanyalah takdir yang bersifat mu‘allaq (fleksibel), adapun yang sudah mubram (paten) maka tidak dapat diganggu gugat oleh siapa saja.
Jika itu yang terjadi di papan azali, maka tentulah hati hamba lebih mudah goyah dan berubah. Apa yang tersingkap oleh hati seorang wali pun dapat berubah dengan penyingkapan-penyingkapan baru lainnya.
Demikian pula alam raya ini, perubahan demi perubahan terjadi silih berganti melalui kekuasaan Sang Maha Tetap lagi Maha Pengubah. Sebab, Allah s.w.t. adalah Maha Awal yang tak berawal (tidak memiliki permulaan), dan inilah yang diisyaratkan dengan kāna, sebuah simbol bahwasanya Allah s.w.t. dahulu kala tetap ada tanpa bentuk/rupa, dan tiada apapun/siapapun bersama-Nya.
Sang Maha Tetap lagi Maha Pengubah itulah yang kemudian menciptakan pagi, siang, sore, dan malam dengan simbol-simbol kekuasaan amsā, ashbaḥa, adhḥā, zhalla, dan bāta-Nya.
Allah pula yang menciptakan segala kezhahiran dan segala kebatinan dengan simbol kekuasaan shāra-Nya. Kemudian Allah pula yang membersihkan dan mensucikan ciptaan-Nya dengan simbol kekuasaan laisa-Nya.
Dan dalam segala keadaan, dengan simbol kekuasaan mā zāla, mā infakka, mā fati’a, mā bariḥa, dan mā dāma. Allah s.w.t. senantiasa tetap dan tidak berubah sebagaimana ciptaan-Nya. Terlebih sifat ketuhanan-Nya, akan tetap abadi selama-lamanya.
Simbol-simbol kekuasaan di atas adalah indikasi bahwa Allah s.w.t. Maha Agung lagi Mulia (tarfa‘-ul-isma). Allah s.w.t. juga Maha Kuasa menetapkan undang-undangNya terhadap seluruh ciptaan-Nya (tanshib-ul-khabara) tanpa kecuali.
Adapun inna dan saudari-saudarinya, maka ia merupakan simbol tentang keadaan-keadaan hati hamba yang terkadang tegar dengan sebuah tekad dan optimisme, dan terkadang pula lemah oleh angan-angan hampa dan pesimisme. Allah s.w.t. berfirman:
وَ لَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu berangan-angan dengan hampa terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.” (293).
Dan Allah s.w.t. berfirman:
وَ اسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءِ عَلِيْمًا
“Dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (304)
Adapun zhanantu dan saudari-saudarinya, maka ia merupakan simbol tentang keadaan-keadaan hati hamba yang terkadang merasakan keyakinan luar biasa dengan sebuah penyaksian kepada Allah melalui bimbingan dan tuntunan seorang syaikh, dan terkadang pula memperoleh keyakinan melalui sebuah penelitian ilmiah yang bertele-tele. Terkadang pula hati hamba masih dihantui berbagai syakwasangka hingga ia mati dalam keadaan ragu dan bimbang. Layaknya iman ahli kalam yang seumpama benang di awan, ia mudah tertiup oleh arus angin ke arah-arah yang penuh perbedaan.
Di antara para wali yang telah mencapai keyakinan tertinggi dengan penyaksian yang pasti adalah Syaikh ad-Darqāwī al-Ḥasanī, Syaikh al-Būzaidī,dan syaikh-syaikh agung lainnya. Adapun selain wali-wali seperti mereka maka imannya masih dipenjara kebimbangan bersama hantu-hantu keraguan dan bisikan-bisikan setan. Namun apabila mereka diselamatkan dari syakwasangka durjana itu, maka barulah mereka berpotensi menjadi hamba yang alim dan shalih.