Jawab:
Bukan termasuk kalimah fi‘il, karena kalimat fi‘il secara adhā’ (dicetak) untuk menunjukkan makna zaman, sedangkan isim fā‘il dan isim maf‘ūl tidak.
Rujukan:
وَ دَخَلَ بِقَوْلِنَا وَضْعًا الْوَصْفُ كَاسْمَيْ الْفَاعِلِ وَ الْمَفْعُوْلِ فَإِنَّهُ كَوْنَهُ حَقِيْقَةً فِي الْحَالِ لَيْسَ مِنْ وَضْعِهِ بَلْ بِطَرِيْقِ اللُّزُوْمِ مِنْ حَيْثُ إِنَّ الْحَدَثَ الْمَدْلُوْلَ لَهُ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ زَمَانٍ وَ لَا يَكُوْنُ حَاصِلًا حَقِيْقَةً إلَّا فِيْ حَالِ إِطْلَاقِهِ. تشويق الخلان صــــ 16.
Dengan ungkapan pengarang berupa “wadh‘an” bisa memasukkan sifat. Seperti isim fā‘il dan isim maf‘ūl. Karena adanya sifat secara hakikat adalah menunjukkan pada zaman ḥāl, bahkan dengan jalan ketetapan. Karena sesungguhnya pekerjaan itu menunjukkan pada zaman, namun tidak secara hakikat melainkan secara muthlaq.
Jawab:
Karena meskipun menunjukkan pada zaman tapi melalui perantara berupa makna yang terkandung di dalamnya yaitu makna amar dan mādhī.
Rujukan:
وَ لِقَائِلٍ أَنْ يَقُوْلَ أَسْمَاءُ الْأَفْعَالِ تَدُلُّ عَلَى أَلْفَاظٍ دَالَّةٍ عَلَى الزَّمَانِ الْمُعَيَّنِ وَ الدَّلُّ عَلَى الشَّيْءِ دَالٌ عَلَى ذلِكَ الشَّيْءِ فَهذِهِ الْأَسْمَاءُ دَالَّةٌ عَلَى الزَّمَانِ الْمُعَيَّنِ كَمَا قَدْ تَبَادَرَ مِنَ الْمَعْنَى الْحَاصِلِ مِنْهُ أُجِيْبَ بِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِيْ كُوْنِ اللَّفْظِ فِعْلًا دِلَالَتَهُ عَلَى الزَّمَانِ ابتِدَاءً وَ هذِهِ الْأَسْمَاءُ وَ إِنْ دَلَّتْ عَلَى الْمَعْنَى الْمَذْكُوْرُ لكِنْ بِوَاسِطَةٍ وَ هُوَ الْمَعْنَى الَّذِيْ هُوَ فِيْهِ مِنَ الْأَمْرِ وَ الْمَاضِيْ. تشويق الخلان صــــ 16.
Bagi ulama yang mengatakan bahwa isim fi‘il menunjukkan pada zaman tertentu, sebagaimana yang bisa dipahami dari maknanya, ini dikomentari bahwa yang dianggap adanya suatu lafazh bisa dikatakan fi‘il adalah menunjukkan zaman saat pertama kali fi‘il itu tercetak. Sedangkan isim fi‘il meskipun memiliki makna zaman namun makna ini dihasilkan melalui perantara.
Jawab:
Karena makna yang muncul dari pembagian tanwīn itu tidak bisa digambarkan selain pada isim.
Rujukan:
وَ إِنَّمَا اخْتُصَّ التَّنْوِيْنُ بِالاِسْمِ حَتَّى صَحَّ أَنْ يُجْعَلَ عَلَامَةً عَلَيْهِ لِأَنَّ الْمَعَانِي الَّتِيْ أَتَى بِتِلْكَ الْأَقْسَامِ لِأَجْلِهَا لَا تَصَوَّرَ فِيْ غَيْرِ الْاِسْمِ. يس فكهي صـــــ 19.
Sesungguhnya tanwīn dikhususkan pada isim sehingga tanwīn berpredikat sebagai tandanya. Karena makna tanwīn yang terdapat pada isim tidak bisa terwujudkan selain pada isim.
Jawab:
Karena jarr itu tandanya mudhāf ilaih, dan mudhāf ilaih itu tidak ada kecuali dalam kalimat isim.
Rujukan:
وَ يُعَبِّرُ الْبَصْرِيُّوْنَ عَنْهُ بِالْجَرِّ وَ هُوَ مَا يَحْدُثُهُ عَامِلَ الْخَفْضِ فِيْ آخِرِ الْكَلِمَةِ مِنْ كَسْرَةٍ أَوْ مَا نَابَ عَنْهَا كَالْفَتْحَةِ فِيْمَا لَا يَنْصَرِفُ وَ الْيَاءِ فِي الْجَمْعِ وَ الْمُثَنَّى وَ الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَ اخْتُصَّ بِالْاسْمِ لِكَوْنِهِ عَلَامَةً لِلْمُضَافِ إِلَيْهِ وَ الْمُضَافُ إِلَيْهِ لَا يَكُوْنُ إِلَّا اِسْمًا لِأَنَّهُ فِيْ تَمْيِيْزِ الْأَصْلِ وَ هُوَ الْاِسْمُ بِالْجَرِّ لِئَلَّا يَتَسَاوَى الْأَصْلُ وَ الْفَرْعُ. فوائد النحو صـــــ 31.
Ulama Bashrah mengungkapkannya dengan istilah jarr, suatu yang timbul disebabkan ‘āmil khāfidh yang berada pada akhir kalimat yaitu berupa kasrah atau sesuatu yang bisa mengganti kedudukannya seperti fatḥah dalam lafazh yang tidak bisa menerima tanwīn, yā’ yang berada pada jama‘, tatsniyah dan asmā’-ul-khamsah. Kemudian jarr hanya dikhususkan pada kalimat isim, karena isim itu merupakan tanda dari mudhāf ilaih, dan mudhāf ilaih itu tidak ada kecuali berbentuk isim.
Jawab:
Hanya bisa masuk pada fi‘il yang mutasharrif dan tidak kemasukan ‘āmil jāzim dan nāshib, dan ḥurūf tanfīs.
Rujukan:
قَالَ فِي الْمَعْنَى وَ أَمَّا الْحَرْفِيَّةُ فَمُخْتَصَّةٌ بِالْفِعْلِ الْمُتَصَرِّفِ الْخَبَرِيِّ الْمُثْبِتِ الْمُجَرَّدِ مِنْ جَازِمٍ وَ نَاصِبٍ وَ حَرْفِ تَنْفِيْسٍ. فوائد النحو صـــــ 36.
Pengarang kitab Fawā’id-un-Naḥwi mengatakan bahwa qad ḥarfiyyah itu hanya dikhususkan untuk fi‘il mutasharrif yang sepi dari ‘āmil jāzim, ‘āmil nāshab dan ḥurūf tanfīs.
Jawab:
Karena untuk membedakan antara tā’ yang masuk pada kalimat fi‘il dan tā’ yang masuk pada kalimat isim, karena dalam isim tā’ tersebut berharakat.
Rujukan:
وَ إِنَّمَا اخْتُصَّتِ التَّاءُ السَّاكِنَةُ بِهِ لِلْفَرْقِ بَيْنَ تَاءِ الْأَفْعَالِ وَ تَاءِ الْأَسْمَاءِ وَ لَمْ يُعْكَسْ لِئَلَّا يُقْضِيَ ثِقَلَ الْحَرَكَةِ إِلَى ثِقَلِ الْفِعْلِ. فوائد النحو صـــــ 38.
Sesungguhnya tā’ ta’nīts itu hanya dikhususkan pada fi‘il karena untuk membedakan antara tā’ fi‘il dan tā’ isim.
Jawab:
Karena ḥurūf sendiri itu merupakan tanda, kalau seandainya punya tanda maka akan terjadi daur dan tasalsul (mata rantai yang tidak ada putusnya).
Rujukan:
قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا لَمْ يُجْعَلْ لِحُرُوْفٍ عَلَامَةٌ وُجُوْدِيَّةٌ كَقَسِيْمَيْهِ الْاِسْمِ وَ الْفِعْلِ لِأَنَّهُ فِيْ نَفْسِهِ عَلَامَةٌ فَلَوْ جُعِلَتْ لَهُ عَلَامَةٌ لَزِمَهُ الدَّوْرُ وَ التَّسَلْسُلُ. حاشية ابن سالم السماراني صـــــ 36.
Sebagian ulama mengatakan sesungguhnya kalimat ḥurūf tidak mempunyai tanda sebagaimana dua saudaranya, karena ḥurūf sendiri kedudukannya sebagai tanda, maka kalau ia memiliki tanda maka akan terjadi daur dan tasalsul.