Pertanyaan 1-6 – Ngaji Jurumiyyah

JURUMIYYAH
Kajian & Tanya Jawab
Penyusun: M. Fathu Lillah, M. Muqayyim-ul-Haq

Penerbit: Santri Salaf Press

Rangkaian Pos: Pertanyaan - Ngaji Jurumiyyah

Pertanyaan.

 

1. Ilmu nahwu merupakan ilmu yang sangat penting. Karena dengannya kita bisa memahami ka’idah bahasa ‘Arab.

Siapakah pencipta ilmu nahwu?

Jawab:

Abul-Aswād ad-Du’alī.

Rujukan:

أَوَّلُ مَنْ وَضَعَ النَّحْوَ أَبُو الْأَسْوَادِ وَ أَنَّهُ أَخَذَهُ أَوَّلًا عَنْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِيْ طَالِبٍ (ر) وَ كَانَ أَبُو الْأَسوَادِ كُوْفِيِّ الدَّارِ بَصْرِيُّ الْمَنْشَاءُ وَ مَاتَ وَ قَدْ أَسَنُّ. شرح التصريح الجزء الأول صــــ 40.

Ulama yang pertama kali membuat ilmu nahwu adalah Abul-Aswād. Beliau mengambilnya kepada sahabat ‘Alī bin Abī Thālib r.a. Beliau tumbuh dan wafat di Bashrah.

 

2. Dalam mempelajari suatu fan ilmu tidak terlepas dari hukum. Apa hukumnya mempelajari ilmu nahwu?

Jawab:

Wājib Kifāyah. Maksudnya sudah memcukupi dari dosa jika dalam satu daerah sudah ada yang mempelajari, namun jika tidak ada maka semuanya terkena dosa.

Rujukan:

وَ أَمَّا الْبِدْعَةُ اللُّغَوِيَّةُ فَمُنْقَسَمَةٌ إِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْكِفَايَةِ كَالْاِشْتِغَالِ بِالْعُلُوْمِ الْعَرَبِيَّةِ الْمُتَوَقَّفِ عَلَيْهَا فَهْمُ الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ كَالنَّحْوِ وَ الصَّرْفِ وَ الْمَعَانِيْ وَ الْبَيَانِ وَ اللُّغَةِ. فوئد المكية صــــ 10.

Bid‘ah secara bahasa itu terbagi menjadi lima hukum. Wājib kifāyah yaitu diperuntukkan untuk orang yang sibuk mencari ilmu ‘Arab untuk memahami al-Qur’ān dan Ḥadīts. Dan sunnah yaitu untuk mempelajari ilmu naḥwu, sharaf, ilmu ma‘ānī, bayān dan lughah.

 

3. Kenapa ilmu nahwu lebih dulu dipelajari sebelum mempelajari ilmu yang lain?

Jawab:

Karena ilmu nahwu merupakan ilmu yang paling manfaat, sebab semua fan ilmu membutuhkannya.

Rujukan:

وَ هُوَ أَنْفَعُ الْعُلُوْمِ الْعَرَبِيَّةِ إِذْ بِهِ تُدْرَكُ جَمِيْعًا وَ مِنْ ثَمَّ قَالَ السُّيُوْطِيُّ: إِنَّ الْعُلُوْمَ كُلَّهَا مُفْتَقِرَّةٌ إِلَيْهِ. كواكب صلى الله عليه و سلم. صــــ 4.

Ilmu nahwu merupakan ilmu yang paling bermanfa‘at, karena dengan ilmu ini kita bisa memahami semua ilmu. Dari situ beliau Imām Suyūthī mengatakan: Bahwa sesungguhnya semua ilmu itu membutuhkannya (ilmu nahwu).

 

4. Arti nahwu menurut istilah ulama nahwu?

Jawab:

Ilmu tentang Ushūl (isim, fi‘il, ḥurūf, ‘āmil dan macamnya) yang digunakan untuk mengetahui keadaan akhirnya kalimat dari sisi i‘rāb dan binā’-nya.

Rujukan:

وَ اصْطِلَاحًا عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ إِعْرَابًا وَ بِنَاءً وَ الْمُرَادُ بِالْأُصُوْلِ الْمُرَادُ بِالْأُصُوْلِ الْمَذْكُوْرَةُ الْاِسْمُ وَ الْفِعْلُ وَ الْحَرْفُ وَ أَنْوَاعُ الْإِعْرَابِ وَ الْعَوَامِلِ وَ التَّوَابِعِ وَ نَحْوِ ذلِكَ. الكواكب الدرية صـــ 5.

Ilmu nahwu secara istilah adalah ilmu pokok yang dengannya dapat diketahui keadaan akhirnya kalimat, baik dari sisi i‘rāb-nya ataupun binā’-nya. Yang dikehendaki dengan kata-kata “ushūl” adalah isim, fi‘il, ḥurūf dan macam-macam i‘rāb, ‘āmil dan tawābi‘.

 

5. Lafazh (قَامَ) yang menjadi jawaban dari (هل قَامَ زَيْدٌ) dinamakan kalām?

Jawab:

Khilāf, karena ada pendapat yang mengatakan dhamīr yang tersimpan dalam fi‘il harus dhamīr mustatir wājib.

Rujukan:

قَوْلُهُ قَامَ زَيْدٌ هُوَ خَبَرُ الْمُبْتَدَاءِ الَّذِيْ هُوَ مِثَالٌ وَ إِنَّمَا أَظْهَرَ الْفَاعِلُ لِأَنَّ شَرْطَ حُصُوْلِ الْفَائِدَةِ مَعَ الْفِعْلِ وَ الضَّمِيْرِ الْمَنْوِيِّ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ خَالِدُ فِي التَّصْرِيْحِ أَنْ يَكُوْنَ الضَّمِيْرُ وَاجِبَ الْاستِتَارِ فَقَالَ عَلَى تَقْدِيْرِ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ ضَمِيْرٌ لَا يُسَمَّى كَلَامًا عَلَى الْأَصَحِّ قَالَ يس فِيْهِ نَظَرٌ قَالَ وَ الظَّاهِرُ أَنَّ ذلِكَ لَا يُشْتَرَطُ فَنَحْوُ قَامَ فِيْ جَوَابِ هَلْ قَامَ زَيْدٌ أَوْ مَا فَعَلَ زَيْدٌ كَلَامٌ لَا يُوْجَدُ وَجْهٌ لِنَفْيِ كَلَامِيَّتِهِ مَعَ تَحَقُّقِ التَّرْكِيْبِ وَ الْإسنَادِ الْمَقْصُوْدِ فِيْهِ. تشويق الخلان صــــ 11.

Sesungguhnya fā‘il dalam contoh tersebut harus nampak, agar bisa menghasilkan fa’idah. Sedangkan kalau dhamīrnya hanya dikira-kirakan sebagaimana komentarnya Imām Khālid adanya dhamīr yang terdapat dalam sebuah lafazh wajib tersimpan, karena itu beliau berpendapat jika adanya dhamīr itu adalah pentaqdiran maka tidak dinamakan kalām. Sedangkan menurut Imām Yāsīn, masih perlu ditelaah kembali. Menurut beliau secara zhāhir lafazh (قَامَ) yang merupakan jawaban dari pertanyaan: (هَلْ قَامَ زَيْدٌ) tidak disyaratkan untuk menampakkan dhamīr. Sehingga lafazh (قَامَ) bisa dikatakan kalām.

 

6. Mengapa isim lebih dulu dari fi‘il dan fi‘il lebih dulu dari ḥurūf?

Jawab:

Karena isim lebih mulia daripada fi‘il, dan fi‘il lebih mulia daripada ḥurūf.

Rujukan:

(اِسْمٌ) قَدَمَهُ لِشَرَفِهِ لِأَنَّهُ يُخْبَرُ بِهِ وَ عَنْهُ (فِعْلٌ) قَدَمَهُ عَلَى الْحَرْفِ لِأَنَّهُ أَشْرَفُ مِنْهُ لِأَنَّهُ يُخْبَرُ مِنْهُ لِأَنَّهُ بِهِ بِخِلَافِ الْحَرْفِ فَلَا يُخْبَرُ بِهِ وَ لَا عَنْهُ فَمَرْتَبَةُ الْحَرْفِ التَّأْخِيْرُ وَ أَنَّ الْحَرْفَ فِي اللُّغَةِ الطَّرَفُ وَ هُوَ يَحْصُلُ بِتَقْدِيْمِهِ لكِنْ مُنِعَ التَّقْدِيْمُ أَشْرَفِيَّةَ غَيْرِهِ تَأَمَّلْ. عبادة الأول صــــ 21.

Ungkapan Pengarang berupa lafazh “isim”, isim didahulukan daripada fi‘il karena isim lebih mulia, sebab isim bisa menjadi khabar dan bisa memiliki khabar. Sedangkan fi‘il lebih didahulukan daripada ḥurūf karena kedudukannya lebih mulia, sebab dijadikan khabar. Maka ḥurūf menempati tempat yang terakhir. Dan ḥurūf secara bahasa adalah pinggir, yakni bisa didahulukan tetapi dicegah untuk mendahului yang lebih mulia darinya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *