PASAL 10
Dalam naḥwu konvensional, selama isim mufrad berada dalam bentuk mufrad, maka sifat mufrad akan tetap melekat pada seluruh komponen hurufnya. Namun apabila isim mufrad tersebut bergabung dengan lainnya sehingga menjadi isim tatsniyyah, maka telah mengalami perubahan. Jika dalam keadaan rafa‘, maka perubahan itu berupa penambahan alif. Dan jika dalam keadaan nashab dan jarr, maka perubahan itu berupa penambahan yā’.
Demikian juga dalam Naḥw-ul-Qulūb, apabila seorang hamba manunggal; memusatkan hatinya kepada al-Ḥaqq (mufarrid) dan mengosongkannya dari selain al-Ḥaqq (mujarrid), maka dia bisa sampai pada sifatnya yang tertinggi, yaitu tamkīn (sampai di pusat perjalanan spiritual). Akan tetapi, apabila dia masih menjalin keterhubungan dengan hal-hal di sekitarnya (selain al-Ḥaqq), maka dia masih dalam talwīn yaitu fase menapaki tangga-tangga spiritual sedikit demi sedikit. Pada fase itu, dia masih mengalami perubahan kondisi spiritual.
Dalam naḥwu konvensional, nūn tatsniyyah selamanya dibaca kasrah. Sementara dalam Naḥw-ul-Qulūb, kasrah tersebut berma‘na patah. Orang yang hatinya masih memiliki keterkaitan erat dengan perkara duniawi ibarat burung yang kedua sayapnya patah. Patahnya sayap, bisa membuat dirinya terjatuh di mana saja.
Dalam naḥwu konvensional, nūn tatsniyyah akan terbuang ketika masuk dalam tarkīb idhāfah. Nūn tatsniyyah merupakan pengganti tanwīn isim mufrad ketika isim tersebut berubah menjadi bentuk tatsniyyah. Dalam tarkīb idhāfah, nūn tatsniyyah harus terbuang karena posisinya sebagai pengganti tanwīn. Dan tanwīn itu sendiri tidak bisa berkumpul (bersanding secara langsung) dengan mudhāf (salah satu susunan idhāfah). Hal itu karena tanwīn dan tarkīb idhāfah sama-sama merupakan tanda isim ma‘rifah.
Dalam Naḥw-ul-Qulūb, terbuangnya nūn tatsniyyah atau tanwīn dicontohkan dengan kondisi-kondisi rohani seorang ‘ārif yang saling berlawanan. Apabila salah satu kondisi lebih dominan, maka kondisi lain yang menjadi lawannya akan tergantikan dan tertutupi oleh kondisi yang dominan tersebut. Misalnya kondisi al-Qabdh (tergenggam) dan al-Basth (leluasa) (431) serta kondisi al-Haibah (rasa takut disertai hormat yang luar biasa) dan al-Uns (suka cita). (442) Apabila kondisi yang dominan itu adalah al-Qabdh, maka al-Basth tertutupi. Dan apabila kondisi yang dominan adalah al-Basth, maka al-Qabdh tertutupi. Sementara apabila kondisi yang dominan adalah al-Uns, maka al-Haibah sebagai lawannya tidak muncul. Dan apabila yang dominan adalah al-Haibah, maka al-Uns tertutupi, seakan lenyap. Hal itu juga berlaku pada kondisi-kondisi rohani yang lain.
(Teks Bahasa ‘Arab):
فصل [10]:
و ما دام الواحد من الأسماء واحدًا فهو بصفته في حروفه، فإذا انضم إليه غيره حتى يصير اثنين وقع في التغير.
فمرة مرفوعًا بالألف، و مرة منصوبًا أو مخفوضًا بالياء – كذلك العبد ما دام بقلبه مُفرِّدًا مُجَرِّدًا فهو في اسمى نعوته، فإذا حصلت علاقة المواصلات وقع في التلوين فمرة و مرة.
و نون التثنية أبدًا مكسورة، كذلك صاحب العلاقات مكسور الجناح يطرح نفسه كل مطرح.
و نون التثنية تسقط عند الإضافة، لأنها بدل من التنوين في الواحد، و التنوين و الإضافة أمارتان للمعرفة فلا يجتمعان كذلك صفة العارف إذا غلبت عليه صفة من صفات المعرفة فالصفة التي في مقابلتها تكون مغمورة مستورة – فإذا كان الغالب عليه القبض فبسطه مستور، و إذا كان الغالب عليه البسط فقبضه مغمور، و إذا كان الغالب عليه الأنس فالهيبة كالمقابل، و إذا كان غالبه الهيبة فالأنس (31) كالزائل و على هذا النحو جميع أوصافه.