بَابُ الْمَفْعُوْلِ بِهِ
بَابُ الْمَفْعُوْلُ بِهِ
وَهُوَ الْإِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الَّذِيْ يَقَعُ بِهِ الْفِعْلُ نَحْوُ قَوْلِكَ ضَرَبْتُ زَيْدًا وَ رَكِبْتُ الْفَرَسَ وَ هُوَ قِسْمَانِ ظَاهِرٌ وَ مُضْمَرٌ
فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ وَ الْمُضْمَرُ قِسْمَانِ مُتَّصِلٌ وَ مُنْفَصِلٌ
فَالْمُتَّصِلُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ وَهِيَ ضَرَبَهُ وَ ضَرَبَهُمَا وَ ضَرَبَهُمْ وَ ضَرَبَهَا وَ ضَرَبَهُمَا وَ ضَرَبَهُنَّ وَ ضَرَبَكَ وَ ضَرَبَكُمَا وَ ضَرَبَكُمْ وَ ضَرَبَكِ وَ ضَرَبَكُمَا وَ ضَرَبَكُنَّ وَ ضَرَبَنِيْ وَ ضَرَبَنَا
وَ الْمُنْفَصِلُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ وَهِيَ إِيَّاهُ وَ إِيَّاهُمَا وَ إِيَّاهُمْ وَ إِيَّاهَا وَ إِيَّاهُمَا وَ إِيَّاهُنَّ وَ إٍيَّاكَ وَ إِيَّاكُمَا وَ إِيَّاكُمْ وَ إِيَّاكِ وَ إِيَّاكُمَا وَ إِيَّاكُنَّ وَ إِيَّايَ وَ إِيَّانَا
Seorang wali yang kehendaknya telah melebur dalam kehendak Allah (fana’) ia seolah telah tiada di alam raya ini. Dengan kata lain, ia tidak lagi berfungsi sendiri melainkan difungsikan oleh Allah s.w.t. Tak ubahnya laksana pena di tangan sang penulis, maka apapun perbuatan dan perkataan seorang wali ia murni merupakan perkataan dan perbuatan Allah s.w.t. Dan sebagaimana pena tidak mengemban tanggungjawab apapun atas apa yang ia tulis, maka wali Allah pun demikian, apapun yang ia perbuat dan katakan, maka Allah-lah penanggungnya. Tak heran mengapa ketika seseorang memusuhi wali maka ia dikatakan telah berani melawan Allah s.w.t.
Allah s.w.t. telah menjadikan wali-Nya sebagai obyek atau perantara kekuasaan. Artinya, seorang wali adalah pena di tangan Tuhan untuk mengukir jagat raya. Ia adalah pedang di tangan Tuhan untuk menghabisi musuh-musuhNya. Dan ia adalah bejana Tuhan untuk menyuguhkan nikmat-nikmatNya.
Wali-wali Allah ada yang zhahir, yakni nampak di hadapan umat untuk memberi petunjuk kepada mereka, dan ada pula yang mudhmar, yakni tersembunyi karena merupakan salah satu rahasia Ilahi di muka bumi. (36). Dan telah diriwayatkan bahwasnya Allah telah menyembunyikan tiga dalam tiga: ridha-Nya dalam amal-amal shalih, murka-Nya dalam maksiat-maksiat, dan wali-waliNya di antara umat manusia. Maka tidak baik meremehkan siapapun karena tidak menutup kemungkinan ia merupakan salah seorang wali-Nya.
Akan tetapi wali yang tersembunyi sekalipun, ia dapat dikenal dengan hati yang suci, sebab Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari r.a. pernah menyatakan:
الْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَ إِنَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ.
“Kebenaran (al-Ḥaqq) tidaklah tersembunyi, akan tetapi hatimu-lah yang buta dari kebenaran (al-Ḥaqq) itu.”