Pembagian I’rab – Nahw-ul-Qulub

نَحْوُ الْقُلُوْبِ
Naḥw-ul-Qulūb
(Tata Bahasa Qalbu)
 
BELAJAR MENGENAL ALLAH DAN RAHASIA KEHIDUPAN MELALUI ILMU TATA BAHASA ‘ARAB.
 
Karya: Imam al-Qusyairi
 
Penerjemah: Kiai Supirso Pati
Penerbit: WALI PUSTAKA

Rangkaian Pos: Kitab 1 - Nahw-ul-Qulub-il-Kabir - Nahw-ul-Qulub

PASAL 6

PEMBAGIAN I‘RĀB (211)

 

Bentuk-bentuk i‘rāb (wujūh-ul-I‘rāb) ada empat, yaitu rafa‘, nashab, khafdh (jarr), dan jazm. (222) Begitu juga dalam Naḥw-ul-Qulūb, hati terbagi ke dalam empat i‘rāb yang sama (lil-Qulūbi hādzih-il-Aqsām). (233).

I‘RĀB RAFA‘ HATI

Rafa‘ adalah tingginya himmah (kekuatan spiritual yang mendorong seseorang menempuh jalan tashawwuf). Hal ini bisa tercapai dengan memenuhi beberapa aspek berikut ini:

  1. Membebaskan hatimu dari pengaruh duniawi. Ini adalah sifat orang-orang zuhud.
  2. Melepaskan hatimu dari pengaruh syahwat dan hasrat. Ini adalah sifat para ahli ibadah, ahli wirid, dan pelaku mujāhadah. (244).
  3. Membebaskan hatimu dari dirimu sendiri, dengan keyakinan bahwa tidak ada satu pun sesuatu yang berasal darimu. Ini adalah sifat orang-orang yang luluh/halus hatinya (ashḥāb-ul-inkisār), orang-orang tawādhu‘ (arbāb-ul-Khudhū‘) dan orang-orang yang senantiasa menggantungkan segala sesuatu kepada Allah (arbāb-ul-Iftiqār).
  4. Memalingkan hatimu dari silau dunia dan mengarahkannya kepada Allah. Agar hatimu bersih dari dominasi perkara duniawi.
  5. Memalingkan tanganmu dari perbuatan-perbuatan haram, menghilangkan ketergantungan diri kepada makhluq, mengarahkan tanganmu hanya kepada Allah untuk memohon apa yang kamu butuhkan, kemudian menopang segala kebutuhanmu dengan rasa cinta kepada-Nya (aḥkām-ul-Maḥabbah) (255), sehingga kamu meyakini bahwa keberadaanmu disebabkan oleh kekuasaan Allah dan apa yang kamu lakukan hanya untuk Allah (billāh lillāh); dalam arti kamu menghapus segala sesuatu selain Allah (tamḥū mā siwallāh). (266).

I‘RĀB NASHAB HATI

Nashab adalah kesiapan jiwa dan raga seseorang untuk taat kepada Allah. (277) Hal ini bisa tercapai dengan memenuhi beberapa aspek berikut ini:

  1. Kesiapan raga (intishāb-ul-badan) menempuh jalan ketaatan.
  2. Kesiapan hati (intishāb-ul-qalb) dalam penyaksian dan ketundukan.
  3. Kesiapan hati untuk fokus (infirād).
  4. Keteguhan hati dan terbebas dari keragaman (iftirāq).

Terkadang seorang hamba disiapkan (manshūban) untuk menerima segala ketetapan Ilahi tanpa adanya usaha; dia tidak merasa berat dengan segala hal yang ditimpakan kepadanya, tidak berlebihan dalam menyambut apa yang ditunggu-tunggu, dan tidak tergesa-gesa memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya.

Orang-orang semacam itu tidak memiliki hak atas dirinya; apa yang dimiliki oleh mereka (termasuk diri mereka sendiri) adalah hak Allah, bukan hak mereka. Mereka itu para penolong makhluq Allah lainnya. Mereka melakukan segala hal atas seidzin Allah, dan semua perbuatan mereka hanya dipersembahkan untuk-Nya.

I‘RĀB KHAFDH HATI

Khafdh (jarr) adalah kerendahan diri dan hati. Hal ini bisa tercapai dengan memenuhi beberapa aspek berikut ini:

  1. Senanatiasa merasa malu, hina, dan khawatir. Tidak ingin terkenal, selalu khusyū‘, dan membuang hawa nafsu sebagai bentuk pengorbanan dalam berjihad.
  2. Bersikap lembut kepada siapa saja, terutama kepada orang yang memintamu untuk melakukan sesuatu yang tidak berlawanan dengan syariat; tidak menentang orang itu dan tidak berselisih dengannya, tidak membencinya dan tidak pula merasa jenuh dengannya. (288).
  3. Demikianlah sikap seorang ‘ārif. Dia memandang ringan segala urusan dan memandang rendah dirinya sendiri. Dia menilai dirinya hina dan menganggap seluruh perbuatannya kotor, baik di dunia maupun di akhirat.

I‘RĀB JAZM HATI

Jazm adalah terkuncinya hati dari segala sesuatu, selain Allah. Kata jazm di sini berarti memutus (qath‘) keterhubungan. Terkuncinya hati bisa tercapai jika beberapa aspek berikut terpenuhi:

  1. Menghapus (ḥadzf) segala keterpautan hati dengan selain Allah. (299).
  2. Dia (sukūn) dalam menerima hukum-hukum hakikat tanpa melanggar satu pun aturan dari hukum-hukum syariat. (3010).

Dengan demikian, i‘rāb jazm dalam Naḥw-ul-Qulūb juga berarti terbebasnya hati dari pengaruh hasrat keinginan. Hasrat selalu bertentangan dengan hakikat. Oleh karena itu, agar hati bisa terjaga dari pengaruh hasrat, seorang hamba harus menebas urat penghubung antara hati dan angan-angan, keinginan atau kehendak hasrat dengan pedang kepasrahan diri. Dengan begitu, dia merasa tenteram bersama Allah dan bisa bersikap tenang; hanya untuk Allah dan karena kekuasaan-Nya.

Namun jika dalam proses menuju hakikat, dia justru menyepelekan syariat, maka jalan tashawwuf yang dia lalui akan menjadi saksi atas kemusyrikan dan kemurtadannya. (3111).

 

(Teks Bahasa ‘Arab):

فصل [6]:

وجوه الإعراب أربعة: الرفع و النصب و الخفض و الجزم. و للقلوب هذه الأقسام، فرفع القلوب قد يكون بأن ترفع قلبك عن الدنيا و هو نعت الزهاد. و قد يكون بأن ترفع قلبك عن اتباع الشهوات و المنى – و هو نعت العُبَّاد و أصحاب الأوراد و الاجتهاد.
و قد يكون بأن ترفع قلبك عنك و تعتقد أنه لا يجيء منك شيء – و هذا نعت أصحاب الانكسار، و أرباب الخضوع و الافتقار.
و قد يكون برفع القلب إلى الحق، و تصفيته عن شهود الخلق.
و قد يكون برفع يدك عن الحرام ثم برفع ما تضمره من إثبات الأنام ثم ترفع يدك إلى الله بسؤال الحاجات، ثم ترفع الحاجات عند إحكام المحبة (112) حتى تكون بالله لله، تمحو ما سوى الله.
و أما نصب القلوب فيكون بانتصاب البدن على بساط الوفاق، ثم بانتصاب القلب في محل الشهود بحسن الإطراق، ثم بانتصاب السر بوصف الانفراد.
و التنقي عن دقائق الافتراق.
و قد يكون العبد منصوبًا لجريان حكم المقادير من غير أن يكون له اختيار، و لا له فيما هو به إيثار، أو منه فيه اشتغال، و لما يلقى به استثقال، و لما ينتظره استقبال، و لا لما يوعد به استعجال.
ليس لهؤلاء فيهم حظ و لا نصيب، ينصبهم الحق لحقه لا لحظهم فهم غياث الخلق، قائمون للحق بالحق.
و أما خفض القلوب فيكون باستشعار الخجل، و استدامة الوجل، و لزوم الذل و إيثار الخمول، و ملازمة الخشوع، و إلقاء النفس في ذبائح الجهاد.
و قد يكون بخفض الجناح – لكل من طالبك بشيء ليس في الشرع له نُكْر – من غير رد و لا نزاع، و لا إبرام و استكراه. و هكذا العارف يستقل أعقاب الكافة مستحقرًا لقَدْرِه مستقذرًا لنفسه و فعله في عاجله و آجله.
و أما جزم القلوب، فالجزم القطع، و يكون بحذف العلائق، و السكون تحت جريان أحكام الحقيقة من غير إخلال بشيء – من آداب الشريعة.
و يكون جزم القلوب قطعها عن خطرات الْمُنَى، فإن الأماني و المعنى متضادة، فيقطع أعناق المطالبات و الإرادات و الاختيارات بسيوف البأس، ثم يسكن بالله لله مع الله، فإن رجع إلى ابتغاء الرخص شهدت عليه الطريقة بالشرك و الردة (213)

Catatan:

  1. 21). Pasal ini secara substansial membahas tentang maqāmāt (stasiun-stasiun spiritual) yang harus dilalui oleh para shūfī. Maqāmāt merupakan area perjuangan spiritual mereka dalam menempuh jalan hakikat (al-Juhūd-udz-Dzātiyyat-ul-Kasbiyyah). Dalam ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah fase ini disebut dengan fase talwīn, yaitu fase di mana seorang sālik masih menapaki jalan atau tangga-tangga spiritual menuju ketinggian rohani. Lihat al-Qusyairī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, at-Talwīnu wat-Tamkīn, hlm. 114 – Ed.
  2. 22). Di antara empat macam i‘rāb ini, terdapat i‘rāb-i‘rāb yang memasuki isim dan i‘rāb-i‘rāb yang memasuki fi‘il. I‘rāb-i‘rāb yang memasuki isim di antaranya: Pertama, I‘rāb rafa‘ contohnya: (أَنْتَ شَمْسٌ) “Kau adalah mentari”. Kedua, i‘rāb nashab, contohnya (رَأَيْتُ شَمْسًا) “Aku telah melihat mentari”. Ketiga, i‘rāb jarr, contohnya: (أَرَاكَ كَشَمْسٍ) “Aku melihatmu bagaikan mentari). Sementara i‘rāb-i‘rāb yang memasuki fi‘il di antaranya: Pertama, i‘rāb rafa‘ contohnya: (يُحِبُّ) “Dia mencintai”. Kedua, i‘rāb nashab, contohnya (أَنْ يُحِبَّ) “hendaknya dia mencintai”. Ketiga, i‘rāb jazm, contohnya (لَمْ يُحِبْ) “Dia tidak/belum mencintai”. Dengan demikian, isim tidak dimasuki i‘rāb jazm, karena i‘rāb jazm hanya memasuki fi‘il. Selain itu, fi‘il tidak dimasuki i‘rāb jarr, karena i‘rāb jarr hanya memasuki isimEd.
  3. 23). Imām al-Qusyairī menggunakan dua kata (istilah) yang berbeda dalam menyebut i‘rāb-i‘rāb naḥwu konvensional dan i‘rāb-i‘rāb Naḥw-ul-Qulūb. Dia menggunakan kata wujūh (bentuk-bentuk) untuk naḥwu konvensional. Sementara untuk Naḥw-ul-Qulūb dia menggunakan kata aqsām (bagian-bagian). Pembedaan ini menunjukkan perbedaan ‘ilmu yang bersifat zhāhir (naḥwu konvensional) dan ‘ilmu yang bersifat bāthin (tashawwuf). Penggunaan kata aqsām mengandung pengertian bahwa i‘rāb-i‘rāb hati merupakan pembagian dari Allah. Kata aqsām berkaitan erat dengan qismah (pembagian). Sementara qismah itu sendiri berkaitan erat dengan kehendak (pilihan) Allah. Allah Sendiri yang memilih para kekasih-Nya. Allah memilih mereka untuk diarahkan menuju jalan-Nya. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 158 – Ed.
  4. 24). Secara etimologi mujāhadah berarti berjuang. Oleh karena itu, seseorang yang berjuang di jalan agama (jalan Allah) disebut orang yang berjihad. Namun, yang dimaksud mujāhadah dalam pembahasan ini adalah perjuangan bathiniah seseorang dengan tujuan agar dirinya semakin dekat dengan Allah. Salah satu mekanismenya adalah melepaskan diri dari pengaruh hawa nafsu dan syahwat. – Ed.
  5. 25). Aḥkām-ul-Maḥabbah adalah relasi cinta antara seorang hamba sebagai pencinta (al-Muḥibb) dan Allah (al-Maḥbūb). Billāh lillāh adalah konsekuensi dari relasi antara al-Muḥibb dan al-Maḥbūb, yang mana seorang hamba senantiasa mendasarkan eksistensinya pada Allah. Puncaknya adalah tidak ada sesuatu selain al-Maḥbūb. Al-Qusyairī – mengutip asy-Syiblī – mengatakan: (سُمَّيَتِ الْمَحَبَّةُ مَحَبَّةً لِأَنَّهَا تَمْحُوْا مِنَ الْقَلْبِ مَا سِوَى الْمَحْبُوْبِ.) yang artinya adalah: cinta disebut cinta (al-Maḥabbah) karena membersihkan hati dari segala sesuatu selain yang dicintai (al-Maḥbūb/Allāh). Lihat al-Qusyairī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Bāb al-Maḥabbah, hlm. 351.
  6. 26). Tamḥū mā siwallāh mengarah pada puncak dari relasi antara seorang hamba dan Allah, di mana eksistensi makhluq telah hilang, dan yang ada hanya Allah. Kondisi ini bisa disebut juga dengan fanā’ atau ketiadaan mutlak eksisntensi makhluq. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 168 – Ed.
  7. 27). Dalam naḥwa konvensional, salah satu bentuk i‘rāb nashab adalah relasi antara fā‘il (subjek pelaku) dan maf‘ūl bih (objek yang diperlakukan). Karakter maf‘ūl bih di hadapan fā‘il adalah imtitsāl (menaati fā‘il) dan istijābah (merespons fā‘il). Dalam Naḥw-ul-Qulūb, seorang hamba adalah maf‘ūl bih, sedangkan Allah adalah fā‘il. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang hamba di hadapan Allah selain taat dan tunduk. – Ed.
  8. 28). Sikap lembut ditujukan pada dua objek, yaitu objek umum dan objek khusus. Objek umum adalah semua makhluq. Hal ini menggambarkan relasi manusia dengan semua makhluq. Seseorang harus bersikap lembut kepada siapa saja dan mengayomi apa saja: Bersikap seperti tanah yang rela dilalui oleh siapa saja. Meskipun benda-benda kotor dilemparkan ke tanah, tanah tetap menumbuhkan tanaman yang indah. Bersikap seperti awan yang mengayimi apa saja di bawahnya. Bersikap seperti hujan yang menghujani apa saja. Sementara objek khusus adalah guru spiritual, syaikh, atau mursyid. Hal ini menggambarkan relasi antara seorang sālik dengan guru spiritualnya. Seorang sālik tidak boleh membantah nasihat-nasihat gurunya. Dia harus menelandani gurunya dan mengikuti ucapannya selama tidak bertentangan dengan syariat. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 176-177 – Ed.
  9. 29). Ini menegaskan bahwa shūfisme menekankan kebeningan hati dalam penjalanan menuju hakikat. Hati yang bening adalah hati yang di dalamnya bersinar cahaya Ilahi. Sementara cahaya Ilahi hanya bersinar di dalam hati yang senantiasa mengingat Allah dan terbebas dari ketergantungan pada selain-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bisyr bin al-Ḥārits: (الصُّوْفِيُّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ) “Seorang shūfī adalah orang yang jernih hatinya, karena selalu mengingat Allah”. Lihat Guieseppe Scattolin dan Aḥmad Ḥasan Anwār, al-Tajalliyāt-ush-Shūfiyyah; Nushūs Shūfiyyah ‘Abra at-Tārīkh, hlm. 41. – Ed.
  10. 30). Dalam kajian tashawwuf, pembahasan konsep sukūn sering diiringi dengan pembahasan konsep ḥarakah (gerakan) atau syathaḥāt (ekspresi ekstase). Syathaḥāt merupakan ekspresi dan luapan bāthin shūfī ketika ekstase yang dia alami semakin kuat. Dia mengekspresikan pengalaman ekstasenya dengan gerakan serta ucapan spontan yang terlihat dan terdengar aneh. Orang-orang yang tidak memahami ekspresi tersebut akan menganggapnya sebagai sebuah kesesatan. Banyak para shūfī yang dituduh sesat karena syathaḥāt. Untuk meminimalkan tuduhan semacam itu, Imām al-Qusyairī lebih mengutamakan sukūn daripada ḥarakah atau syathaḥāt. – Ed.
  11. 31). Dengan konsep sukūn (diam dan tenang), Imām al-Qusyairī menekankan keselamatan hakikat dan syariat. Dia mewanti-wanti setiap orang yang menempuh jalan hakikat agar tidak berlebihan, tidak menyimpang dan tidak memandang ringan syariat. Keinginan dalam syariat hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan perintah syariat karena adanya ‘udzur syar‘i (mustadh‘afīn). Sedangkan orang yang menempuh jalan hakikat adalah orang yang telah melakukan perjanjian dengan Allah (al-‘Aqd ma‘allāh). Perjanjian ini harus dijaga dengan menjaga syariat. Jika dia meninggalkan syariat, maka dia telah merusak perjanjian itu. Dalam hal ini, merusak perjanjian diibaratkan sebuah kemusyrikan (syirk) atau kemurtadan (riddah). Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 187 – Ed.
  12. (1). انظر حديث القشيري عن المحبة في الرسالة القشيرية ص 317-329.
  13. (2). هذه الكلمات أصل في مصنفات القشيري. قال في الرسالة ص 364: لا بد للمريد من حفظ عهوده مع الله تعالى، فإن نقض العهد في طريق الإرادة كالردّة عن الدين لأهل الظاهر و قال فيها أيضًا ص 380: فإن الرخص في الشريعة للمستضعفين و لهذا قيل: إذا انحط الفقير عن درجة الحقيقة إلى رخصة الشريعة فقد فسخ عقده مع الله تعالى.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *