Pembagian Bina’ – Nahw-ul-Qulub

نَحْوُ الْقُلُوْبِ
Naḥw-ul-Qulūb
(Tata Bahasa Qalbu)
 
BELAJAR MENGENAL ALLAH DAN RAHASIA KEHIDUPAN MELALUI ILMU TATA BAHASA ‘ARAB.
 
Karya: Imam al-Qusyairi
 
Penerjemah: Kiai Supirso Pati
Penerbit: WALI PUSTAKA

Rangkaian Pos: Kitab 1 - Nahw-ul-Qulub-il-Kabir - Nahw-ul-Qulub

PASAL 7

PEMBAGIAN BINĀ’ (321)

 

Bentuk-bentuk binā’/mabnī (wujūh-ul-Binā’) dalam naḥwu eksoterik ada empat, yaitu: dhammah, fatḥah, kasrah, dan sukūn. Demikian juga binā’/mabnī dalam naḥwu esoteris terbagi menjadi empat macam yang sama sebagaimana dikatakan oleh para ahli hakikat (lil-bawāthini ‘alā lisāni ahl-il-Ḥaqīqah hādzih-il-Aqsām), yaitu:

  1. Dhammah: Allah memasukkan rahasia-rahasia Ilahi ke dalam hati seorang hamba (dhamm-ul-Asrār), dan Allah juga yang menjaganya dari segala sesuatu yang dapat mengotorinya.
  2. Fatḥah: Kesejukan dan kegembiraan hati seorang hamba karena tabir keghaiban telah terbuka.
  3. Kasrah: Kerendahan diri seorang hamba; hatinya segera bersujud (tunduk) ketika momen penyaksian rahasia Ilahi (syuhūd) dan pertemuan dengan Allah (iltiqā’) menghampirinya secara tiba-tiba.
  4. Sukūn: Ketenangan bāthin seorang hamba karena hatinya tertuju kepada al-Ḥaqq (Allah) sehingga dia senantiasa merasa senang dalam segala keadaan.

 

ISYARAT-ISYARAT LAIN TERKAIT MU‘RAB DAN MABNĪ DALAM NAḤW-UL-QULŪB.

Dalam naḥwu konvensional, mu‘rab adalah kalimat yang bagian akhirnya mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh ‘āmil. Sementara mabnī adalah kalimat yang bagian akhirnya tetap dalam satu mode (shīghah wāḥidah).

Demikian juga dalam Naḥw-ul-Qulūb, manusia memiliki banyak karakteristik yang bisa berubah. Perubahan itu, salah satunya dipengaruhi oleh perilaku dan usaha manusia itu sendiri. Selain itu, manusia juga memiliki berbagai karakteristik yang tidak bisa diubah dan diganti karena sudah merupakan ketetapan Allah pada dirinya seperti watak. Contoh lain adalah ketetapan Allah atas garis kehidupan seseorang yang telah ditentukan sejak zaman azali, seperti porsi rezeki, nasib baik dan buruk (di dunia dan akhirat); apakah termasuk orang yang bahagia atau orang yang celaka?

Oleh karena itu, jika makhluq telah ditaqdirkan bernasib celaka di dunia dan akhirat, lalu berusaha menentang taqdir, maka usahanya itu sia-sia. Sebaliknya, jika makhluq ditaqdirkan bernasib bahagia di dunia dan akhirat, dan dalam hidupnya menerima segala ketetapan Allah, maka dosa yang dia perbuat tidak akan, mencegahnya untuk mendapat kebahagiaan yang sudah ditetapkan baginya.

Macam-macam mabnī:

  1. Mabnī kasrah, contohnya makhluq yang ditaqdirkan celaka akan selamanya celaka. Taqdirnya sebagai makhluq yang hina tidak akan berubah; selamanya dalam kesengsaraan. Taqdirnya itu tidak bisa diperbaiki; siang dan malamnya penuh bencana dan kemalangan. Nasibnya buruk, dunianya penuh penderitaan dan tujuannya tidak pernah tercapai. Dia ibarat orang yang menemukan sungai, namun ketika dia menghampirinya, air sungai itu tiba-tiba surut. Dia juga ibarat orang yang menemukan mutiara, namun ketika dia hendak mengambilnya, mutiara itu tiba-tiba lenyap. (332).
  2. Mabnī fatḥah, contohnya jika makhluq ditaqdirkan mendapat kenikmatan yang kekal, maka dia akan merasakannya. Telah disiapkan untuknya taman yang sejuk dan asri. Telah disiapkan untuknya altar perjamuan beserta minuman segar dan teman. Altar perjamuan itu tidak pernah usang meskipun penghuninya belum tiba. Altar perjamuan itu masih tersembunyi, masih tetap seperti semula meskipun sekian lama menanti penghuninya datang. Makhluq yang demikian adalah orang yang hatinya disiapkan untuk menerima pancaran Nūr Ilahi, meskipun kehadiran Nūr Ilahi tidak bisa diprediksi. Namun ketika secara tiba-tiba (343) Nūr Ilahi bersinar (di dalam hati seseorang), sinar mentari segera redup dan rembulan tersipu malu. (354).
  3. Mabnī dhammah, contohnya adalah orang yang seluruh hasrat kehendaknya telah dihilangkan. Jika dia tampak melakukan sikap yang nyeleneh, maka tidak ada teguran baginya (karena dia melakukan itu di luar kehendaknya). Dia tidak dibebani konsekuensi hukum (syariat) jika melakukan hal-hal yang berlainan (dengan hukum yang berlaku). Oleh karena itu, dia dibebaskan dari teguran. Dia termasuk orang yang memiliki ‘udzur. Karena dia tidak lagi memiliki kesadaran nalar yang menjadi syarat kewajiban melaksanakan hukum syariat. Dia tidak lagi memegang kendali atas setiap tindakannya yang berkaitan dengan syariat, sehingga jika dia berbuat hal nyeleneh maka dia tidak layak dihujat. Dia termasuk orang-orang yang secara total tertawan oleh Qudrah (kekuasaan Allah). Bagi manusia biasa, ucapannya membingungkan, perilakunya musykil, dan ambigu. (365).
  4. Mabnī sukūn, contohnya seorang sālik pemula yang jumūd (tidak mengalami peningkatan spiritual). Dia tidak mencapai tujuannya sebagai sālik. Dia justru termasuk orang yang merugi. Meskipun telah lama menempuh jalan suluk, namun perjalanannya itu tidak cukup mengantarkannya pada kebahagiaan spiritual. Dari awal hingga akhir perjalanan, dia tidak beranjak dari sūrat-ul-Ikhlāsh (fase permulaan). Dia tidak merasa bahwa dirinya masih dalam fase kekurangan spiritual. (376).

Demikianlah mekanisme dalam Naḥw-ul-Qulūb; setiap pembagian kondisi qalbu memiliki waktunya masing-masing, dan memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.

 

(Teks Bahasa ‘Arab):

فصل [7]:

وجوه البناء (17) في النحو أربعة: الضمة و الفتحة و الكسرة و السكون. و للبواطن على لسان أهل الحقائق هذه الأقسام:
فضم الأسرار صونها عن الأغيار، و فتحة القلوب تنقيتها من الكروب بمفاتحات الغيوب، و كسرة القلوب سجودها عند بغتة الشهود و مفاجآت الالتقاء، و سكون البواطن سكونها إلى الحق بنعت الاستئناس على وصف الدوام في عموم الأحوال.
و في المعرب و المبني إشارات أخر:
فَالمعرب يتغير آخره باختلاف العوامل.
وَ المبني ما يكون على صيغة واحدةٍ و كذلك صفات العبد منها ما يقبل التغير و التأثير – و هي ما كان مجموعًا بتصرفه و تكلفه، و منها ما لا يقبل التحويل و التبديل و هي موضوعات الحق – سبحانه – فيه من أخلاقه، و يكون ذلك بحسب ما سبق له من أرزاقه، و كذلك من أحكامه فيما وجب له من سابق أقسامه، فمن شقي نفذ بالرد قضاؤه، و لم ينفعه كدّه و عناؤه، و من سعد مضى بالقبول حكمه، فلم يخرجه عن محكوم السعادة جُرمه.
و من أقسام البناء ما يبنى على الكسر، فصاحبه أبدًا مكسور لا ينجبر كسره، و لا يتغير فقره، و لا يزول ضره، و لا يصلح قط أمره،، صباحه بلاء، و رواحه شقاء، وجده منكوس، و حظه مبخوس، و نجمه منحوس، و قصده معكوس إن ورد نهرًا غيض ماؤه، و إن وجد دُرًّا قرب فقده.
و من ذلك ما بني على الفتح فصاحبه لا يزول نعيمه، و لا يبرح مقيمه، بسطح من البعد نسيمه، و يسعد على القرب نديمه، و لا يتكدر بغييته مشربه، و لا يتغير – بطول حجبته مذهبه.
الصدر له فارغ و إن أبطأ في حضوره، و الشمس ظلام عند تلألىء نُوْرِه، و البدر يخجل لفجأة (28) ظهوره.
و من ذلك ما بني على الضم، فصاحبه مرفوع عنه كلفة الاختيار، غير معاتب على اختلاف الأطوار، و لا متلون الحكم عند تفاوت الآثار، فالعتب عنه مرفوع، و العذر عنه موضوع، فلا له عقل فيلزمه تكليف، و لا له أو منه – في الشرع – فعل فيتوجه عليه تضيف هؤلاء باسر القدرة، مشكل بين الورى حديثهم، ملتبس على الكافة أمرهم.
و من ذلك ما بنى على السكون فصاحبه على مكانه موقوف، و عن قصده مصروف، لا يغني عنه جِدّه، و لا يسعده جَده، يطول به الزمان، و تتوالى عليه الحدثان، و هو من أول حاله إلى نهاية مآله لا يجاوز سورة الإخلاص، و لا يخرج إلى صورة الانتقاص.
كذلك الأحكام: مختلفة الأْقسام، متفاوتة الأدوار.

Catatan:

  1. 32). Pasal ini secara substansial membahas tentang aḥwāl (kondisi-kondisi spiritual) yang diperoleh oleh para shūfī setelah melewati maqāmāt. Aḥwāl merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, aḥwāl bersifat mabnī. Sedangkan maqāmāt bersifat mu‘rab, karena mengalami perubahan: bisa berkurang dan bertambah. Aḥwāl juga merupakan anugerah Allah. Oleh karena itu, aḥwāl adalah pemberian (al-Wahbiyyah min ladun al-Ḥaqq). Sementara maqāmāt merupakan ranah perjuangan bāthin shūfī (al-Juhūd-udz-Dzātiyyah). Jika maqāmāt adalah usaha, maka aḥwāl adalah hasil. Namun yang menentukan hasil hanya Allah (mauqūfun biawāmirillāh). Seorang shūfī hanya menerimanya secara pasif. Fase ini juga disebut dengan tamkīn yaitu fase hakikat untuk para ahli hakikat. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 190 – Ed.
  2. 33). Contoh ini terkait Iblīs, syaithān, dan para pengikut mereka. Iblīs dan syaithān adalah makhluq yang ditaqdirkan terlaknat dan terhina selamanya. Orang-orang yang setia mengikuti Iblīs dan syaithān sampai kiamat akan bernasib sama dengan keduanya. Berbeda dengan Nabi Adam, meskipun sewaktu di surga dia melanggar perintah Allah, pertobatannya tetap diterima oleh Allah. Begitu juga keturunan Nabi Ādam yang khilaf melakukan dosa, pertobatan mereka bisa diterima oleh Allah. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 197 – Ed.
  3. 34). Ketetibaan (tiba-tiba) atau al-Faj’ah merupakan istilah dalam tashawwuf yang sering digunakan oleh Imām al-Qusyairī di berbagai karyanya, khususnya di kitab ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah. Dia mengatakan:الْبَوَادِهُ: مَا يَفْجَأُ قَلْبَكَ عَلَى سَبِيْلِ الْوَهْلَةِ، إِمَّا مُوْجِبُ فَرْحٍ، وَ إِمَّا مُوْجِبُ تَرْحٍ. وَ الْهُجُوْمُ: مَا يَرُدُّ عَلَى الْقَلْبِ بِقُوَّةِ الْوَقْتِ، مِنْ غَيْرِ تُصْنَعُ مِنْكَ. وَ يَخْتَلِفُ فِي الْأَنْوَاعِ عَلَى حَسْبِ قُوَّة الْوَارِدِ وَ ضَعْفِهِ.Bawādih adalah sesuatu yang secara tiba-tiba mendatangi hatimu dari alam ghaib melalui rasa yang sangat menegangkan. Ada kalanya berupa dorongan rasa senang atau sedih. Sementara hujūm adalah sesuatu yang mendatangi hatimu dengan kekuatan waktu (cepat) melalui proses yang tidak dibuat-buat olehmu. Macamnya berbeda-beda sesuai kuat dan lemahnya wārid (kekuatan rasa yang datang atau pengaruhnya di dalam hati).” Lihat al-Qusyairī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Bawādihu wal-Hujūm, hlm. 114.
  4. 35). Ini adalah contoh orang yang disinari oleh cahaya keesaan melalui proses penyingkapan shufistik (khusyūfāt). Dalam tashawwuf bersinarnya cahaya keesaan atau Nūr Ilahi berkaitan erat dengan proses pengetahuan seorang shūfī (ma‘rifah). Terbitnya Nūr Ilahi dalam diri shūfī merupakan bagian dari pengetahuan intuitif-shufistik yang berdasarkan pada hati (qalb). Pengetahuan intuitif-shufistik bukan hasil dari penalaran akal budi (‘aql), karena objek pengetahuan tashawwuf adalah sesuai yang ghaib di dalam keghaiban dan di luar nalar manusia. Sementara akal budi hanya mampu menerima sesuatu yang bersifat indriawi, empiris dan rasional. Namun kaum shūfī tidak mengabaikan akal budi. Bagi mereka, akal budi merupakan permulaan: instrumen awal, yaitu untuk mengetahui manifestasi atau tampakan al-Ḥaqq (tajaliyyāt-ul-Ḥaqq) di alam semesta yang tampak (zhāhir-ul-Ḥaqq). Kemudian ketika sampai pada sisi bāthin dari al-Ḥaqq (bāthin-ul-Ḥaqq), akal budi menjadi kerdil. Pada titik ini, hati mampu mengatasi apa yang tidak mampu diatasi oleh akal budi. Akal, jika dibandingkan dengan Nūr Ilahi, ibarat lilin. Cahaya lilin tidak lebih terang dari cahaya lampu, cahaya lampu tidak lebih terang dari cahaya bintang, cahaya bintang tidak lebih terang dari cahaya bulan, cahaya bulan tidak lebih terang dari cahaya matahari, dan cahaya matahari akan redup di hadapan Nūr Ilahi yang merupakan mataharinya matahari-matahari tauḥīd (syamsu syumūs-it-Tauḥīd). Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 198-199 – Ed.
  5. 36). Mabnī dhammah adalah fase pertemun (al-Jam‘) dan penyatuan (at-Tauḥīd). Ketika seorang ahli hakikat telah sampai pada fase tersebut, dia menjadi marfū‘ dan mushthalim yaitu orang yang karakteristik kemanusiaannya telah dihilangkan dan dicabut, seperti kehendak, kesadaran, dan daya rasio. Terkadang orang semacam ini berperilaku nyeleneh sehingga dipandang aneh oleh orang-orang awam. Dia juga terkadang mengatakan hal-hal yang ambigu (meracau), seperti ucapan-ucapan al-Hallāj. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 201-204 – Ed.
  6. 37). Ini adalah contoh sālik pemula (al-Mubtadī’) yang mengalami kejumudan dalam menaiki tangga spiritual. Dia tidak mengalami peningkatan dalam sulūknya karena faktor-faktor tertentu. Meskipun dia telah menempuh jalan sulūk dalam waktu yang lama, dia belum juga masuk ke dalam proses menuju fase iḥsān. Dia tetap berada pada fase awal, yaitu fase īmān. Imām al-Qusyairī mengibaratkannya sebagai orang yang belum beranjak dari sūrat-ul-Ikhlāsh (ayat-ayat keimanan). Karena bagi al-Qusyairī surat ini merupakan permulaan atau bidāyah. Jadi, meskipun secara zhāhir dia tampak sedang menempuh jalan sulūk bahkan dalam waktu yang lama, namun secara bāthin kedalaman spiritualnya masih dangkal. Dia tidak kunjung sampai pada tujuan sulūk (wushūl), bahkan dia bisa kembali lagi ke permulaan (rujū‘). Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 205-206 – Ed.
  7. (1). للتوسع انظر النحو و الصرف ص 20-28 للدكتور عاصم بهجة البيطار.
  8. (2). الفجأة من الاصطلاحات الصوفية التي استخدمها القشيري في مولفاته و نخص الرسالة القشيرية. قال: البواده ما يفجأ قلبك من الغيب على سبيل الوهلة و منهم من يكون فوق ما يفجؤه حالًا و قوة. (الرسالة القشيرية ص 78). و قال: “لما ورد عليهن من شهود يوسف عليه السلام بشكل مفاجيء” ص 79. و قال: “و قد يرد بسطه فجأة ” (الرسالة ص 59). و قال: “الخشوع قشعريرة ترد على القلب بغتة عند مفاجأة كشف الحقيقة. (الرسالة ص 146).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *