Hati Senang

Mu’rab dan Mabni’ – Nahw-ul-Qulub

Cover Buku Nahwul Qulub oleh Imam al-Qusyairi
نَحْوُ الْقُلُوْبِ Naḥw-ul-Qulūb (Tata Bahasa Qalbu)   BELAJAR MENGENAL ALLAH DAN RAHASIA KEHIDUPAN MELALUI ILMU TATA BAHASA ‘ARAB.   Karya: Imam al-Qusyairi   Penerjemah: Kiai Supirso Pati Penerbit: WALI PUSTAKA

الْإِعْرَابُ وَ الْبَنَاءُ

I‘RĀB DAN BINĀ’ (161)

 

PASAL 5

MU‘RAB DAN MABNĪ

 

Kalām terbagi menjadi dua, yaitu mu‘rab dan mabnī. I‘rāb adalah perubahan akhir kalimat yang disebabkan oleh berbagai ‘āmil. Perubahan tersebut bisa berupa perubahan harakat, pemberian sukūn, dan pengurangan huruf. (172) Kalimat yang bagian akhirnya mengalami perubahan disebut mu‘rāb. Binā’ adalah tetapnya bagian akhir kalimat (tidak mengalami perubahan), baik tetapnya harakat maupun tetapnya sukūn. (183) Kalimat yang bagian akhirnya mengalami ketetapan disebut mabnī.

Bahasa qalbu (194) terbagi dua macam. Pertama, kata yang diajarkan oleh Allah (tawqīf-ul-Ḥaqq). Kedua, perkataan yang diucapkan oleh seorang hamba dengan seidzin Allah (tashrīf-ul-Khalq). Yang pertama adalah apa yang kamu dengar (dari Allah) dengan hatimu lalu berhenti sampai di situ, tanpa ada aktivitas lain darimu. Yang kedua adalah apa yang kamu ucapkan dalam munajatmu dengan Allah sesuai dengan isyarat yang simpel (isyārah bashīthah) yang kamu terima dari-Nya. Yang pertama disebut ḥāl-ul-Jam‘ dan yang kedua disebut ḥāl-ul-Farq. (205).

 

(Teks Bahasa ‘Arab):

الإعراب و البناء (16)

فصل [5]:

الكلام ينقسم إلى معرب و مبني، و الإعراب تغيير آخر الكلمة لاختلاف العامل إما بحركة أو سكون أو حذف.
وَ البناء أن يلزم آخر اللفظة إما حركة أو سكون.
و نطق القلب إما بلفظ يراعى فيه توقيف الحق، أو قالة أذِن فيها الحق تصريف الخلق، فَالأول ما تسمع بقلبك فتقف عند ذلك بلا تكلف منك (27)، و الثاني ما تناجي به مولاك على مقتضى ما تجد فيه من إشارة البسط، فأحدهما حال جمع، و الثاني حال فرق.

Catatan:

  1. 16). Secara etimologi, i‘rab adalah aktivitas mengungkapkan (ifshāḥ), menjelaskan (ibānah) dan memperjelas (izhhār). Seseorang dikatakan telah menjelaskan pandangannya ketika dia telah mengungkapkannya dan memperjelas pandangannya. Dalam terminologi ‘ulamā’ naḥwu konvensional, i‘rāb adalah pengaruh perubahan – baik yang bersifat jelas (zhāhirah) maupun bersifat abstrak/tidak kelihatan (muqaddarah) – pada akhir kalimat yang disebabkan oleh adanya ‘āmil (faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan akhir kalimat). Sementara binā’, dalam terminologi ‘ulamā’ naḥwu konvensional, adalah tetapnya akhir sesuatu kalimat meskipun kalimat tersebut dimasuki ‘amil dan menyandang status i‘rab yang berbeda-beda. Ketetapannya bagaikan sebuah bangunan yang kokoh meskipun diterpa hal-hal yang secara alamiah bisa membuatnya goyah dan berubah. Lihat an-Naḥwu wash-Sharf, hlm. 317-329, karya Dr. ‘Āshim Bahjah al-Baithār.
  2. 17). Misalnya kalimah isim (إِمْرَأَة) “seorang perempuan”, bisa menjadi (إِمْرَأَةٌ) (huruf terakhir dibaca dhammah tanwīn) jika termasuk i‘rāb rafa‘ seperti (جَاءَتْ إِمْرَأَةٌ) “seorang perempuan telah datang”, bisa menjadi (إِمْرَأَةً) (huruf terakhir dibaca fatḥah tanwīn) jika termasuk i‘rāb nashab seperti (رَأَيْتُ إِمْرَأَةً) “aku telah melihat seorang perempuan”, dan bisa menjadi (إِمْرَأَةٍ) (huruf terakhir dibaca kasrah tanwīn) jika termasuk i‘rāb jarr seperti (مَرَرْتُ بِإِمْرَأَةٍ) “aku telah melewati seorang perempuan”. Misalnya juga kalimah fi‘il (يَضْرِبُ) “dia sedang memukul”, bisa menjadi (يَضْرِبَ) (huruf terakhir dibaca fatḥah) jika termasuk i‘rāb nashab, seperti (لَنْ يَضْرِبَ) “dia tidak akan memukul” dan bisa menjadi (يَضْرِبْ) (huruf terakhir dibaca sukūn) jika termasuk i‘rāb jazm seperti (لَمْ يَضْرِبْ) “dia belum memukul” – Ed.
  3. 18). Dalam kalimah isim misalnya (سِيْبَوَيْهِ) “nama Sībawaih”. Kata ini tetap demikian adanya (huruf terakhir dibaca kasrah) walaupun dalam berbagai status yang berbeda, seperti dalam i‘rāb rafa‘: (جَاءَ سِيْبَوَيْهِ) “Sībawaih telah datang”, dalam i‘rāb nashab: (رَأَيْتُ سِيْبَوَيْهِ) “Aku telah melihat Sībawaih”, dan dalam i‘rāb jarr: (مَرَرْتُ بِسِيْبَوَيْهِ) “Aku telah melewati Sībawaih”. Dalam kalimah fi‘il misalnya kata (ضَرَبَ) “Telah memukul” dan (اِضْرِبْ) “Pukullah!”. Kata yang pertama adalah fi‘il mādhī (kata kerja bentuk lampau) yang mabnī fatḥah (huruf terakhirnya tetap berharakat fatḥah), dan kata yang kedua adalah fi‘il amr (kata perintah) yang mabnī sukūn (huruf terakhirnya tetap berharakat sukūn) – Ed.
  4. 19). Puncak bahasa qalbu adalah saat seorang shūfī mengalami proses tawājud, wajd, dan wujūd. Tawājud merupakan tangga permulaan untuk menuju wajd. Dalam tawājud, seorang shūfī merendahkan diri di hadapan Allah, misalnya dengan wirid atau lainnya. Setelah itu di mencapai wajd; kondisi batin (rūḥānī) di mana dia merasakan kelezatan batin seperti cinta (maḥabbah), cinta kepayang (‘isyq), bingung sufistik (ḥīrah), atau lainnya. Wajd juga merupakan kondisi di mana eksistensi kemanusiaan shūfī telah tenggelam. Sementara wujūd merupakan tujuan akhir shūfī yaitu wujūd-ul-Ḥaqq (Wujūd Alāh). Wujūd adalah idengtifikasi diri shūfī dengan Allah (at-Tamāhi ma‘a al-Ḥaqq) atau semacam penyatuan (ittiḥād). Dalam tingkatan wujūd ini, eksistensi shūfī telah hancur (fanā’) – Ed.
  5. 20). Tawqīf-ul-Ḥaqq adalah masuknya ma‘na-ma‘na ilahiah ke dalam diri seorang shūfī. Tawqīf-ul-Ḥaqq disebut juga dengan al-Jam‘ di mana seorang shūfī menerima kelembutan, iḥsān atau ma‘na-ma‘na ilahiah lainnya yang datang dari Allah. Ma‘na-ma‘na tersebut adalah pemberian yang murni, sederhana, dan tetap. Imām al-Qusyairī menyebutnya sebagai mabnī. Sementara tashrīf-ul-Khalq adalah perilaku sufistik seorang shūfī dalam menempuh jalan tashawwuf seperti melakukan ‘amal-‘amal shalih. Tashrīf-ul-Khalq disebut juga dengan al-Farq yaitu segala upaya sufistik seorang shūfī seperti menegakkan ‘ubūdiyyah dan hal-hal yang sesuai dengan tingkah laku manusiawi. Upaya sufistik setiap shūfī terkadang berbeda-beda, sesuai tahapan dan tangga spiritual yang sedang dituju atau telah dicapai. Oleh karena itu, Imām al-Qusyairī menyebut tashrīf-ul-Khalq atau al-Farq sebagai mu‘rab, karena bentuknya berbeda-beda sebagaimana perbedaan bentuk-bentuk i‘rāb yaitu i‘rāb rafa‘, nashab, jarr, dan jazm. Lihat al-Qusyairī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Bāb al-Jam‘u wal-Farq, hlm. 100. Lihat juga Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr; Taḥqīqu wa Syarḥu wa Dirāsah, hlm. 152 dan 153 – Ed.
  6. (1). الإعراب في اللغة هو الإفصاح و الإبانة و الإظهار. يقال: أعرب عن رأيه إذا أفصح عنه و أظهره، و الإعراب في اصطلاح النحاة هو أثرٌ ظاهر أو مقدّر يجلبه العامل في آخر الكلمات المعربة. أما البناء في اصطلاحهم فهو ثبوت آخر الكلمة على حاله واحدة على اختلاف العوامل المؤثرة فيها و موضعها من الإعراب. فكأنها البناء الثابت الذي لا يتغير على اختلاف عوامل الطبيعة (النحو و الصرف ص 18. د. عاصم بهجة البيطار.)
  7. (2). انظر الرسالة القشيرية ص 66.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.