Menyingkap Tabir Jiwa – Bab Ma’rifati ‘Alamat-il-I’rab – Tata Bahasa Sufi (2/2)

Dari Buku:
Tata Bahasa Sufi – Mengungkap Spiritualitas
Matan Jurumiyah
Oleh: Imam Ibnu ‘Ajibah al-Hasani r.a.

Penerjemah: H. Abdul Aziz Sukarnawadi, MA.
Penerbit: Badan Penerbitan dan Penerjemahan Nahdlatul Wathan (BPPNW)

Rangkaian Pos: Menyingkap Tabir Jiwa - Tata Bahasa Sufi

وَ أَمَّا الْيَاءُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي التَّثْنِيَةِ وَ الْجَمْعِ

Adapun yā’ (yakin) maka dapat menjadi tanda nashb (ridha) ketika seorang hamba menggabungkan syariat dan hakikat dan tidak memisahkannya, karena ridhanya menjadi sempurna apabila keyakinan tidak hanya tampak pada zhahirnya saja, melainkan tertanam di dalam batinnya juga.

Keyakinan juga menjadi tanda ridha ketika murid senantiasa berkumpul dengan syaikh beserta ikhwannya, sehingga ia dapat merasakan mabuk cinta yang terus-menerus sampai merasakan nikmat yang tiada tara.

 

وَ أَمَّا حَذْفُ النُّوْنِ فَيَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَفْعَالِ الْخَمْسَةِ الَّتِيْ رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّوْنِ

Dan adapun membuang nūn-ul-anāniyyah di tingkatan baqā’ maka dapat menjadi tanda nashb (ridha) apabila hamba sibuk melakukan perbuatan-perbuatan (af‘āl) yang dapat meningkatkan derajat (raf‘) hamba di sisi Allah s.w.t. dengan keikhlasan dan ketekunan (nūn).

 

وَ لِلْخَفْضِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ الْكَسْرَةُ وَ الْيَاءُ وَ الْفَتْحَةُ

Dan kerendahan hati (tawādhu‘) seseorang hamba mempunyai tiga tanda: Pertama, kasrah, yaitu ketundukan hati di hadapan Allah dan para wali-Nya. Kedua, yā’, yaitu isyarat kepada yā’ nisbah yang diraih seorang hamba sehingga disebut shūfī atau wali. Ketiga, fatḥah, yaitu keterbukaan hati sehingga ia memperoleh tawādhu‘ yang hakiki.

 

فَأَمَّا الْكَسْرَةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِيْ ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ الْمُنْصَرِفِ وَ جَمْعِ التَّكْسِيْرِ الْمُنْصَرِفِ وَ جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ

Ketundukan hati dapat menjadi tanda tawādhu‘ yang hakiki pada tiga kali: Pertama, banyak berdzikir dengan isim mufrad. Kedua, selalu berkumpul dengan para wali (ahli taksīr). Ketiga, menikah, sebab dengan pernikahan, seseorang dapat mengamalkan sunnah dan etika-etika berumah tangga. Rasulullah s.a.w. bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَ أَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

Sebaik-baik kamu adalah yang berbuat paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (161).

 

وَ أَمَّا الْيَاءُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِيْ ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَ فِي التَّثْنِيَةِ وَ الْجَمْعِ

Adapun yā’ nisbah (seseorang menjadi shūfī), maka dapat menjadi tanda tawādhu‘ pada tiga hal: Pertama, tawādhu‘ di hadapan lima jenis makhluk Allah, yaitu: manusia, jin, malaikat, binatang dan benda-benda mati. Kedua, tawādhu‘ di hadapan segala sesuatu karena melihat jalāl dan jamāl Allah padanya, sehingga ia semakin menyadari kehambaannya (‘ubūdiyyah) di hadapan ketuhanan-Nya (ulūhiyyah). Ketiga, selalu berkumpul (jam‘) bersama ikhwannya dan bersifat tawādhu‘ di hadapan mereka semua. Rasulullah s.a.w. bersabda:

اِرْحَمُوْا صَغِيْرَكُمْ وَ وَقِّرُوْا كَبِيْرَكُمْ

Sayangilah yang kecil (muda) dan hormatilah yang besar (tua).

Seorang wali juga pernah berwasiat:

اِرْحَمْ بُنَيَّ جَمِيْعَ الْخَلْقِ كُلَّهُمْ وَ انْظُرْ إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْحِلْمِ وَ الشَّفَقَهْ
وَقِّرْ كَبِيْرَهُمْ وَ ارْحَمْ صَغِيْرَهُمْ وَ رَاعٍ فِيْ كُلِّ خَلْقٍ حَقَّ مَنْ خَلَقَهْ

Hai anakku, cintailah semua ciptaan-Nya,
Tataplah mereka dengan tatapan penuh rahmah.
Hormatilah yang besar dan sayangi yang kecil.
Peliharalah hak semua ciptaan Allah.”

 

وَ أَمَّا الْفَتْحَةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلْخَفْضِ فِي الْاِسْمِ الَّذِيْ لَا يَنْصَرِفُ

Adapun fatḥah (terbukanya hati) maka dapat menjadi tanda khafdh (kehinaan dan kerendahan derajat) (172) apabila keterbukaan hati hamba digunakan untuk mencari tahta di dunia, sehingga hatinya tidak dapat berpaling (lā yansharif) dari hawa nafsunya.

Sesungguhnya ilmu hakikat hanya mampu ditekuni dan diamalkan oleh hamba yang memiliki kekuatan batin setelah membunuh nafsu-nafsunya, dan berpaling dari penghalang-penghalang suluk, serta mengikuti seorang syaikh dan melayaninya. Dengan demikian maka ia akan mencicipi manisnya syariat Allah s.w.t. dan disinari cahaya-cahaya hakikat-Nya.

 

وَ لِلْجَزْمِ عَلَامَتَانِ السُّكُوْنُ وَ الْحَذْفُ

Jazm (ma‘rifat) (183) seorang hamba mempunyai dua tanda: Pertama, sukūn, yaitu tenangnya hati laksana gunung yang kukuh dan tidak goyah oleh gempa bumi maupun hantaman awan. Bermula zhahirnya letih oleh mujāhadah namun pada akhirnya bathin menjadi tenang oleh musyāhadah, sebagaimana firman Allah:

لَا يَمَسُّهُمْ فِيْهَا نَصْبٌ

Mereka tidak merasa lelah di dalamnya.” (194).

Tanda kedua jazm adalah ḥadzf, yaitu membuang semua yang dapat menghalangi hati dari kesuciannya, sekaligus membuang segala yang menodai kemurnian tauhid, sehingga Allah s.w.t. melepaskannya dari tipu daya dunia, dan menganugerahkan kenikmatan-kenikmatan surga.

 

فَأَمَّا السُّكُوْنُ فَيَكُوْنُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الصَّحِيْحِ الْآخِرِ
وَ أَمَّا الْحَذْفُ فَيَكُوْنُ عَلَامَةً لِلْجَزْمِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الْمُعْتَلِّ الْآخِرِ وَ فِي الْأَفْعَالِ الَّتِيْ رَفْعُهَا بِثَبَاتِ النُّوْنِ

Adapun sukūn (ketenangan hati), maka dapat menjadi tanda sampai kepada musyāhadah apabila seorang hamba beramal shalih tanpa pamrih. Itulah yang disebut al-fi‘il al-mudhāri‘ ash-shaḥīḥ al-ākhir.

Dengan kata lain, keletihan zhahir hamba dengan sebab mujāhadah dapat menjadi tanda ketenangan batinnya karena musyāhadah. Dan hal itu diraih melalui taat kepada syaikh agar diutus ke hatinya prajurit cahaya untuk memerangi kegelapan di dalamnya, sedangkan kegelapan itu bersikeras untuk tetap tinggal di negeri hati, dan di sinilah terjadinya bentrok antara zhahir dan bathin, maka dianjurkan bagi seorang murid agar banyak melakukan dzikir lisan sebagai meriam yang peluruh isim mufrad-nya akan masuk ke hati dan memusnahkan kegelapan, lalu legalah zhahir dan bathin-nya.

Namun terkadang prajurit cahaya tidak dapat mengalahkan prajurit kegelapan dalam negeri hati, disebabkan ketidakseriusan bersuluk sehingga zhahirnya merasakan lega namun bathinnya amat tersiksa. Hal ini disebut salb ba‘d al-‘athā’ (dicabut nikmatnya setelah diberikan).

Dan adapun ḥadzf (membuang segala noda hati), maka dapat menjadi tanda sampai kepada hakikat ketika ia beramal shalih dengan membuang (ḥadzf) segala penyakit seperti riyā’, ‘ujub, sum‘ah, dan lain sebagainya.

Pembuangan noda hati (ḥadzf) dapat juga menjadi tanda sampai kepada hakikat (jazm) apabila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat meningkatkan derajat di sisi Allah dengan pancaran cahaya Ilahi dan kemanisan iman. Kemanisan cahaya (nūr at-tawajjuh) tersebut bila dirasakan maka dapat menyebabkan hamba diterima dengan mudah oleh Allah s.w.t. sehingga ia merasakan manisnya nūr al-muwājahah. Dengan demikian maka hamba telah sampai kepada hakikat dan ma‘rifat dengan sebuah keyakinan tertinggi serta rahasia-rahasia tauhid yang murni.

 

الْمُعْرَبَاتُ قِسْمَانِ قِسْمٌ يُعْرَبُ بِالْحَرَكَاتِ وَ قِسْمٌ يُعْرَبُ بِالْحُرُوْفِ
فَالَّذِيْ يُعْرَبُ بِالْحَرَكَاتِ أَرْبَعَةُ أَنْوَاعٍ الْاِسْمُ الْمُفْرَدُ وَ جَمْعُ التَّكْسِيْرِ وَ جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ وَ الْفِعْلُ الْمُضَارِعُ الَّذِيْ لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ
وَ كُلُّهَا تُرْفَعُ بِالضَّمَّةِ وَ تُنْصِبُ بِالْفَتْحَةِ وَ تُخْفَضُ بِالْكَسْرَةِ وَ تُجْزَمُ بِالسُّكُوْنِ
وَ خَرَجَ عَنْ ذلِكَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ يُنْصَبُ بِالْكَسْرَةِ وَ الْاِسْمُ الَّذِيْ لَا يَنْصَرِفُ يُخْفِضُ بِالْفَتْحَةِ وَ الْفِعْلُ الْمُضَارِعُ الْمُعْتَلُّ الْآخِرُ يُجْزَمُ بِحَذْفِ آخِرِهِ
وَ الَّذِيْ يُعْرَبُ بِالْحُرُوْفِ أَرْبَعَةُ أَنْوَاعٍ التَّثْنِيَةُ وَ جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ وَ الْأَسْمَاءُ الْخَمْسَةُ وَ الْأَفْعَالُ الْخَمْسَةُ وَهِيَ يَفْعَلَانِ وَ تَفْعَلَانِ وَ يَفْعَلُوْنَ وَ تَفْعَلُوْنَ وَ تَفْعَلِيْنَ
فَأَمَّا التَّثْنِيَةُ فَتُرْفَعُ بِالْأَلِفِ وَ تُنْصَبُ وَ تُخْفَضُ بِالْيَاءِ
وَ أَمَّا جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ فَيُرْفَعُ بِالْوَاوِ وَ يُنْصَبُ وَ يُخْفَضُ بِالْيَاءِ
وَ أَمَّا الْأَسْمَاءُ الْخَمْسَةُ فَتُرْفَعُ بِالْوَاوِ وَ تُنْصَبُ بِالْأَلِفِ وَ تُخْفَضُ بِالْيَاءِ
وَ أَمَّا الْأَفْعَالُ الْخَمْسَةُ فَتُرْفَعُ بِالنُّوْنِ وَ تُنْصَبُ وَ تُجْزَمُ بِحَذْفِهَا

Rahasia-rahasia ghaib di alam Jabarūt akan tampak di alam Malakūt atau alam Mulk melalui bentuk/rupa (ḥurūf) ataupun jenis (ḥarakāt). Penampakan tersebut dinamakan tajalliyyāt. Bila nampak dengan ḥurūf maka akan menjelma pada makhluk-makhluk besar seperti ‘Arsyi, Kursi, langit, bumi, gunung, dan lain sebagainya. Dan bila nampak dengan ḥarakāt maka akan menjelma pada makhluk-makhluk kecil seperti malaikat, manusia, jin, binatang, dan lain sebagainya.

Setiap ciptaan Allah tercipta bukan untuk melihat ciptaan itu semata, melainkan untuk menyaksikan kekuasaan Tuhan yang tersirat padanya. Barang siapa yang tidak melihat kekuasaan Allah pada ciptaan-ciptaanNya, maka ia tidak akan diberikan cahaya-cahaya ma‘rifat, sebab apa yang ada di alam nyata sesungguhnya merupakan bayangan dari alam ghaib, namun yang terdapat di alam ghaib jauh berbeda dari yang nampak di alam nyata.

Syaikh Ibnul Farid r.h. pernah menggambarkan apa yang beliau lihat di alam ghaib dengan kasidah beliau yang menyatakan:

صَفَاءٌ وَ لَا مَاءٌ وَ لُطْفٌ وَ لَا هَوَا وَ نُوْرٌ وَ لَا نَارٌ وَ رُوْحٌ وَ لَا جِسْمُ
تَقَدَّمَ كُلُّ الْكَائِنَاتِ حَدِيْثَهَا قَدِيْمٌ وَ لَا شَكْلٌ هُنَاكَ وَ لَا رَسْمٌ
وَ قَامَتْ بِهَا الْأَشْيَاءُ ثُمَّ لِحِكْمَةِ بِهَا احْتَجَبَتْ عَنْ كُلِّ مَنْ لَا لَهُ فَهْمٌ

Jernih tapi bukan air. Lembut tapi bukan udara,
Terang tapi bukan api. Bukan badan tapi bernyawa.
Semua yang ada telah banyak pendahulunya,
Jauh di sana tanpa bentuk tanpa rupa.
Segalanya tercipta hanya dengan nikmat-Nya,
Namun hikmah itu buat hati yang tak buta.”

Catatan:

  1. 16). H.R. At-Tirmidzi.
  2. 17). Khafdh bisa bermakna positif (ketundukan hati) dan bisa bermakna negatif (hinaan dan kesesatan) sebagaimana dijelaskan di bab bagian-bagian I‘rāb. Dan di sini ia bermaksud negatif.
  3. 18). Sebagaimana dijelaskan di awal, jazm dapat berarti tekad yang bulat menuju Allah, dan dapat juga berarti keyakinan yang tinggi hingga meraih musyāhadah. Di sini ia bermakna derajat yang tinggi atau ma‘rifat sehingga hati hamba terlepas dari segala keraguan dan bisikan-bisikan setan.
  4. 19). Al-Ḥijr: 48.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *