بَابُ مَعْرِفَةِ عَلَامَاتِ الْإِعْرَابِ
لِلرَّفْع أَرْبَعُ عَلَامَاتٍ: الضَّمَّةُ وَ الْوَاوِ وَ الْأَلِفِ وَ النُّوْنِ
Di sini kita akan mengetahui tanda-tanda berubahnya keadaan hamba sesuai keadaan hatinya.
Tanda-tanda seorang hamba memperoleh raf‘ (peningkatan derajat di sisi Allah) ada empat tanda:
Pertama, dhammah (berkumpul), yaitu selalu berkumpul dengan guru (syaikh), mencintainya, mengagunkannya, dan melayaninya. Seorang wali pernah berkata:
وَ اللهِ مَا أَفْلَحَ مَنْ أَفْلَحَ إِلَّا بِصُحْبَةِ مَنْ أَفْلَحَ
“Demi Allah, tidaklah sampai seseorang kecuali bila ia selalu bersama orang yang sampai.”
Dhammah juga berarti menahan hawa nafsu dengan mujāhadah.
Kedua, wāwu, yaitu isyarat kepada wāw-ul-hawiyyah dan al-ḥaqīqah. Artinya, tanda seseorang mendapat raf‘ ialah apabila telah mencapai fanā’ (meleburnya kehendak diri sendiri dalam kehendak Ilahi).
Wāwu juga dapat berarti wudd (kasih-sayang) dan maḥabbah (cinta) kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada syaikh yang membimbing menuju Allah dan Rasul-Nya, serta kepada ikhwan (teman-teman seperjalanan menuju Allah dan Rasul-Nya) dan juga kepada seluruh hamba Allah dan ciptaan-Nya. Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمنُ وُدًّا.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam hati mereka kasih-sayang.” (141).
Ketiga, alif, yaitu isyarat kepada alif al-waḥdah. Artinya, tanda seseorang mendapat raf‘ ialah apabila ia memiliki pendirian yang tetap dengan sebuah keinginan yang satu, tujuan yang satu, cinta yang satu, hati yang satu, serta tauhid yang satu.
Keempat, nūn, yaitu isyarat kepada nūn al-anāniyyah. Artinya, tanda seseorang mendapat raf‘ ialah apabila ia banyak berdzikir hingga ke-anā-an Allah (al-Anā al-Ilāhi) bersemayam dalam jiwa dan raganya, sehingga iapun berkata: “anā al-ḥaqq” yang tidak bermakna “aku adalah tuhan” melainkan “anā adalah hakikat kebenaran” sebab ia telah merasakannya.
Nūn juga dapat berarti nūr at-tawajjuh dan nūr al-muwājahah, yaitu cahaya-cahaya Ilahi yang menyinari hati hamba yang mabuk sufi, sehingga ia menjadi hamba yang mulia di muka bumi, dan dapat menyaksikan segala rahasia-rahasia alam setelah menyaksikan Ilahi Rabbi.
فَأَمَّا الضَّمَّةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ وَ جَمْعِ التَّكْسِيْرِ وَ جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ وَ الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ.
Adapun Dhammah (berkumpul) dengan para wali dan mencintai mereka, adalah tanda raf‘ (terangkat) hingga mencapai kewalian yang tinggi dalam empat perkara.
Pertama, dzikir isim mufrad “Allah”, sebab seorang wali pernah berkata: “Aku telah mabuk dalam dzikir isim mufrad hingga tubuhku bergerak tanpa kehendak dan pengetahuanku.”
Kedua, mencintai para wali yang disebut ahli taksīr (mematahkan), sebab para wali dengan izin dan kehendak Allah s.w.t. berkuasa mematahkan siapa saja yang memusuhi mereka.
Ketiga, menikah (jam‘) dengan wanita (mu’annats) dengan pernikahan yang selamat (sālim) dari hal-hal yang melalaikan dari dzikir, sebab pernikahan yang mulia justru memperbaiki akhlak, memberkati usia, dan memurahkan rizki.
Keempat, fi‘il mudhāri‘, yaitu berbuat sebagaimana perbuatan orang-orang shalih. Allah s.w.t. berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَ لَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa ingin berjumpa dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (152).
Dan kriteria amal shalih adalah yang diawali dengan keikhlasan, ditengahi dengan ketekunan, dan diakhiri dengan ketiadaan. Itulah yang diisyaratkan dengan alladzī lam yattashil bi ākhirihi syai.
وَ أَمَّا الْوَاوُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ مَوْضِعَيْنِ فِيْ جَمْعِ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ وَ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَ هِيَ أَبُوْكَ وَ أَخُوْكَ وَ حَمُوْكَ وَ فُوْكَ وَ ذُوْ مَالٍ
Adapun mawaddah (kasih-sayang) dan maḥabbah (cinta) yang diperoleh dari hamba-hamba Allah, maka itu menandakan kedudukan yang tinggi (raf‘) di sisi Allah apabila diperoleh dari orang-orang berakal sehat dan bukan dari orang-orang berperangai bejat.
Cinta dan kasih-sayang itupun dapat menjadi bukti kedudukan yang tinggi di sisi Allah s.w.t. apabila diperoleh dari jenis-jenis yang lima: manusia, malaikat, jin, binatang, dan benda-benda mati. Sebab, apabila Allah s.w.t. mencintai hamba-Nya, maka Ia membuatnya dicintai oleh seluruh ciptaan-Nya, sehingga dirindukan dan dipatuhi seluruh ciptaan-Nya. Inilah rahasianya mengapa para wali papan atas dipatuhi oleh segala sesuatu termasuk benda-benda mati. Rasulullah s.a.w. bersabda:
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيْلَ إِنِّيْ أُحِبُّ فَلَانًا فَأَحَبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ثُمَّ يُنَادِيْ جِبْرِيْلُ فِي السَّموَاتِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَوات ثُمَّ يُلْقَى لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ الْأَرْضِ كُلُّهَمْ جِنُّهُمْ وَ إِنْسُهُمْ
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril dan berfirman: Aku mencintai seorang hamba, maka cintailah ia”, lalu Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril memanggil seluruh penghuni langit seraya berkata: “Allah telah mencintai seorang hamba, maka cintailah ia”, lalu seluruh penghuni langit pun mencintainya, dan selanjutnya ia dimuliakan dan dicintai seluruh penghuni bumi, baik jin maupun manusia.”
Rasulullah s.a.w. juga bersabda:
إِنَّ الْعَالِمَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ دَوَابُّ الْبَرِّ وَ أَنْعَامُهُ وَ دَوَابُّ الْبَحْرِ وَ هَوَامُّهُ
“Sesungguhnya seluruh penghuni darat dan laut beristighfar untuk orang ‘alim.”
Dalam hadis lain Rasulullah s.a.w. bersabda:
إِنَّ الْعَالِمَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّموَاتِ وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانِ فِيْ جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya seluruh penghuni langit dan bumi beristighfar untuk orang alim, termasuk ikan paus di dasar laut.”
وَ أَمَّا الْأَلِفُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ تَثْنِيَةِ الْأَسْمَاءِ خَاصَّةً
Adapun alif al-waḥdah dapat menjadi tanda raf‘ bagi seorang hamba di sisi Allah s.w.t. apabila ia mengamalkan tasawwuf dan fikih tanpa memisahkan antara keduanya. Imam Malik r.a. berkata:
مَنْ تَصَوَّفَ وَ لَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَ مَنْ تَفَقَّهَ وَ لَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.
“Barang siapa mengamalkan tasawwuf dan tidak mengamalkan fikih maka ia telah zindiq. Sebaliknya, barang siapa mengamalkan fikih tanpa mengamalkan tasawwuf maka ia telah fasiq. Dan barang siapa mengamalkan keduanya maka ia telah mencapai hakikat.”
Alif al-waḥdah juga dapat menjadi tanda raf‘ seorang hamba apabila ia melihat jalāl dan jamāl Allah dalam setiap sifat-Nya (disebut tatsniyat-ul-asmā’), sehingga ia melihat positif dan negatif dalam segala sesuatu.
وَ أمَّا النُّوْنُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ إِذَا اتَّصَلَ بِهِ ضَمِيْرُ تَثْنِيَةٍ أَوْ ضَمِيْرُ جَمْعٍ أَوْ ضَمِيْرُ الْمُؤَنَّثَةِ الْمُخَاطَبَةِ
Sedangkan nūn al-anāniyyah dapat menjadi tanda raf‘ seorang hamba apabila ia memposisikan syariat pada tempatnya dan hakikat pada tempatnya. Artinya, zahirnya harus dihiasi dengan amal-amal syariat, dan batinnya harus disucikan dengan cahaya-cahaya hakikat. Inilah yang disebut dengan dhamīr tatsniyah.
Dhamīr tatsniyah juga bermakna melihat positif dan negatif dalam setiap sesuatu.
Nūn al-anāniyyah juga dapat menjadi tanda kedudukan tinggi (raf‘) seorang hamba di sisi Allah s.w.t. apabila ia selalu bersama Allah dalam setiap langkah dan keadaannya. Inilah yang disebut dengan dhamīr jam‘.
Nūn al-anāniyyah juga dapat menjadi tanda kedudukan tinggi (raf‘) seorang hamba di sisi Allah s.wt. apabila ia memiliki mata hati yang tajam (bashīrah) yang senantiasa dibisiki cahaya-cahaya Ilahi dengan rahasia ilmu laduni.
وَ لِلنَّصْبِ خَمْسُ عَلَامَاتٍ الْفَتْحَةُ وَ الْأَلِفُ وَ الْكَسْرَةُ وَ الْيَاءُ وَ حَذْفُ النُّوْنِ
Tanda-tanda seorang hamba memperoleh nashb (ridha) ada lima tanda:
Pertama, fatḥah, yaitu terbukanya hati untuk berma‘rifat hingga meridhai segala ketetapan Allah s.w.t. dan melihat kekuasaan Allah pada setiap ciptaan-Nya.
Kedua, alif al-waḥdah, yaitu benar-benar menjadikan Allah s.w.t. satu-satunya di hati hingga tidak mengenal siapapun selain-Nya.
Ketiga, kasrah, yaitu ketundukan hati di bawah takdir Allah s.w.t.
Keempat, yā’, yaitu yaqīn (keyakinan) yang sempurna hingga merasakan ketentraman yang luar biasa atas segala ketentuan Allah s.w.t.
Kelima, membuang nūn al-anāniyyah di tingkatan baqā’, sebab ketika di saat fanā’ seorang wali menyebut ana maka di saat baqā’ ia mengucap huwa.
وَ أَمَّا الْفَتْحَةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِيْ ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ وَ جَمْعِ التَّكْسِيْرِ وَ الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ وَ لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ
Fatḥah (keterbukaan hati) dapat menjadi tanda nashb (ridha) pada tiga hal: Pertama, banyak berdzikir dengan isim mufrad. Kedua, selalu bersama para wali (ahli taksīr). Dan ketiga, beramal shalih yang diakhiri dengan ketiadaan (fanā’).
وَ أَمَّا الْأَلِفُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ نَحْوُ رَأَيْتُ أَبَاكَ وَ أَخَاكَ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ
Adapun alif al-waḥdah (menomorsatukan Allah di hati) maka dapat menjadi tanda nashb (ridha) apabila seorang hamba melakukan lima hal. Pertama, mengikuti seorang syaikh. Kedua, meninggalkan semua yang menjauhkannya dari syaikh. Ketiga, selalu meminta izin dari syaikh dalam setiap keadaan. Keempat, mencapai tingkatan fanā’. Dan kelima, mencapai tingkatan baqā’.
وَ أَمَّا الْكَسْرَةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلنَّصْبِ فِي الْجَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ
Adapun kasrah (ketundukan hati di bawah takdir Allah) maka dapat menjadi tanda nashb (ridha) apabila seorang hamba selamat dari fitnah wanita. Dan ketika ia terjerumus ke dalam fitnah itu, maka ia segera kembali ke Tuhan dengan segala ketundukan dan penyesalan. Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari r.h. mengatakan:
رُبَّ مَعْصِيَةٍ أَوْرَثَتْكَ ذُلًّا وَ انْكِسَارًا خَيْرٌ مِنْ طَاعَةٍ أَوْرَثَتْكَ عِزًّا وَ اسْتِكْبَارًا
“Maksiat yang menimbulkan rasa rendah diri dan hina, itu lebih baik dari ketaatan yang menimbulkan rasa bangga diri dan sombong.