الْكَلَامُ وَ مَا يَتَألَّفُ مِنْهُ
Di dalam memulai penulisan ilmu nahwu, sudah lazim bagi para Ulama Nahwiyyin memulainya dengan menguraikan pengertian kalām dahulu, sebab dengan demikian, itu akan mudah mengetahui isim, fi‘il dan ḥarf sebagai afrād kalimah.
Bait # 8
كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ | وَ اسْمٌ وَ فِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ |
Artinya:
“Adapun pengertian kalām menurut kita (Ulama Nahwiyyin), yaitu lafazh yang berfaedah seperti lafazh: istaqim = bersikap lurus kamu! Adapun kalim, ialah: isim, fi‘il dan ḥarf.”
Maksudnya:
1:1. Lafazh, yaitu:
الصَّوْتُ الْمُشْتَمِلُ عَلَى بَعْضِ الْحُرُوْفِ الْهِجَائِيَّةِ
Artinya:
“Suara yang meliputi kepada sebagian huruf hijā’iyyah”, seperti: (كِتَابٌ)
1.2. Mufīd, yaitu:
مَا أَفَادَ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ مِنَ الْمُتَكَلِّمِ وَ السَّامِعِ عَلَيْهَا
Artinya:
“Lafazh yang memberi faedah yang sekira enak berdiamnya orang yang berbicara dan yang mendengarkannya/sama-sama mengerti.”
1.3. Yaitu murakkab (tersusun) dan dengan bahasa ‘Arab lafazh: istaqim. Lafazh istaqim ini adalah fi‘il amar, sedangkan fi‘il amar itu wajib mempunyai dhamīr yang tersimpan yaitu: anta. Maka oleh karena itu, lafazh istaqim pada hakekatnya murakkab dan lafazh istaqim itu bahasa ‘Arab.
Bait # 9
وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَ الْقَوْلُ عَمْ | وَ كَلْمَةٌ بِهَا كَلَامٌ قَدْ يُؤَمْ |
Artinya:
“Tiap satu dari (Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalām”
Maksudnya:
Contohnya seperti lafazh syahadat, itu kalām akan tetapi suka disebut kalimah syahadat atau kalimat-ul-ikhlāsh, pada hal terdiri dari isim, fi‘il dan ḥarf.
مِنْ بَابِ تَسْمِيَّةِ الشَّيْءِ بِتَسْمِيَّةِ جُزءِهِ
Perlu diketahui, bahwa isim, fi‘il dan ḥarf itu mempunyai ciri masing-masing.
Tanda-tanda isim:
Bait # 10
بِالْجَرِّ وَ التَّنْوِيْنِ وَ النِّدَا وَ اَلْ | وَ مُسْنَدٍ لِلْإِسْمِ تَمْيِيْزٌ حَصَلْ |
Artinya:
“Dengan adanya harkat jarr, tanwīn, nidā (panggilan), alif-lām dan musnad, bagi isim bisa berhasil perbedaannya dari fi‘il dan ḥarf.”
Maksudnya:
Untuk membedakan isim dari fi‘il dan ḥarf, bisa diketahui dengan salah satu dari kelima tanda ini, yaitu:
2.1. Tanwīn tamkīn, yaitu yang berada pada isim mu‘rab, seperti: (رَجُلٌ، دَفْتَرٌ)
2.2. Tanwīn tankīr, yaitu yang berada dalam isim mabnī untuk membedakan antara nakirah dan ma‘rifatnya, seperti lafazh: (صَهٍ) artinya: Diam dari segala perkataan! (nakirah). Kalau lafazh (صَهْ) artinya: Diam dari sesuatu hal tertentu (ma‘rifat).
(سِبَوَيْهِ) = ma‘rifat, (سِبَوَيْهٍ) = nakirah.
2.3. Tanwīn ‘iwadh, yaitu tanwīn pengganti dari kalimah atau ḥurūf yang dibuang, yaitu pengganti dari:
2.3.1. Idhāfat sekalimah, seperti: (قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ) asalnya: (قُلْ كُلُّ إِنْسَانٍ يَعْمَلُ).
2.3.2. Idhāfat dari jumlah, seperti: (يَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنِيْنَ) asalnya (يَوْمَ إِذْ غَلَبَتِ الرُّوْمُ فَارِسًا).
2.3.3. Dari ḥurūf yang dibuang, seperti: (جَوَارٍ) asalnya (جَوَارِيُ).
2.4. Tanwīn muqābalah (bandingan), seperti: (مُسْلِمَاتٌ) jama‘ mu’annats sālim, membandingi, jama‘ mudzakkar sālim, seperti: (مُسْلِمُوْنَ).
Lafazh (أَنَا، سَالِمٌ، قَائِمٌ) adalah mubtada’ (musnad ilaih) dan lafazh (قُمْتُ، قَائِمٌ) adalah khabar (musnad).
Bait # 11
بِتَا فَعَلْتَ وَ أَتَتْ وَ يَا افْعَلِي | وَ نُوْنِ أَقْبِلَنَّ فِعْلٌ يَنْجَلِي |
Artinya:
“Dengan tā’ lafazh fa‘alta dan tā’ ta’nīts lafazh atat, yā’ lafazh yaf‘ali dan nūn taukīd lafazh aqbilanna, fi‘il itu bisa jelas.”
Maksudnya:
Fi‘il itu bisa jelas perbedaannya dari isim dan ḥarf dengan:
3.1. Dalam fi‘il amar: (اُفْعُلِيْ، اُنْصُرِيْ).
3.2. Dalam fi‘il mudhāri‘: (لِتَفْعُلِيْ، لِتَنْصُرِيْ).
4.1. Dalam fi‘il amar: (اُنْصُرَنْ، اُنْصُرُنْ، اُنْصُرِنْ، اُنْصُرَنَّ، اُنْصُرَانِّ، اُنْصُرُنَّ الخ..)
4.2. Dalam fi‘il mudhāri‘: (لِتَنْصُرَنْ، لِتَنْصُرُنْ، لِتَنْصُرِنْ، لِتَنْصُرَنَّ، لِتَنْصُرَانِّ، لِتَنْصُرُنَّ الخ..)
Bait # 12
سِوَاهُمَا الْحَرْفُ كَهَلْ وَ فِيْ وَ لَمْ | فِعْلٌ مُضَارِعٌ يَلِيْ لَمْ كَيَشمْ |
Artinya:
“Selain isim dan fi‘il adalah ḥarf, seperti: (هَلْ، فِيْ، لَمْ) Adapun fi‘il mudhāri‘ itu suka mengikuti lam, seperti: (يَشَمُّ) = (لَمْ يَشَمَّ).”
Maksudnya:
2.1. Hal (هَلْ), ialah huruf istifhām yang suka menyertai yang isim, seperti: (هَلْ عِنْدَكَ قَلَمٌ، هَلْ زَيْدٌ قَائِمٌ), atau kepada fi‘il, seperti: (هَلْ جَاءَ مُعَلِّمٌ).
2.2. Fī (فِيْ), khusus untuk isim, seperti: (فِي الْبَيْتِ)
2.3. Dan lam (لَمْ), khusus untuk fi‘il, seperti: (لَمْ يَقْرَأْ، لَمْ يَدْخُلْ).
Bait # 13
وَ مَاضِيَ الْأَفْعَالِ بِالتَّا مِزْ وَ سِمْ | بِالنُّوْنِ فِعْلَ الْأَمْرِ إِنْ أَمْرٌ فُهِمْ |
Artinya:
“(Membedakan kamu) kepada fi‘il mādhi dengan tā’ dhamīr (seperti: نَصَرَتُ) atau tā’ ta’nīts (seperti: نَصَرَتْ) dan memberi tandalah kamu kepada fi‘il amar dengan suka memakai nūn-taukīd kalau memberi pengertian perintah.”
Contohnya: (اُنْصُرَنْ، اُنْصُرَنَّ، اُنْصُرِنْ، الخ..)
Bait # 14
وَ الْأَمْرُ إِنْ لَمْ يَكُ لِلنُّوْنِ مَحَلْ | فِيْهِ هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَ حَيَّهَلْ |
Artinya:
“Adapun lafazh yang mempunyai pengertian perintah, kalau tidak ada tempat bagi nūn-taukīd padanya (tidak menerima nūn-taukīd sebab selamanya tidak pernah ber-nūn-taukīd dan memang bukan fi‘il), maka lafazh itu dinamai isim fi‘il (bukan fi‘il), seperti: “Shah (صَهْ) = diam! Ḥayyahal (حَيَّهَلْ) = menghadap kamu! atau cepat-cepat kamu!”