Ma’rifah dan Nakirah – Nahw-ul-Qulub

نَحْوُ الْقُلُوْبِ
Naḥw-ul-Qulūb
(Tata Bahasa Qalbu)
 
BELAJAR MENGENAL ALLAH DAN RAHASIA KEHIDUPAN MELALUI ILMU TATA BAHASA ‘ARAB.
 
Karya: Imam al-Qusyairi
 
Penerjemah: Kiai Supirso Pati
Penerbit: WALI PUSTAKA

Rangkaian Pos: Kitab 1 - Nahw-ul-Qulub-il-Kabir - Nahw-ul-Qulub

الْمَعْرِفَةُ وَ النَّكِرَةُ

MA‘RIFAH DAN NAKIRAH

 

PASAL 8

DEFINISI MA‘RIFAH DAN NAKIRAH

 

Dalam nahwu eksoterik (konvensional), isim terbagi menjadi dua macam, yaitu ma‘rifah dan nakirah. (381) Begitu juga dalam nahwu esoteris (Naḥw-ul-Qulūb), makhluq terbagi menjadi dua macam, yaitu makhluq yang berada di tingkatan ma‘rifah dan makhluq yang berada di tingkatan nakirah. Keduanya memiliki batasan dan karakteristik masing-masing. Ma‘rifah merupakan tingkatan tertinggi, tidak ada lagi tingkatan yang lebih tinggi darinya. Dan makhluq yang berada di tingkatan nakirah bisa naik ke tingkatan ma‘rifah. Demikian juga bagi seorang hamba, tidak ada tingkatan tertinggi yang mungkin bisa dia capai selain tingkatan ‘irfān. Para Masyāyikh (guru shūfī) mengatakan:

مَا رَجَعَ مَنْ رَجَعَ إِلَّا مِنَ الطَّرِيْقِ، أَمَّا مَنْ وَصَلَ فَمَا رَجَعَ.

Orang yang kembali; dia tidak kembali kecuali dari perjalanan sulūk. Sementara orang yang telah sampai pada tujuan sulūk, dia tidak akan kembali.” (392)

 

(Teks Bahasa ‘Arab):

فصل [8]:

الأسماء على ضربين: اسم معرفة، و اسم نكرة.
و في الإشارة: الخلق كذلك، فمن صاحب معرفة، و من صاحب نكرة، و لكل حَدٍّ و وصف. فالاسم النكرة يصير معرفة – و لا رتبة فوق أن صار معرفة. كذلك لا رتبة للعبد فوق العرفان. قال المشايخ: مَا رَجَعَ مَنْ رَجَعَ إِلَّا مِنَ الطَّرِيْقِ، أَمَّا مَنْ وَصَلَ فَمَا رَجَعَ.

Catatan:

  1. 38). Ma‘rifah adalah lafal atau isim yang menunjukkan perkara/benda tertentu (مَا دَلَّ عَلَى مُعَيَّنٍ). Sementara nakirah adalah lafal atau isim yang menunjukkan kepada satu perkara/benda yang tidak ditentukan (الْاِسْمُ الْمَوْضُوْعُ لِفَرْدٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ). Lihat: al-‘Allāmah Sayyid Aḥmad Zaini Dahlān. Syarḥu Matn-il-Jurūmiyyah, Bāb-un-Na‘t, hlm. 19. – Ed.
  2. 39). Orang yang kembali dari perjalanan sulūk adalah para sālik pemula (al-Mubtadi’ūn) yang tidak sampai tujuan sulūk atau kembali lagi kepada jalan duniawi. Sementara orang yang telah sampai (pada tujuan sulūk) dan tidak kembali lagi adalah para ahli hakikat dan para wali. Mereka adalah orang-orang yang telah sampai pada hakikat atau tujuan sulūk (al-Wāshilūn). Ketika mereka telah sampai, mereka tidak akan kembali lagi pada jalan duniawi. – Ed.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *