Keguncangan Qalbu – Bab-ul-Hal – Tata Bahasa Sufi

Dari Buku:
Tata Bahasa Sufi – Mengungkap Spiritualitas
Matan Jurumiyah
Oleh: Imam Ibnu ‘Ajibah al-Hasani r.a.

Penerjemah: H. Abdul Aziz Sukarnawadi, MA.
Penerbit: Badan Penerbitan dan Penerjemahan Nahdlatul Wathan (BPPNW)

بَابُ الْحَالِ

Keguncangan Qalbu

 

بَابُ الْحَالِ
الْحَالُ هُوَ الْاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الْمُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الْهَيْئَاتِ نَحْوُ قَوْلِكَ جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا وَ رَكِبْتُ الْفَرْسَ مُسَرَّجًا وَ لَقَيْتُ عَبْدَ اللهِ رَاكِبًا وَ أَشْبَهَ ذلِكَ
وَ لَا يَكُوْنُ الْحَالُ إِلَّا نَكِرَةً وَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ وَ لَا يَكُوْنُ صَاحِبُهَا إِلَّا مَعْرِفَةً

Ḥāl di sisi kaum sufi adalah sebuah keguncangan hati yang disebabkan oleh dahsyatnya pancaran-pancaran Ilahi yang menerpanya hingga menggetarkan sekujur jasad. Ḥāl juga disebut dengan wajd (ekstase spiritual), sebuah ekspresi huru-hara jiwa yang bereaksi pada tubuh secara tak terkontrol dan tak terkendali sepenuhnya. Di antara para wali yang pernah diterpa ḥāl adalah Syaikh asy-Syiblī yang telah kehilangan kesadarannya hingga mati tertusuk potongan kayu tebu di kakinya secara tak disengaja.

Dalam ḥāl itu Syaikh Abū Madyān at-Tilmisānī r.a. mengunkapkan:

وَ قُلْ لِلَّذِيْ يَنْهَى عَنِ الْوَجْدِ أهْلَهُ
إِذَا لَمْ تَذُقْ مَعْنَى شَرَابِ الْهَوَى دَعْنَا
أَمَا تَنْظُرُ الطَّيْرَ الْمُقَفَّصَ يَا فَتَى
إِذَا ذَكَرَ الْأَوْطَانَ حَنَّ إِلَى الْمَعْنَى
يُفَرِّجُ بِالتَّغْرِيْدِ مَا بِفُؤَادِهِ
فَتَطْرِبُ أَرْبَابُ الْعُقُوْلِ إِذَا غَنَّى
وَ يَرْقُصُ فِيْ الْأقْفَاصِ شَوْقًا إِلَى اللَّقَا
فَتَضْطَرِبُ الْأَعْضَاءُ فِي الْحَسِّ وَ الْمَعْنَى
كَذَلِكَ أَرْوَاحُ الْمُحِبِّيْنَ يَا فَتَى
تُهَزْهِزُهَا الْأَشْوَاقُ لِلْعَالَمِ الْأُسْنَى
أَنُلْزِمُهَا بِالصَّبْرِ وَ هِيَ مَشُوْقَةٌ
وَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ الصَّبْرَ مَنْ شَاهَدَ الْمَعْنَى
إِذَا اهْتَزَّتِ الْأَرْوَاحُ شَوْقًا إِلَى اللِّقَا
نَعَمْ تَرْقُصُ الْأَشْبَاحُ يَا جَاهِلَ الْمَعْنَى
فَيَا حَادِي الْعُشَّاقِ قُمْ وَاحِدَ قَائِمًا
وَ زَمْزِمْ لَنَا بِاسْمِ الْحَبِيْبِ وَ رَوِّحْنَا
وَ صُنْ سِرَّنَا فِيْ سَكْرِنَا عَنْ حَسُوْدِنَا
وَ إِنْ أَنْكَرَتْ عَيْنَاكَ شَيْئًا فَسَامِحْنَا
فَإِنَّا إِذَا طِبْنَا وَ طَابَتْ قُلُوْبُنَا
وَ خَامَرْنَا خَمْرُ الْغَرَامِ تَهَتَّكُنَا
فَلَا تَلُمِ السَّكْرَانَ فِيْ حَالِ سَكْرِهِ
فَقَدْ رُفِعَ التَّكْلِيْفُ فِيْ سَكْرِنَا عَنَّا

Katakan pada yang tak punya rasa,
Kalau belum merasa, enyahlah sana.

Sedangkan burung berkicau menari dalam sarangnya,
Isyaratkan rindu pada kampung indahnya.

Kicauan itu lahir dari hati yang bersahaja,
Tenangkan akal nan getarkan jiwa.

Tariannya indah sungguh mempesona,
Tubuhnya mabuk tak sadarkan dirinya.

Apalagi jiwa sufi saat dilanda asmara,
Serasa ingin bergoncang meresapi cintanya.

Mengapa kau halangi? Ia tak mampu menahan dirinya,
Biarkan saja ia menari. Ia telah mabuk, sementara kau belum ada apa-apanya.

Wahai penyejuk nurani, berdendanglah dengan lagu auliya’,
Hibur kami dengan menyebut nama-Nya.

Mengertilah keadaan kami, jangan dengarkan mereka,
Dan maafkan kami bila kau sendiri tak suka.

Bila arak cinta telah tertuang dengan derasnya,
Maka mabuklah kami dengan rindu yang bergelora.

Jangan salahkan kami wahai yang tak punya rasa,
Karena orang gila takkan pernah berdosa.”

 

Setelah melewati ḥāl, seorang wali akan menempuh maqām dan di sana ia sedikit tenang dan sadar dari mabuknya, karena telah menyaksikan Tuhannya di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana firman-Nya:

فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مَقْتَدِرٍ.

Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (381).

Imam al-Junaid r.a. seusai berpindah dari ḥāl ke maqām, seorang murid berkata kepadanya: “Mengapa kini kau tenang, padahal sebelumnya kau bergoncang?”. Imam al-Junaid hanya membacakan:

وَ تَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَ هِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ.

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.” (392)

Namun terdapat sebahagian wali yang tetap berdiam dengan ḥāl-nya, seperti Syaikh Abū Yazīd al-Bisthāmī r.a., hanya saja wali yang telah mencapai maqām-lah yang patut dijadikan panutan. Adapun yang masih di alam ḥāl, maka tidak boleh ditiru keadaannya, karena ia mabuk dan kehilangan akalnya. (403).

Contoh wali yang masih dalam keadaan ḥāl dan sudah mempunyai murid adalah Syaikh Abusy-Syitā’ al-Khammār yang selalu menggantung kaki muridnya di atas dan menjadikan kepalanya di bawah, lalu menyalakan api di bawahnya.

Dengan demikian maka dapat dirincikan bahwa stasion-stasion spiritual yang akan dilalui seorang murid adalah ‘ilm (mengetahui), kemudian ‘amal (berbuat), lalu ḥāl (terangsang), kemudian dzawq (mencicipi), lalu syarb (meminum), kemudian sakr (mabuk), lalu maqām (sadar) atau yang disebut dengan shaḥw.

Ḥāl merupakan sebuah anugerah yang ditempuh melalui dzikir berjamaah dan melantunkan kasidah-kasidah para wali (sama‘), hingga mencapai maqām. Apabila ḥāl tidak ditempuh murid dengan dzikir dan sama‘, maka setan-lah yang hadir menggelapkan jiwanya.

Ḥāl juga dapat ditempuh dengan cara yang keliru, sebagaimana orang shalih yang mendengarkan perkataan seseorang:

إِذِ الْعِشْرُوْنَ مِنْ شَعْبَانَ وَلَّتْ
فَوَاصِلْ شُرْبَ لَيْلِكَ بِالنَّهَارِ
وَ لَا تَشْرَبْ بِأَقْدَاحٍ صِغَارِ
فَقَدْ ضَاقَ الزَّمَانُ عَلَى الصِّغَارِ

Jikalau duapuluh Sya‘ban telah datang,
Maka sambunglah ibadah malammu hingga siang.

Dan jangan melakukan ibadah-ibadah yang kecil,
Karena masa tak cukup buat ibadah yang kecil.”

Orang shalih itupun segera menuju Makkah dan sibuk beribadah di sana hingga mati dengan ḥāl-nya. Padahal, andai saja nasibnya lebih beruntung, maka ia takkan memilih pergi ke Makkah, sebab pahala ibadah hati seseorang berlipat ganda di manapun ia melakukannya. Seorang ahli hikmah mengatakan:

الذَّرَّةُ مِنْ أَعْمَالِ الْقُلُوْبِ أَفْضَلُ مِنْ أَمْثَالِ الْجِبَالِ مِنْ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ.

Sebiji ibadah hati lebih mulia dari segunung ibadah badan.”

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

رَكَعَةٌ مِنْ عَالِمٍ بِاللهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ رَكَعَةٍ مِنْ جَاهِلٍ بِاللهِ.

Satu rakaat saja dari hamba yang berilmu lebih besar pahalanya daripada seribu rakaat dari hamba yang dungu (jahil tentang Allah).”

Ḥāl dapat memindahkan murid dari satu keadaan hati ke keadaan hati lainnya. Ia dipindahkan dari alam kemalasan menuju alam kesungguhan, dari alam kelalaian menuju alam dzikir, dari alam kehampaan menuju alam kenyataan, dan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī r.a. mengatakan:

أَوْرَدَ عَلَيْكَ الْوَارِدُ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُوْدِكَ إِلَى فَضَاءِ شُهُوْدِكَ.

“Sesungguhnya Allah menganugerahimu ḥāl agar engkau bebas dari penjara wujudmu menuju angkasa penyaksianmu.”

Ḥāl juga dapat menampakkan suasana hati hamba yang tersembunyi dalam batinnya (al-mufassiru lima inbahama min-al-hay’āt). Apabila amal jasadnya sesuai dengan tuntunan syariat, maka suasana hatinya diterangi oleh cahaya hakikat. Namun apabila amalnya bertolak belakang dengan ajaran syariat, maka hatinya digelapkan oleh asap setan terlaknat. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī r.a. mengatakan:

لَا تُزَكِّيْنَ وَارِدًا لَا تَعْلَمُ ثَمَرَتَهُ فَلَيْسَ الْمُرَادُ مِنَ السَّحَابَةِ الْأَمْطَارِ وَ إِنَّمَا الْمُرَادُ مِنْهَا وُجُوْدُ الْأَثْمَارِ.

“Jangan bersenang dulu dengan suasana hatimu yang belum membuahkan amal, karena mendung menghendaki kesuburan bumi, bukan semata-mata turunnya hujan.”

Ḥāl hanyalah mendung yang menhujani cakrawala hati dengan penyingkapan-penyingkapan Ilahi, sehingga hamba tidak pernah menjauh dari bimbingan Yang Maha Suci, karena telah menjadi hamba Allah tanpa alasan, dan bukan hamba ḥāl yang sebetulnya hanya merupakan liku-liku perjalanan. Syaikh as-Sakandarī r.a. menambahkan:

لاَ تَطْلُبَنَّ بَقَاءَ الْوَارِدَاتِ بَعْدَ أَنْ بَسَطَتْ أَنْوَارَهَا عَلَيْكَ وَ أَوْدَعَتْ أَسْرَارَهَا فَلَكَ فِي اللهِ غِنًى عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَ لَيْسَ يُغْنِيْكَ عَنْهُ شَيْءٌ.

“Jangan mengharapkan kekalnya ḥāl-mu. Biarlah Allah memalingkanmu dari segala sesuatu, dan jangan biarkan sesuatu apapun memalingkanmu dari Tuhanmu.”

Catatan:

  1. 38). Al-Qamar: 55.
  2. 39). An-Naml: 88.
  3. 40). Hamba-hamba yang ditimpa ḥāl disebut dengan arbāb-ul-aḥwāl atau oleh Syaikh ‘Abdullāh al-Yāfi‘ī disebut dengan ahl-ut-takhrīb.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *