الْكَلَامُ
PASAL 2
Kalām (71) adalah suatu rangkaian kalimat yang terdiri dari isim, fi‘il, dan ḥurūf yang menghasilkan ma‘na. Dalam Naḥw-ul-Qulūb, isim adalah Allah. Fi‘il adalah segala sesuatu yang berasal dari Allah. Sedangkan ḥurūf ada yang khusus melekat pada isim. Melekatnya huruf pada isim akan menetapkan suatu hukum bagi isim. Sebagaimana dalam ilmu naḥwu konvensional, ketika ḥurūf melekat pada isim, maka berlaku hukum nashab, jarr, atau lainnya bagi isim. Selain itu, ada ḥurūf yang khusus melekat pada fi‘il. Melekatnya ḥurūf pada fi‘il akan menetapkan suatu penisbahan bagi fi‘il. Sebagaimana (dalam ilmu naḥwu konvensional) ḥurūf dapat menetapkan hukum nashab dan jazm pada fi‘il.
Dengan demikian, dalam Naḥw-ul-Qulūb (misalnya) sifat ‘ilm (82) (ḥurūf) yang melekat pada Allah (isim) akan menetapkan sifat “al-‘Ālim” (93) bagi-Nya. Begitu juga sifat qudrah (104), ḥayāh (115), dan sifat-sifat Dzāt Allah yang lain (shifat-udz-Dzāt). Sementara dalam relasi-Nya dengan makhluq (alam semesta), segala perbuatan-Nya (af‘āl-ul-Ḥaqq) – yang merupakan keniscayaan dari sifat-sifatNya (shifat-udz-Dzāt) – akan menetapkan isim shifat bagi-Nya (sebagai penisbahan). (126).
PASAL 3
Dalam Naḥw-ul-Qulūb, isim adalah informasi yang datang dari Allah (al-Ḥaqq). Fi‘il adalah keinginan yang disampaikan oleh seorang hamba kepada Allah. Sementara huruf adalah ikatan yang menyempurnakan ma‘na (fā’idah) dari bahasa qalbu. (137).
PASAL 4
Kalām yang memiliki ma‘na atau kalām mufīd adalah kalām yang tersusun dari isim dan isim, atau fi‘il dan isim. (148). Adapun selain dua susunan itu, disebut kalām yang tidak memiliki ma‘na atau kalām ghairu mufīd.
Dalam Naḥw-ul-Qulūb, juga terdapat kalām mufīd dan kalām ghairu mufīd. Kalām ghairu mufīd adalah kalām yang bukan untuk Allah. Sementara kalām mufīd adalah kalām yang didengar dari Allah atau digunakan untuk berbicara kepada Allah. Adapun selain kalām mufīd adalah kalām yang kosong (sia-sia).
Dikatakan: Kalām mufīd berupa kalām yang menunjukkan ma‘na tentang Dzāt Allah, mengisyaratkan ma‘na tentang sifat-Nya dan mengandung ungkapan yang berma‘na tentang ciptaan-Nya. Pembagian ini secara keseluruhan tercakup dalam kalām mufīd. Dengan demikian, tidak satu pun bentuk kalām mufīd yang keluar dari tiga hal tersebut. (159).
(Teks Bahasa ‘Arab):
فصل [2]:
الكلام (110) اسم، و فعل، و حرف جاء لمعنى:
و في نحو (القلوب): الاسم هو الله و الفعل ما كان من الله، و الحرف إما يختص بالاسم فيوجب له حكمًا، أو يختص بالفعل فيقتضي له نسبة، و كما أن الحرف إذا دخل على اسم أوجب له إما حكم النصب أو الخفض أو غيره، فالوصف الذي هو العلم (مثلًا) يوجب لله حكم العالم…..و كذلك القدرة و الحياة و سائر صفات الذات.
و كما أن من الحروف ما يوجب للفعل حكم النصب و الجزم فوقوع أفعال الحق على أوصاف يوجب له نعت الاسم في الخلق.
فصل [3]:
و الاسم في نحو القلب ما كان مخبرًا عنه في مخاطبة الحق، و الفعل ما كان خبرًا في مخاطبة العبد مع الحق.
و الحروف رباطات تتم بها فوائد نطق القلب.
فصل [4]:
و الكلام المفيد ما كان اسمًا و اسمًا، أو فعلًا وَ اسمًا وَ مَا عداه من الاقسام غير مفيد.
و في نحو القلب مفيد و غير مفيد، فغير المفيد ما ليس لله، و المفيد ما يسمع من الحق أو يخاطب به الحق، و ما سواه فلغو.
و يقال: المفيد إما دل على الذات، أو أشار إلى الصفات، أو كان عبارة عن المصنوعات… هذا هو التقسيم الحاوي لجميع المعاني، لا يشذ عنه قسم من أقسام الخطاب الذي هو مفيد.
13). Dalam naḥwu konvensional, isim adalah sesuatu yang menunjukkan ma‘na dirinya yang tidak berkaitan dengan salah satu dari tiga pembagian waktu: mādhī (lampau), ḥāl (sekarang), dan mustaqbal (yang akan datang). Sedangkan fi‘il adalah sesuatu yang menunjukka ma‘na dirinya yang berkaitan dengan salah satu dari tiga pembagian waktu: mādhī (lampau), ḥāl (sekarang), dan mustaqbal (yang akan datang). Hubungan antara isim dan fi‘il adalah hubungan antara ashl (akar) dan far‘ (cabang). Dan fi‘il merupakan cabang dari isim. Adapun ḥurūf adalah sesuatu yang tidak menunjukkan ma‘na dirinya. Ḥurūf justru menunjukkan ma‘na yang bukan dirinya, dalam arti dia melekat pada ma‘na isim dan fi‘il.
Dalam Naḥw-ul-Qulūb, isim dinisbatkan kepada Dzāt Allah. Isim menegaskan bahwa Dzāt Allah tidak didahului oleh apa pun dan tidak berkaitan dengan waktu, baik mādhī, ḥāl, atau mustaqbal. Dia bahkan melampaui waktu itu sendiri (fauq-az-Zamāniyyah). Sementara fi‘il adalah representasi perbuatan Allah dalam bentuk relasi Diri-Nya dengan makhluq, yaitu alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya. Relasi ini merupakan relasi al-Ḥaqq dengan manifestasi-Nya (tajalliyāt) dalam tataran alam fenomenal yang berkaitan dengan waktu, baik mādhī, ḥāl, atau mustaqbal. Relasi Allah dengan manifestasi-Nya dilandasi oleh kehendak dan pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, fi‘il menegaskan bahwa Allah adalah akar (ashl) dari segala sesuatu di alam semesta (far‘). Adapun huruf merupakan ikatan yang bertujuan agar misi (ma‘na) dari perkataan terpuji (bahasa qalbu) – yang objeknya adalah Allah – bisa tercapai secara sempurna. Ketika hati seorang hamba mengatakan bahwa hanya Allah yang berhak mengklaim: “Segala sesuatu adalah dari-Ku, demi Aku, dan atas kuasa-Ku,” maka dia telah mencapai misi dari bahasa qalbu secara sempurna. Karena hal ini berarti seorang hamba (far‘) berada dalam ikatan yang erat dengan Allah yang berhak mengucapkan klaim itu. Namun jika hati seorang hamba justru mengatakan “Itu dariku, demi aku dan atas kuasaku,” maka misi dari bahasa qalbu tida pernah tercapai. Karena dengan klaim tersebut, dia tidak mengikat dirinya (sebagai far‘) dengan Allah (sebagai ashl). Dalam arti dia tidak meyakini Allah sebagai ashl. Lihat Ibrāhīm Basyūnī dan Aḥmad ‘Ilm-ud-Dīn al-Jundī dalam Naḥw-ul-Qulūb al-Kabīr, Taḥqīqu wa Syarḥ-ud-Dirāsah, hlm. 131-132. – Ed.