Hati Senang

Kalam – Ilmu Nahwu Sistem 24 jam

Dari Buku:
Metode Pembelajaran Ilmu Nahwu
Sistem 24 jam
Oleh: Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz Senali
Penerbit: TERBIT TERANG
Surabaya

الْأَجُرُّوْمِيَّةُ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

الْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيْدُ بِالْوَضْعِ

Kalam adalah lafazh yang tersusun yang berfaedah bagi orang yang dituju.

Maksudnya, kalam adalah lafazh yang tersusun yang berfaedah bagi orang yang mendengar atau yang diajak bicara. Kalam, menurut istilah para ahli Ilmu Nahwu, ialah harus memenuhi empat syarat, yaitu:

1. Lafazh, yaitu:

فَاللَّفْظُ هُوَ الصَّوْتُ الْمُشْتَمِلُ عَلَى بَعْضِ الْحُرُوْفِ الْهِجَائِيَّةِ

Lafazh adalah Suara (ucapan) yang mengandung sebagian huruf hijaiyah.

Seperti lafazh (زَيْدٌ) Zaid. Sesungguhnya lafazh Zaid adalah suara (ucapan) yang mengandung huruf Za’, Ya’ dan Dal. Bila ucapan tidak mengandung sebagian huruf hijaiyah, seperti suara genderang (termasuk pula suara ayam, beduk, kaleng, petir, mesin, dan sebagainya), maka tidak dinamakan lafazh. Dan ada pula sesuatu yang berfaedah namun menurut para ahli ilmu nahwu tidak digolongkan lafazh, seperti isyarah, tulisan, surat keterangan dan bendera.

2. Murakkab (tersusun), yaitu:

وَ الْمُرَكَّبُ مَا تُرُكِّبَ مِنْ كَلِمَتَيْنِ فَأَكْثَرَ.

Murakkab adalah ucapan yang tersusun dari dua kalimat atau lebih.

Seperti (قَامَ زَيْدٌ) Zaid (sudah) berdiri (زَيْدٌ قَائِمٌ) Zaid berdiri.

Kedua contoh ini maksudnya sama tetapi susunannya berbeda. Contoh pertama terdiri dari fi‘il dan fa‘il dan setiap fa‘il pasti di-rafa‘-kan. Contoh kedua terdiri dari mubtada’ dan khabar. Setiap mubtada’ pasti di-rafa‘-kan karena menjadi permulaan bicara dan setiap khabar juga di-rafa‘-kan karena mengikuti mubtada’. (Masalah mubtada’ dan khabar dijelaskan dalam bab tersendiri.)

Kalau hanya sepatah kata, menurut para ahli Ilmu Nahwu tidak termasuk murakkab, seperti lafazh (زَيْدٌ) Zaid.

3. Mufid (berfaedah), yaitu:

وَ الْمُفِيْدُ مَا أَفَادَ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهَا مِنَ الْمُتَكَلِّمِ وَ السَّامِعِ.

Mufid adalah ungkapan yang memberikan pemahaman sehingga pembicara dan pendengarnya merasa puas.

Seperti (زَيْدٌ قَائِمٌ) Zaid berdiri dan (قَامَ زَيْدٌ) Zaid (sudah) berdiri.

Sesungguhnya kedua contoh ini memberikan pemahaman yang membuat pendengarnya merasa puas. Yaitu kepuasan mengenai berita berdirinya Zaid, karena pendengar ketika mendengar hal itu tidak menunggu lagi sesuatu lainnya yang menjadikan sempurnanya kalam dan pembicaranya sendiri juga merasa puas. Dan ada sesuatu yang tidak digolongkan mufid, yaitu susunan yang tidak dapat memberikan pemahaman/kepuasan kepada pendengar, seperti (غُلَامُ زَيْدٌ) Anak kecil, Zaid bila tidak ada sesuatu yang dimusnadnya kepadanya. Karena sempurnanya kalam itu (غُلَامُ زَيْدٍ) adalah (Anaknya Zaid) sebagai jawaban dari pertanyaa (مَنْ هذَا الْغُلَامُ) Anak siapakah ini?.

Contoh lagi: (إِنْ قَامَ زَيْدٌ) Apabila Zaid berdiri?, (إِنْ قَرَأَ مُحَمَّدٌ) Apabila Muhammad membaca. Tanpa dilengkapi kalimat lainnya. Kalimat ini belum sempurna dan tidak bisa difahami.

Kalau ingin sempurna harus ada tambahan (diberi jawaban), seperti:

(إِنْ قَامَ زَيْدٌ قُمْتُ) Apabila Zaid berdiri, akupun berdiri.

(إِنْ قَرَأَ مُحَمَّدٌ الْقُرْآنَ قَرَأْتُهُ) Kalau Muhammad membaca al-Qur’an, akupun membacanya.

4. Wadha‘ (mengandung arti, pengertian, maksud dan tujuan).

Mengenai pengertian wadha‘ ini ada dua penafsiran. Sebagian ahli ilmu nahwu menafsiri dengan (الْقَصْدُ) = tujuan. Maksudnya adalah ucapan itu jelas yang dituju, bukan sekedar ucapan. Karena itu ucapan yang tidak jelas tujuannya tidak termasuk wadha‘ seperti ucapan orang yang sedang tidur (mengigau), orang yang lalai dan sejenisnya.

Sebagian lainnya menafsiri dengan (الْعَرَبِيُّ) = bahasa ‘Arab. Maksudnya harus berbahasa ‘Arab. Ucapan yang bukan bahasa ‘Arab (‘Ajam), seperti bahasa Turki, Barbar, Jerman, Indonesia, Jawa dan lain-lainnya, menurut para ahli Ilmu Nahwu tidak termasuk wadha‘, berarti juga tidak bisa disebut kalam.

Kata Nazim Imrithi:

وَ الْكِلْمَةُ اللَّفْظُ الْمُفِيْدُ الْمُفْرَدُ كَلَامُهُمْ لَفْظٌ مُفِيْدٌ مُسْنَدُ

Kalam menurut mereka (para ahli Ilmu Nahwu) ialah suatu lafazh yang mengandung arti (berfaedah) yang bersifat musnad (susunan). Sedangkan Kalimat adalah satu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan makna yang bersifat mufrad.

Nazham ini menambahkan, kalam itu dikatakan sempurna itu bila berupa susunan lafazh yang berfaedahkan mengandung makna (الْمُفِيْدُ) dan bersifat musnad. Kalau ada lafazh tidak mempunyai arti tidaklah disebut kalam. Misalnya (زَيْدٌ) Zaid di balik menjadi (دَيْزٌ), karena (دَيْزٌ) tidak mempunyai arti.

Musnad (الْمُسْنَدُ) artinya terdiri dari dua lafazh atau lebih dan bisa difahami oleh yang mendengarkan atau orang yang diajak bicara (orang yang dituju).

Sedangkan yang dinamakan kalimat adalah satu lafazh untuk menunjukkan makna yang bersifat tunggal. Dalam bahasa Indonesia kalimat disebut kata atau sama dengan kata.

Syarat Kalam
Lafazh Murakkab Mufid Wadha‘


Latihan:

  1. Apakah yang dinamakan kalam itu?
  2. Berapa macam syarat kalam itu? Sebutkan?
  3. Apakah yang dinamakan lafazh?
  4. Apakah bunyi bedug, suara petir, kokok ayam termasuk lafazh atau tidak? Jelaskan alasannya masing-masing!
  5. Apakah yang dinamakan murakkab?
  6. Apakah yang dinamakan mufid? Berikan contohnya!
  7. (إِنْ كَتَبْتُمْ) apakah mufid atau tidak? Jelaskan alasannya!
  8. Apakah yang dinamakan wadha‘.
  9. Perkataan orang mengigau apakah termasuk wadha‘? Jelaskan alasannya!
  10. Apakah yang dinamakan musnad?
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.