Jihad Melawan Nafsu – Bab-ul-Af’al – Tata Bahasa Sufi

Dari Buku:
Tata Bahasa Sufi – Mengungkap Spiritualitas
Matan Jurumiyah
Oleh: Imam Ibnu ‘Ajibah al-Hasani r.a.

Penerjemah: H. Abdul Aziz Sukarnawadi, MA.
Penerbit: Badan Penerbitan dan Penerjemahan Nahdlatul Wathan (BPPNW)

بَابُ الْأَفْعَالِ

Jihad Melawan Nafsu

الْأَفْعَالُ ثَلَاثَةٌ مَاضٍ وَ مُضَارِعٌ وَ أَمْرٌ

Jihad melawan hawa nafsu mempunyai tiga masa; dulu, sekarang, dan akan datang. Dan manusia dalam hal ini terbagi tiga: ada yang sedih dengan masa lalunya, ada yang takut dengan masa depannya, dan ada yang sibuk mengisi waktu sekarangnya.

Dengan kata lain, jihad manusia ada tiga macam: jihadnya ketika masih pemula, jihadnya saat ini, dan hasil jihadnya di masa yang akan datang. Rasulullah s.a.w. bersabda:

الْمُؤْمِنُ بَيْنَ مَخَافَتَيْنِ بَيْنَ أَجَلٍ قَدْ مَضَى لَا يَدْرِيْ مَا اللهُ صَانِعٌ بِهِ وَ بَيْنَ أَجَلٍ قَدْ بَقَى مَا اللهُ قَاضٍ فِيْهِ فَلْيَتَزَوَّدِ الْعَبْدُ مِنْ نَفْسِهِ لِنَفْسِهِ وَ مِنْ دُنْيَاهُ لِآخِرَتِهِ وَ مِنْ حَيَاتِهِ لِمَوْتِهِ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْ مُسْتَعْتَبٍ وَ مَا بَعْدَ الدُّنْيَا مِنْ دَارٍ إِلَّا الْجَنَّةُ وَ النَّارُ

Orang mu’min antara dua ketakutan; ketakutan dengan masa lalu; apa yang Allah perbuat padanya, dan ketakutan dengan masa depan; apa yang akan Allah takdirkan untuknya. Maka hendaklah seorang hamba membekali dirinya semasa hidup di dunia untuk keselamatan dirinya sewaktu hidup di akhirat. Demi Allah, selepas mati nanti tidak ada tempat mengadu, dan setelah dunia tidak ada tempat tinggal selain surga dan neraka.

Seorang hamba sebaiknya melupakan masa lalunya dan tidak selalu mengingatnya, kecuali bila mengingat dosa-dosanya, maka hendaknya ia memperbaharui penyesalan dan taubatnya, dan bila mengingat kebaikannya maka hendaklah ia bersyukur ke hadirat Allah s.w.t.

Seorang hamba juga sebaiknya tidak sibuk memikirkan nasib masa depannya. Ia harus berusaha sambil bertawakal kepada Yang Maha Mengetahui lagi Menyayangi, sebab Allah s.w.t. lebih mengetahui maslahat kita daripada diri kita sendiri, dan Ia lebih menyayangi diri kita daripada kita sendiri.

Dengan demikian maka seyogyanya seorang hamba sibuk mengisi hari-harinya yang sekarang dengan banyak berdzikir dan beribadah sebelum terlambat dan menyesal.

 

نَحْوُ ضَرَبَ وَ يَضْرِبُ وَ اضْرِبْ. فَالْمَاضِي مَفْتُوْحٌ الْآخِرِ أَبَدًا. وَ الْأَمْرُ مَجْزُوْمٌ أَبَدًا. وَ الْمُضَارِعُ مَا كَانَ فِيْ أَوَّلِهِ إِحْدَى الزَّوَائِدِ الْأَرْبَعِ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ اَنَيْتُ

Masa lampau (mādhī) hamba yang telah dilaluinya dengan jihad melawan hawa nafsu, taat beribadah, dan banyak berdzikir, pasti berakhir dengan keterbukaan hati (maftūḥ-ul-ākhir) dan ma‘rifat, sebab Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari r.a. menyatakan:

مَنْ أَشْرَقَتْ بِدَايَتُهُ أَشْرَقَتْ نِهَايَتُهُ

“Barang siapa mulia awalnya maka akan mulia pula akhirnya.”

Adapun perkara (amr) yang akan menyampaikan hamba kepada Tuhannya, maka ia bersifat pasti (majzūm) dan tidak akan berubah selamanya. Artinya, segala sesuatu yang berfungsi menyampaikan hamba kepada Tuhan seperti dzikir dan lain-lain, sangat menjamin dan meyakinkan hingga hamba dapat menikmati puncaknya musyāhadah (penyaksian), muwājahah (penghadapan), dan mukālamah (perbincangan).

Adapun perbuatan meniru (mudhāri‘) orang-orang mulia yang tidak didasari cinta yang tulus, melainkan sekedar menyerupai mereka saja dengan niat agar dikatakan mulia juga, maka hal itu disebabkan oleh empat penyakit yaitu cinta dunia, haus harta, takut manusia, dan gila harta. Keempat hal itu dilatarbelakangi sifat bangga diri yang merupakan sumber segala penyakit hati, sehingga seseorang mengaku telah sampai dengan perkataan anaitu (aku sedikit lagi sampai), padahal jarak antara ia dan Tuhan sejauh langit dan bumi. Penyakit ini disebabkan oleh kejahilan yang bertumpuk dikarenakan tidak mau mengikuti para wali. Seorang ahli hikmah menyatakan:

لَا تُعْرَفُ الْمَقَامَاتُ إِلَّا بِصُحْبِةِ أَهْلِ الْمَقَامَاتِ

“Tidaklah dicicipi tingkatan-tingkatan para wali, kecuali dengan mengikuti para wali itu sendiri.”

وَهُوَ مَرْفُوْعٌ أَبَدًا حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ أَوْ جَازِمٌ

Seseorang yang menyerupai orang-orang shalih dengan dasar cinta yang tulus ia senantiasa diangkat oleh Allah s.w.t. sebab Rasulullah s.a.w. bersabda:

مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا حُشِرَ مَعَهُمْ

Barang siapa mencintai suatu kelompok maka ia akan dibangkitkan di akhirat bersama mereka.”

Dalam hadits lain, Rasulullah s.a.w. bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa menyerupai suatu kelompok maka ia tergolong mereka.”

Maka seseorang dapat menjadi mulia dengan menirukan orang-orang mulia, selagi ia selamat dari penghalang-penghalang suluk (nāshib) atau yang membuatnya menjauh dari para wali dan memilih orang-orang buta (jāzim).

 

فَالنَّوَاصِبُ عَشَرَةٌ وَ هِيَ أَنْ وَ لَنْ وَ إِذَنْ وَ كَيْ وَ لَامُ كَيْ وَ لَامُ الْجُحُوْدِ وَ حَتَّى وَ الْجَوَابُ بِالْفَاءِ وَ الْوَاوِ وَ أَوْ
وَ الْجَوَازِمُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ وَ هِيَ لَمْ وَ لَمَّا وَ أَلَمْ وَ أَلَمَّا وَ لَامُ الْأَمْرِ وَ الدُّعَاءِ وَ لَا فِيْ النَّهْيِ وَ الدُّعَاءِ وَ إِنْ وَ مَا وَ مَنْ وَ مَهْمَا وَ إِذْمَا وَ أَيٌّ وَ مَتَى وَ أَيَّانَ وَ أَيْنَ وَ أَنَّى وَ حَيْثُمَا وَ كَيْفَمَا وَ إِذًا فِي الشِّعْرِ خَاصَّةً

Hal-hal yang menghalangi hamba dapat sampai kepada Tuhannya ada sepuluh: cinta dunia, haus harta, gila harta, susah memikirkan rizki, takut miskin, selalu bergantung pada makhluk, prasangka buruk, memungkiri adanya ahli khushūshiyyah (para wali), memungkiri adanya ahli tarbiyah (para wali mursyid), dan menyayangi hawa nafsu sehingga tidak diperanginya.

Sedangkan hal-hal yang menjauhkan hamba dari para wali ada delapan belas: sombong, dengki, suka ditinggikan, bangga diri, riya’, tidak tunduk terhadap para wali, suka melawan/mengkritisi mereka, mencaci orang-orang miskin, menghina ciptaan-ciptaan Allah, takut makhluk, membela orang-orang zhalim, tunduk di bawah mereka, berhenti bersuluk karena sudah sampai ke tingkatan tertentu atau mendapat suatu keramat atau sudah merasakan manisnya taat, sibuk dengan ilmu-ilmu zhahir, merasa cukup dengan kulit syari‘at, nekad menggeluti ilmu-ilmu tinggi tanpa bimbingan wali, dan menjadi mursyid tanpa izin wali dan restu Ilahi.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *