Isim Mufrad dan Isin Tatsniyyah – Nahw-ul-Qulub

نَحْوُ الْقُلُوْبِ
Naḥw-ul-Qulūb
(Tata Bahasa Qalbu)
 
BELAJAR MENGENAL ALLAH DAN RAHASIA KEHIDUPAN MELALUI ILMU TATA BAHASA ‘ARAB.
 
Karya: Imam al-Qusyairi
 
Penerjemah: Kiai Supirso Pati
Penerbit: WALI PUSTAKA

Rangkaian Pos: Kitab 1 - Nahw-ul-Qulub-il-Kabir - Nahw-ul-Qulub

الْمُفْرَدُ وَ التَّثْنِيَّةُ

ISIM MUFRAD DAN ISIM TATSNIYYAH

 

PASAL 9

HUKUM MUFRAD DAN TATSNIYYAH

 

Jika isim mufrad (kata benda tunggal) dijadikan bentuk tatsniyyah (kata benda berma‘na ganda), maka bagian akhirnya ditambah alif dan nūn. Penambahan alif dan nūn ini terjadi ketika dalam keadaan rafa‘ (401) Sementara ketika dalam keadaan nashab dan jarr, maka bagian akhir isim mufrad itu ditambah yā’ dan nūn. (412) Nūn tersebut disebut nūn tatsniyyah; dibaca kasrah dan akan terbuang ketika masuk dalam tarkīb idhāfah. (423).

Dalam Naḥw-ul-Qulūb tema ini memiliki isyarat dan pema‘naan tersendiri, misalnya kata (الْوَاحِدُ) “yang Maha Tunggal” tidak memilik bentuk tatsniyyah. Oleh karena itu, kata (الْوَاحِدُ) tidak bisa menjadi (الْوَاحِدَانِ) “dua yang Maha Tunggal”. Kata (الْإِثْنَانِ) “dua” juga tidak memiliki bentuk mufrad. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa bentuk mufrad dari kata (الْإِثْنَانِ) adalah kata (الْإِثْنُ). Jadi, mengatakan (الْوَاحِدَانِ) sebagai bentuk tatsniyyah dari (الْوَاحِدُ) dan mengatakan (الْإِثْنُ) sebagai bentuk mufrad dari (الْإِثْنَانِ) adalah sesuatu yang mustahil.

Dengan demikian, Allah sebagai Dzāt Yang Maha Tunggal, mustahil terlepas dari ketunggulan-Nya, baik secara konsep (dibayangkan) maupun dari segi realitasnya. Adapun makhluq, yang secara dzāt bisa menerima sifat ke-dua-an (ketersekutuan) mustahil menjadi yang Maha Tunggal.

Allah s.w.t. berfirman:

مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.

Dan Kami telah menciptakan dari setiap apa saja berpasang-pasangan, agar kalian mengambil pelajaran.” (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 49).

 

(Teks Bahasa ‘Arab):

فصل [9]:

الاسم المفرد إذا ثَنَّيْته ألْحقته ألفًا في حال الرفع، و ياء في حالي النصب و الجر و نونًا بعد الألف و الياء.
و نون التثنية مكسورة، و هي تسقط عند الإضافة.
و الإِشارة من ذلك: أن الواحد لا تثنية له من لفظ الواحد، و (الاثنان) لا واحد له من لفظه، فلا يقال من (الواحد) واحدان، و لا من (اثنين) اثن، و هذا محال في التقدير.
كذلك الذي هو (واحد) في الحقيقة يستحيل أن تزول عنه وحدانيته – تقديرًا و وجودًا. و الذي يصح أن يكون (اثنين) فمن المحال أن يصير فردًا لا ثاني له – تقديرًا. قال الله تعالى:
مِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. [الذاريات: 49] الآية.

Catatan:

  1. 40). Contoh dalam keadaan rafa‘: (جَاءَ زَيْدَانِ) “dua Zaid telah datang”.
  2. 41). Contoh dalam keadaan nashab: (أَخَذْتُ قَلَمَيْنِ) “Aku mengambil dua pena”.

    Contoh dalam keadaan jarr: (كَتَبْتُ بِقَلَمَيْنِ) “Aku menulis dengan dua pena”.

  3. 42). Contoh dalam keadaan rafa‘: (هُمَا بِنْتَا زَيْدٍ) “Mereka adalah dua anak perempuan Zaid”.

    Contoh dalam keadaan nashab: (رَأَيْتُ بِنْتَيْهِ) “Aku melihat dua anak perempuannya”.

    Contoh dalam keadaan jarr: (جَلَسْتُ مَعَ بِنْتَيْهِ) “Aku duduk bersama dua anak perempuannya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *