Hu
Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya mencermati dua hal penting. Keduanya, dalam hal keindahan dan manfaatnya, bagaikan antimonium (zat hitam mengkilat dalam celak) bagi dua bola mata. Pertama, alasan yang mendorong empati terhadap ilmu bathin. Kedua, jelas, kemampuan mengurai diskursus makna yang tidak dikehendaki pembicara, menurut pemilik mata hati dan pikiran tajam, sungguh merupakan kelebihan yang patut ditempa.
Hanya kepada Allah Yang Mahasuci, aku mengharap pertolongan, karena hanya Dia Yang Mahakuat dan Pemberi pertolongan.
Pertama, argumen paling kuat dan tepat yang mendorong empati terhadap ilmu bathin adalah pemikiran logis dan keyakinan. Ini cukup dengan dua hal. Pertama, mendalami ilmu bathin dapat menghindarkan pemiliknya dari su’ul-khatimah (akhir hidup yang buruk), menuntun pada pertobatan, titian jalan yang meniscayakan kebahagiaan dan keberuntungan sejati.
Syaikh Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya, Qut-ul-Qulub, dan Imam al-Ghazali dalam Ihya’-ul-Ulum-id-Din, menceritakan seorang ahli makrifat berkata: “Orang yang tidak memiliki sedikit pun pemahaman tentang ilmu ini (ilmu bathin), aku khawatir dia akan mengalami su’-ul-khatimah. Membenarkan keberadaan ilmu ini dan menyerahkan permasalahannya kepada ahlinya merupakan pemahaman minimal.”
Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili r.a. berkata: “Orang yang tidak pernah bersusah payah memasuki ilmu kita ini akan mati dalam keadaan terus melakukan dosa besar, dan dia tidak menyadarinya.”
Kedua, mendalami ilmu bathin merupakan pintu menuju segala kebaikan, keberuntungan, pencerahan hati, dan terpancarnya cahaya keimanan. Ilmu ini melipatgandakan kebaikan, membawa pemiliknya menuju, dengan anugerah Allah, derajat yang lebih tinggi. Karena berproses bersama menapaki jalan para ahli makrifat secara perlahan dan niscaya akan sampai pada pembenaran terhadap jalan mereka.
Pembenaran menumbuhkan rasa kecintaan. Kecintaan akan membuahkan perasaan senang berkumpul bersama mereka. Dengan bergaul memungkinkan menatap langsung wajah-wajah mereka. Dari proses ini, sudah jelas bergitu banyak keutamaan yang dapat diraih.
Hamba-hamba Allah yang membenarkan jalan ahli makrifat sudah dipastikan sedang meniti jalan kewalian. Pemuka tarekat, Abul-Qasim al-Junaidi r.a. menegaskan: “Pembenaran terhadap jalan kewalian juga merupakan jalan kewalian.”
Kecintaan kepada wali-wali Allah dengan sendirinya menjadi bagian dari komunitas mereka. Dalam hadits Rasulullah s.a.w. disebutkan: “Barang siapa mencintai sutau kaum, maka akan dikumpulkan bersama mereka.” “Seseorang (dikumpulkan) bersama orang-orang yang dia cintai.”
Gelora cinta berkumpul bersama mereka akan mempengaruhi persifatan terhadap karakter perilaku mereka. Sebuah hadits menyatakan: “Keberagamaan seseorang dipengaruhi oleh kekasihnya.” Sebab karakter seseorang mampu mengalahkan karakter lainnya.
Menatap wajah-wajah mereka dengan penuh cinta jauh lebih utama ketimbang ibadah para ahli ibadah. Untaian sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini mengatakannya: “Sekali memandang wajah seorang saudara dalam (ketaatan kepada) Allah dengan penuh cinta, lebih baik daripada pahala orang yang beriktikaf dalam mesjidku ini selama 40 tahun.”
Imam an-Nawawi dalam Syarh-ul-Muhadzdzab mengutip ungkapan Imam Syafii r.a.: “Dalam pergaulan dengan kaum sufi, aku dapat mengambil manfaat dua hal, yaitu ucapan mereka: “Waktu adalah pedang, bila kamu tidak bisa menggunakannya (dengan baik) untuk memotong, maka ia akan memotong dirimu sendiri. Dan ucapan: “Apabila kamu tidak menyibukkan dirimu dengan kebaikan, maka ia akan menyibukkan kamu dengan keburukan.”
Syaikh asy-Syarani r.a. berkata: “Perhatikan, bagaimana Imam Syafii r.a. mengutip dua hal tersebut dari kaum sufi, bukan dari yang lain. Dari situ kamu akan mengetahui keistimewaan mereka dibanding yang lain. Kalau memang benar bahwa kaum selain sufi juga berjuang dalam kesungguhan dan keseriusan sebagaimana kaum sufi, tentu dia juga akan mengutip mutiara-mutiara tersebut dari para gurunya dalam ilmu lahir.”
Asy-Syarani juga mengungkapkan: Ath-Thayibi, penulis catatan pinggir al-Kasysyaf berkata: “Tidak pantas bagi seorang alim untuk mencukupkan diri dengan ilmunya, walaupun ilmunya luas bagaikan samudera sehingga mencapai puncak keilmuan yang tidak satu pun orang menyamai di zamannya. Yang wajib baginya adalah menggabungkan diri dengan ahli tarekat agar mereka menunjukkan kepadanya jalan keagamaan yang lurus, sehingga termasuk orang-orang yang berbicara kebenaran dalam rahasia-rahasia hati mereka, karena sangat bersihnya bathin mereka. Agar mereka membersihkannya dari kotoran-kotoran hati, supaya mampu menjauhi apa yang dicela ilmunya. Yaitu, kotoran-kotoran hawa-nafsu, bagian-bagian pemuas nafsunya yang selalu memerintahkan keburukan. Sampai akhirnya dia bisa mempersiapkan diri menerima curahan ilmu-ilmu ladunni pada hatinya, serta menyalakan cahaya-cahaya kenabian.”
Dia juga menuturkan: “Aku mendengar berita tentang Hujjat-ul-Islam, Imam al-Ghazali r.a. bahwa saat meninggalkan keasyikan dalam ilmu-ilmu rasional dan menyibukkan diri dengan mujahadah (perjuangan spiritual) mengikuti anjuran-anjuran ahlillah, dia berkata: “Telah kusia-siakan umurku seluruhnya hanya dalam kekosongan. Ooh….., betapa ruginya tindakan-tindakanku pada hari-hari itu.”
Lalu dikatakan kepada al-Ghazali: “Bukankah dengan ilmu-ilmu tersebut anda telah benar-benar menjadi argumen Islam (Hujjat-ul-Islam)?”
Dia menjawab: “Jangan kalian hubung-hubungkan aku dengan hal yang tidak berguna ini. Apakah belum sampai kepada kalian sabda Rasulullah s.a.w. berikut: “Sungguh Allah akan menguatkan agama ini dengan orang (fasiq) yang hanyut dalam kemaksiatan.”
Sekarang sudah benar-benar terbuka mata hatiku bahwa semua pergulatan intelektualku dalam menemukan, mengumpulkan, menulis, dan mengarang ilmu, hanyalah karena mabuk pujian dan sanjungan manusia. Juga, agar aku bisa tampil paling depan mendahului teman-teman dan tokoh-tokoh generasi di masaku, bukan karena Allah dan bukan karena aku sendiri akan mengamalkan dengan semua itu.”
Ditanyakan kepadanya: “Apakah tidak ada satu pun di antara guru-guru anda yang mencegah anda dari salah satu kekurangan-kekurangan yang sekarang telah disadari?”
Jawabnya: “Tidak, bahkan sering guru-guruku menganggapnya tidak ada di hadapan sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabatnya pun menganggapnya tidak ada karena mengikutinya. Tidak terkecuali guruku Imam Haramain r.a. Majelis beliau tidak membahas kekurangan-kekurangan manusia.”
Syaikh ‘Izz-ud-Din bin ‘Abd-us-Salam, pemimpin ulama, berkata: “ Kaum sufi benar-benar berpedoman pada kaidah-kaidah aturan syariat yang tidak rusak di dunia maupun akhirat. Sedang yang lain, hanya berpedoman pada tulisan-tulisan verbal-formalistik.”
Lanjutnya: “Di antara yang menunjukkan hal tersebut kepadamu adalah karamah dan berbagai keluarbiasaan yang dimiliki kaum sufi. Sebab hal itu merupakan salah satu tanda kedekatan Allah kepada mereka, ridha-Nya kepada mereka. Seandainya, ilmu yang tidak diamalkan membuahkan keridhaan Allah yang sejati, niscaya Allah akan memberlakukan karamah kepada mereka, ulama yang sekadar unggul secara intelektual. Jika para ulama tersebut tidak mau mengamalkan ilmunya, bagaimana mungkin. Sungguh jauh sekali.”
Syaikh Shaqli dalam kitabnya, Anwar-ul-Qulub fil-ilm-il-manhub, menuturkan: “Setiap orang yang membenarkan ilmu tasawwuf (ilmu bathin) termasuk orang istimewa. Setiap orang yang memahaminya termasuk amat istimewa. Dan setiap orang yang mampu menjelaskannya, sempurna dalam penjelasan dan amalnya, dia bagaikan bintang yang sulit dijangkau dan samudera yang tidak tertinggalkan.”
Ulama lain mengatakan: “Bila kamu melihat orang yang dibukakan hatinya untuk membenarkan tarekat ini, maka berikan kabar gembira kepadanya. Bila kamu melihat orang yang dibukakan hatinya sehingga memahami tarekat ini, maka gembirakan hatinya. Bila kamu melihat orang yang dibukakan baginya kejelasan nyata dalam tarekat ini, maka muliakan dia. Bila kamu melihat orang yang menghujat pada tarekat ini, maka larilah dan tinggalkan dia.”
Tidak ada satu ilmu pun kecuali ada saat di mana ia tidak dibutuhkan, selain ilmu tasawwuf. Tidak ada satu orang pun yang tidak membutuhkannya pada satu waktu di antara waktu-waktu yang dimilikinya. Penulis al-Qut mengatakan: “Mereka sependat bahwa ilmu tasawwuf merupakan ilmu para shiddiqin (1), dan orang yang turut ambil bagian dalam ilmu tasawwuf termasuk muqarrabin (2) di atas tingkatan ashab-ul-Yamin (3).”
Al-Quthb Sayyid Abdullah bin Abu Bakar al-Aidarus, semoga Allah menjaga rahasianya, berkata: “Tetapkan dirirmu untuk selalu berbaik sangka kepada orang-orang saleh, dan senantiasa mencintai para pecinta mereka. Ini sudah termasuk derajat yang tinggi dan anugerah agung. Bagi yang melakukannya, pantas mendapatkan penampilan indah yang lengkap, pertolongan, pengkhususan, dan petunjuk. Sedang buruk sangka merupakan perbuatan yang amat tercela.”
Pada akhirnya dia juga berkata: “Tetapkan dirimu dengan persangkaan yang baik. Karena ia menjadi petunjuk mata hati dan memperbaiki jalan hidup. Dengannya, cukuplah kemuliaan untuk menghasilkan bermacam kebahagiaan dan mencapai macam-macam derajat. Di antara manfaatnya, terdapat manfaat yang di dalamnya tercakup semua manfaat, yaitu persangkaan baik bisa menyebabkan husn-ul-khatimah (akhir hidup yang baik). Buahnya tidak akan tampak kecuali saat meregang nyawa. Ia bisa menghantarkan pemiliknya menuju kebahagian, yang di dalamnya tercakup nikmat-nikmat yang belum pernah terlihat mata, belum terdengar telinga, dan belum terbayangkan dalam hati manusia.”
Seorang ulama ada yang bermimpi bertemu Rasulullah s.a.w. Ulama itu berkata: Lalu aku berbicara kepada beliau: “Aku merasa keanak-anakan dalam ilmu tasawwuf, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Perhatikan pembicaraan kaum itu, bahwa orang yang bersikap kekanak-kanakan terhadap ilmu ini, itulah wali. Sedang orang yang mampu mengamalkannya dengan sempurna, bagaikan bintang yang tidak terjangkau.”
Al-Junaid berkata: “Membenarkan ilmu kamu ini sudah merupakan bagian kewalian. Apabila anugerah kewalian terlepas dari dirimu maka jangan sampai kamu kehilangan kepercayaan terhadap kemungkinan adanya anugerah kewalian terhadap orang lain, jika anugerah itu tidak tertimpa hujan belaka yang diiringi gerimis.”
Abu Yazid berkata: “Jika ada orang yang percaya pada pembicaraan ahli tarekat, katakan kepadanya: Dia mendoakan kamu, dan ahli tarekat adalah orang-orang yang makbul doanya.”
Sayyid Ali bin Wafa r.a. merangkai sebuah syair indah:
Mereka kaum
Yang mencintai Tuhan
Pun
Sangat dicinta Tuhan mereka
Mereka terima kenikmatan dunia
Hanya yang mereka temukan
Hidup dengan penuh suka cita
Selamat tinggal kesulitan
Tiada dalam dunia
Yang menyentuh mereka
Mereka rela kehidupan akhirat
Dari itu
Tercapailah puncak tujuan
Datanglah mereka yang masih hidup
Kamu akan hidup bersama mereka
Juga akan menemukan kerelaan dirimu
Tanpa banyak kesulitan
Penjelasan ini sudah cukup memadahi bagi yang mau merenungkannya, yang didasari pandangan pencarian kebenaran.
Tujuan kedua: penjelasan tentang penguraian makna diskursus yang tidak dikehendaki pembicara merupakan kelebihan yang perlu ditempa, menurut para pemilik ketajaman mata hati dan pemikiran.
Al-Arif billah Sayyid Abdul Karim Al-Jilli, dalam kitabnya, ‘Ainiyyah, menjelaskan para pelaku konser spiritual (sama‘). Sebagian penjelasannya adalah, “Aku mengutip dari seluruh ahlillah bahwa pemahaman tentang Allah tergantung pada tingkatan maqam seorang hamba di hadapan Allah. Mereka tidak bersilang pendapat bahwa satu kata yang menunjukkan makna tertentu, oleh para hamba Allah sering kali dipahami menunjukkan makna-makna banyak, bahkan tidak terbatas.”
Mereka berpendapat bahwa tidak pantas bagi seorang pendengar untuk mendengarkan, kecuali dalam ketaatan Allah atau Rasulullah s.a.w. Tidak pantas mendengar kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan tarekatnya menuju Allah. Tidak pantas baginya membatasi pemahaman pada makna lahir kata, tanpa merenungkan kedalaman makna-makna yang terkandung. Kecuali jika kata-kata itu sudah jelas makna yang dituju.
Suatu keharusan bagi seorang faqir (4) mengelak dari terjebak sekadar harus menafsirkannya.Tetapi dia menghadapkan pikiran kepada Allah dengan bathinnya, dan menerima apa yang dikehendaki-Nya dari sisi ini secara total. Tidak terlena dengan keindahan makna dan kemerduan nada lagu. Tidak terjebak pada kebakuan tata bahasa yang sering kali justru menghancurkan serbuk sari makna yang terkandung. Seyogianya dia juga tidak terlena pada kenikmatan-kenikmatan dunia-akhirat, seperti bidadari dan villa-villa kedamaian. Sebab, semuanya hanya merefleksikan penghambaan pada nafsu pribadi dan keinginan memperbanyak bagian yang ingin diraih.
Jalan yang dilalui manusia sejati berbeda dengan semua itu. Renungkan juga nasihatnya: “Ketahuilah bahwa para pendengar, sekalipun bersama dalam mendengarkan, namun sering kali berbeda-beda dalam memangkap makna-maknanya. Banyak kata yang menunjukkan arti dekat justru dipahami makna jauh, atau sebaliknya. Semua itu sesuai tingkat maqam (5) dan pemahaman pendengar. Yang paling mulia, paling tinggi, paling kuat, paling indah, paling terang, dan paling jelas adalah pemahaman yang mendekatkan kamu kepada Allah dengan aneka ragam perantaranya, serta tidak membuat kamu membutuhkan dalil-dalil untuk mengetahuinya.
Maka tingkatkan himmah (kesungguhan)-mu untuk memahami makna-makna tersembunyi dari makna tekstual kata, dari indahnya sastra menuju apa yang sesuai dengan tuntutan situasi waktu; agar kamu pantas untuk masuk golongan orang yang difirmankan Allah: Mereka adalah orang-orang yang memperhatikan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik darinya. Mereka inilah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan merekalah orang-orang yang memiliki ketajaman pikiran. (az-Zumar:18).
Seorang arif billah, Sayyid Mushthafa al-Bakri r.h. dalam kitabnya, al-‘Aris-ul-Qudsiyyah, bertutur, “Ketahuilah, wahai saudaraku yang minum dari piala idafah, semoga Allah menyampaikan kebaikan kepadamu dan memberikan manfaat berupa kelebihan. Bahwa tidak adanya I‘rab (aturan tata bahasa) dalam bahasa sebagian tokoh tidak dianggap sebagai suatu kekeliruan tata bahasa menurut sebagian ahli iradah. Karena kaum ini tidak hirau kecuali dalam hakikat makna dan bentuk hakiki.
Mereka tidak dianggap melakukan kesalahan berbahasa, kecuali bila mendengarkan hal-hal yang tidak memiliki arti, karena adanya rahasia-rahasia yang terkandung. Bagaimana mungkin seseorang melakukan kesalahan berbahasa, padahal dia berkomunikasi dengan bahasa ruhani yang berbicara berdasarkan limpahan-limpahan kesucian?
Sebagian mereka ingin berkomunikasi dengan bahasa yang mengandung makna tinggi, dan mencakup pesan yang memuaskan. Salah satu kewenangannya adalah berkomunikasi dengan bahasa biasa, yang tidak tinggi, namun mengandung hakikat makna bahasa yang sejati.
Kamu berkata kepadanya: “Sungguh, aku tidak mampu memahami pembicaraan yang terlalu tinggi.”
Kemudian dia berbicara dengan bahasa popular, merakyat, alias bahasa orang, biasa-biasa saja. Orang yang mendengarkannya memakai bahasa merakyat mempersepsikan sebagai suatu kesalahan. Padahal dia tidak salah, dengan posisi yang salah. Bahkan justru dia telah mendapatkan Kebenaran Sejati.
Sebaliknya, sering kali dia membaca nashab isim yang seharusnya dibaca kasrah, karena ada dimensi hakikat yang menuntut bacaan fathah serta tegaknya kebenaran. Dia membaca kasrah pada isim yang seharusnya di-nashab-kan, ketika dalam perspektif hakikat, kasrah lebih tepat baginya. Dia membaca sukun pada huruf yang seharusnya berharakat, bila secara hakikat mengharuskan sukun, atau mantap pada amar (perintah) yang ditandai dengan sukun. Dia memberi harakat pada huruf yang seharusnya mati, karena memperhatikan kesejatian masing-masing pribadi huruf, situasi, tempat-tempat, pergantian waktu, kata-kata, serta makna-makna rendah atau makna-makna tinggi yang indah.
Kadang dia menentukan al-Asma’-ul-Khamsah hanya pada tanda alif saja, ya’ saja, atau wawu saja, bukan karena mengikuti kaidah bahasa yang memperbolehkannya. Namun, karena adanya hal tersembunyi yang sudah berlaku, ditinjau dari makna hakiki yang ada. Pada akhirnya hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai semacam konvensi.
Aku mendengar kisah leluhur yang agung, Abu Bakar ash-Shiddiq, dalam berita membahagiakan seperti aku sebutkan dalam ar-Rihlat-ur-Rumiyyah. Suatu ketika dia mengetuk pintu manusia terbaik, Muhammad s.a.w. Salah seorang pelayan bertanya kepada beliau tentang siapa yang mengetuk pintu: “Abu Bakar, beruntunglah dia,” jawab beliau.
Dalam maqam ini, ada hikmah pada bahasa yang beliau gunakan. Yang bernar, sesuai kaidah bahasa baku adalah menggunakan wawu (Abu Bakar). Beliau membaca fathah untuk menunjukkan fath (keterbukaan) pintu, karena Abu Bakar. Beliau membaca nashab karena intishab (ketegaran) Abu Bakar dalam derajat kekhalifahan setelah mencapai ketinggian yang menjulang.
Fathah merupakan harakat paling ringan dan paling halus. Pintu yang diketuk adalah pintu paling luhur dan paling mulia. Karena kemuliaan adabnya, tampaklha baginya, kilauan-kilauan cahaya kekhalifahan itu. Mengalir seiring mekarnya pancaran cahaya rahasianya. Sehingga dia tidak akan terliputi, kecuali dengan menyesuaikan cahaya-cahaya itu, serta bersegera merangkai kembali percikan-percikannya.
Aku telah diberi tahu seseorang yang telah menyingkap berbagai sisi pengalaman gaib yang tidak dikenal, dan yang telah menyerap rembesan-rembesan fenomena keajaiban. Dia melihat seorang pelaku, lalu mengatakannya sebagai objek pelaksanaan. Orang yang tidak tahu tentu akan berkata: Ini tidak tepat dan tidak masuk akal.” Padahal bersamaan dengan itu, dia bukannya tidak tahu, dan tidak pula salah paham mengenai pengertian yang diungkapan hakikat.
Namun seorang yang tertutup mata bathinnya menyalahkan, karena ketidaktahuannya terhadap pengertian yang lebih mulia nan luhur. Kalau saja orang itu menghendaki pengertian lain, selain yang diungkap hakikat, hal itu tidak akan mungkin dilakukannya. Karena penyeru-penyeru Kebenaran tidak mungkin dibendung. Barang siapa menentangnya, dia akan terpental, tergebuk dengan “tongkat”.
Sang mahkota agama, pelopor keutamaan, Ibnu Atha’illah r.a. dalam kitabnya Latha’if-ul-Minan, berkata: “Seorang Syeikh, Imam, Pemberi fatwa seluruh makhluk, Taqiyy-ud-din Muhammad bin Ali al-Qusyairi menceritakan kepadaku bahwa di Baghdad ada seorang ulama fiqh bernama al-Jauzi yang mengajar 12 disiplin ilmu pengetahuan.
Suatu ketika dia keluar menuju madrasah. Lalu dia mendengar seseorang sedang melantunkan syair:
Ketika 20 Sya’ban telah lewat,
Lanjutkanlah minum-minum malammu,
Sampai siang menyapa, dan
Jangan kamu minum,
Hanya dengan wadah-wadah kecil,
Karena waktu begitu sempit,
Jika hanya dengan wadah-wadah kecil.
Usai mendengar, dia pergi dengan wajah gelisah, menerawang tidak karuan. Kemudian dia sampai di Makkah dan terus berada di sana hingga wafat.
Ada syair yang dibaca di hadapan Syeikh Makin-ud-din al-Asmar r.a.:
Andai ada penolongku,
Untuk mencapai kedamaian, tentu
Aku tidak menunggu saat berbuka,
Untuk minum kedamaian.
Keadamaian adalah keajaiban,
Yang kamulah peminumnya,
Maka minumlah,
Meski kedamaian itu,
Mendorongmu pada dosa-dosa,
Wahai si pencela,
Pada dhabha’ yang bening, suci
Silakan dikau di surga, biarkan daku di neraka.
Seseorang berkata: “Tidak boleh membaca bait-bait ini.”
Syeikh Makin-ud-din berkata kepada orang yang membaca: “Tetaplah membaca. Dia adalah orang yang tertutup mata hatinya. Cukuplah bagimu tentang hal ini, bahwa ada tiga orang mendengar seseorang memanggil: Ya sa’tara birri (يَا سَعْتَرَ بِرِّيْ). Mereka memahami dalam hati mesing-masing bahwa Allah memberikan informasi kepada mereka melalui suara penggilan tadi.
Maka orang pertama mendengar: Is‘a tara birri (Berbuatlah kelonggaran, maka kamu akan melihat kebaikan-Ku). Orang kedua mendengar: As-sa‘ah tara birri (Saat ini, kamu bisa melihat kebaikan-Ku). Yang terakhir mendengar: Ma ausa‘ birri (Betapa luasnya kebaikan-Ku).
Suara yang didengar hanya satu. Namun pemahaman masing-masing pendengar berbeda, sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Mereka diberi minum dengan air yang satu, dan Kami berikan kelebihan bagi sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam apa yang dimakan.” (13:4). Allah s.w.t. juga berfirman: “Setiap suku benar-benar mengetahui (bagian yang mana) tempat minum mereka masing-masing.” (2:60)
Orang pertama yang mendengar: Is‘a tara birri adalah seorang murid yang menunjukkan semangat bangkit untuk wushul (6) kepada Allah, dengan amal perbuatan yang tertuju pada tarekat penuh kesungguhan. Dikatakan kepadanya: “Perluaslah hubungan muamalat kepada-Ku dengan benar. Maka kamu akan melihat kebaikan-Ku dengan tercapainya wushul.”
Orang kedua adalah seorang salik yang terulur-ulur waktu. Dia takut kalau terputus dari kemungkinan wushul. Maka dikatakan kepadanya, untuk menenangkan hatinya, saat dia terbakar api mabuk cinta: “Saat ini, kamu bisa melihat kebaikan-Ku.”
Orang terakhir adalah seorang ‘arif yang baginya sudah tersingkap kemurahan Allah yang luas. Maka dikatakan kepadanya dari sisi saat dia tercerahkan; dia mendengar: “Betapa luasnya kebaikan-Ku.”
Syaikh Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi berkata: “Salah seorang faqir mengundang kami untuk menghadiri pertemuan di lorong sempit berpenerangan pelita-pelita, di Mesir. Di situ berkumpul sekelompok guru. Lalu dia menghidangkan berbagai makanan. Maka mengalirlah macam-macam wadah. Di antaranya ada sebuah wadah kaca baru yang telah digunakan untuk kencing. Setelah itu belum pernah digunakan lagi. Lalu pemilik rumah meraih makanan di dalamnya, sedang para guru tadi sedang menyantap makanan.
Saat itu, tiba-tiba wadah itu berkata: “Sejak Allah memuliakanku dengan makannya para pembesar-pembesar itu dari diriku, sejak itu aku tidak rela diriku menjadi tempat kotoran sesudahnya.” Lalu wadah itu pecah menjadi dua.
Syaikh Muhyiddin berkata: “Lalu aku berkata kepada perkumpulan itu: Apakah kalian mendengar apa yang dikatakan wadah tadi?”
“Benar,” jawab mereka.
Aku bertanya: “Apa yang kalian dengar?”
Lalu mereka mengulangi ucapan wadah tadi. Aku menukas: “Wadah itu berbicara dengan ucapan yang lain.”
“Apakah itu?”
Aku menjawab: “Demikian juga hati kalian. Sejak Allah memuliakan hati kalian dengan iman, setelah itu mereka tidak rela menjadi tempat najis, berupa maksiat dan cinta pada dunia.”
Semoga Allah menjadikan kami juga kalian, termasuk golongan orang-orang yang bisa memahami kehendak-Nya dan bertakwa kepada-Nya. Amin.
Syaikh Sayyid Husain bin ‘Abd-usy-Syakur berkata, dalam Fuyudhat-nya yang memancarkan rahasia-rahasia hati dan menjelaskan keanehan ulama-ulama bathin, semoga Allah melimpahi manfaat kepada kita melalui mereka.
“Ketika mereka mendengar Kalam Qadim dan Dzikir Hakim, al-Qur’an, mereka tidak terhenti pada keterkaitan ayat-ayatnya, serta tidak tergantung pada syarat-syarat dan pengecualian-pengecualiannya. Namun mereka mengamalkannya, ayat per ayat, bahkan perkata yang berkilat kemegahannya dan tersingkap kandungan petunjuknya bagi mereka. Ini juga merupakan kebiasaan mereka pada selain al-Qur’an al-‘Azhim dan al-Burhan al-Qadim. Lalu bagaimana pendapatmu tentang Kalam Nyata dari Tuhan yang Maha Penyayang.”
Banyak orang mendengar ungkapan kata dari orang per orang. Mereka menyaksikan kata-kata itu berasal dari Allah yang memberikan ucapan pada segala sesuatu. Wujud bersama-Nya bagaikan bayang-bayang di dalam angkasa atau awan. Mereka berusaha mengeluarkan hikmah-hikmah dari ayat yang satu, walaupun sedikit hukum-hukum murni dan masalah-masalah maksimalnya, dengan memperhitungkan kalimat-kalimat serta kesempurnaannya.
Ini baru dari sisi lahir ungkapan kata, belum dari sisi kedalaman makna isyarat. Padahal kedalaman isyarat bisa muncul dari berbagai sisi dan ungkapan yang terpuji; seperti mengambil pengetahuan dari huruf-huruf, harakat-harakat, atau sukun-sukunnya. Upaya seperti ini merupakan pembahasan yang tidak ada batas puncaknya.
Sampai di sinilah, hal-hal, dengan pertolongan Allah, menjadi mudah untuk dikutip dan dikumpulkan. Agar manfaatnya bisa merata, dengan ketakwaan kepada Allah, bagi orang-orang yang menghadapkan diri dan memperhatikan-Nya.
Sekarang sebaiknya kita kembali pada tujuan semula.
Nahwu Lisan dan Nahwu Hati.
Dengan pertolongan Tuhan yang menjadi sesembahan, aku tuturkan: Pengarang dalam kitab asal berkata:
“Selanjutnya, wajib bagi setiap orang yang berakal sehat, setelah memperbaiki lisannya, mulai bertindak memperbaiki hatinya. Dengan membersihkannya dari bermacam kehinaan dan menghiasinya dengan bermacam keutamaan. Agar hatinya terbiasa memancarkan cahaya-cahaya hakikat tauhid dan rahasia-rahasia tafrid.
Memperbaiki bahasa lisan tanpa dibarengi memperbaiki hati merupakan tindakan tercela dan menyesatkan. Memperbaiki hati tanpa memperbaiki lisan merupakan kesempurnaan yang kehilangan kesempurnaan. Memperbaiki keduanya secara bersamaan merupakan kesempurnaan di atas kesempurnaan.”
Betapa mulianya Imam Sibawaih r.a. dalam pangkuan Allah saat berucap:
Inilah lisan fasih
Menjaga i‘rab dalam ujarannya
Semogalah ia selamat
Tiada penyesalan akibat pengungkapan
I‘rab benar tak berikan manfaat
Tanpa ketakwaan ikut serta
Tidak berbahaya orang takwa
Meski lisan berbicara tak karuan.
Syaikh Salih al-Faqih al-Maimuni r.a. berkata: “Merupakan yang terburuk dari hal yang buruk, bila seseorang mempelajari atau mengajarkan cara memperindah ucapan lisan, tanpa mempelajari atau mengajarkan cara memperbaiki hati, yang menjadi tempat perhatian Tuhan.”
Ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) terbagi menjadi dua bagian, yaitu nahwu lisan dan nahwu hati. Mengetahui nahwu hati lebih baku dan lebih bermanfaat daripada nahwu lisan, menurut mereka yang jernih pikirannya. Alasannya, kita bisa menemukan orang yang tidak cakap berbahasa Arab. Dia mengacaukan tata bahasa dan pengucapannya, me-rafa‘-kan yang nashab dan me-nashab-kan yang rafa‘. Hanya saja, dalam perilakunya dia berakhlak dengan al-Qur’an dan sunnah. Inilah nahwu hati. Ini yang diridhai di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dapat juga ditemukan nahwu lisan yang memperindah kata, tanpa berperilaku dengan al-Qur’an dan sunnah. Inilah yang menjadi gejala umum di zaman kita ini. Inilah yang tercela di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang-orang fasik di antara umatku adalah para pengajar mereka.” Beliau juga bersabda: “Ilmu ada dua macam, yaitu ilmu lisan. Ini adalah argumentasi Allah pada keturunan Adam. Dan ilmu hati. Inilah ilmu yang bisa memberikan manfaat.”
Ilmu hati adalah keyakinan yang mantap, mengenal Allah dari sifat realitas-realitas lapangan. Inilah nahwu yang berkaitan dengan hati. Inilah nahwu yang hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Ilmu ini untuk mengobati hati dari bermacam penyakit, seperti cinta dunia yang merupakan pokok berbagai kesalahan, mengkhawatirkan rezeki, takut kepada makhluk, dan penyakit-penyakit lain yang memperlambat proses pengenalan dan penyaksian kepada al-Haqq. Inilah nahwu hati yang oleh kalangan sufi dinamakan mahwu (penghilangan), dengan mim. Karena ilmu ini melenyapkan segala isi hati selain Allah.
Ilmu hakikat merupakan terminal perjalanan mereka, serta arena perputaran pengembaraan pikiran mereka. Dengan ilmu ini, mereka mencukupkan diri dari segala macam ilmu. Semoga Allah meridhai mereka.
Pernah ditanyakan kepada seorang wali agung, Sayyidi Ahmad bin Musa: “Apakah anda pernah mempelajari sebagiab dari ilmu nahwu?”
Dia menjawab: “Aku pernah mempelajari dua bait dari Alfiyah Ibnu Malik, yaitu:
فَمَا لَنَا إِلاَّ اتِّبَاعَ أَحْمَدَ
(Tidak ada yang pantas bagi kami, selain mengikuti Nabi Ahmad).
Dan:
فَمَا أُبِيْحُ اِفْعَلْ وَ دَعْ مَا لَمْ يَبِحْ
(Maka lakukan apa yang diperbolehkan, dan tinggalkan apa yang tidak diperbolehkan)”
Guru dari guru kami, yang menjadi dasar tarekat kami, Tuanku al-‘Arabi r.a. berkata: “Aku tidak mengerti ilmu nahwu, selain i‘rab dari firman Allah ta‘ala: In yakunu fuqara’ yaghnihim Allah min fadhlih (Apabila mereka adalah orang-orang yang fakir, maka Allah akan memberi mereka kecukupan, dari keutamaan-Nya.(an-Nur [24]: 32). In adalah huruf syarat, dan yughnihim adalah jawab dari syarat.
Yang dimaksud dengan berkecukupan di sini adalah kecukupan terbesar. Firman Allah ini merupakan pembicaraan yang ditujukan kepada orang-orang yang menghadapkan diri, pada jalur tarekat para pemegang isyarat.