بَابُ الْبَدَلِ
بَابُ الْبَدَلِ
إِذَا ابْدِلَ اسْمٌ مِنِ اسْمٍ أَوْ فِعْلٌ مِنْ فِعْلٍ تَبِعَهُ فِيْ جَمِيْعِ إِعْرَابِهِ وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ بَدَلُ الشَّيْءِ مِنَ الشَّيْءِ وَ بَدَلُ الْبَعْضِ مِنَ الْكُلِّ وَ بَدَلُ الْاِشْتِمَالِ وَ بَدَلُ الْغَلَطِ نَحْوُ قَوْلِكَ قَامَ زَيْدٌ أَخُوْكَ وَ أَكَلْتُ الرَّغِيْفَ ثُلُثَهُ وَ نَفَعَنِيْ زَيدٌ عِلْمُهُ وَ رَأَيْتُ زَيْدًا الْفَرَسَ أَرَدْتَ أَنْ تَقُوْلَ الْفَرَسَ فَغَلَطْتَ فَأَبْدَلْتَ زَيْدًا مِنْهُ
Apabila seorang hamba (wali) telah mencapai fanā’ maka saat itu ia tidak hanya dijuluki hamba biasa, melainkan ia menjadi hamba yang rabbānī/ilāhī, sehingga kehendaknya melebur dalam kehendak Tuhan, dan apa yang ia perbuat semata-mata merupakan perbuatan Sang Tuhan. Dengan kata lain, kehendak dan perbuatan hamba tertukar dengan kehendak dan perbuatan Tuhan, sebagaimana keterangan Syaikh ‘Abd-us-Salām bin Masyīsy r.a. dan Syaikh Abul-‘Abbās al-Mursī r.a. bahwa hakikat bercinta dengan Tuhan adalah dengan meleburnya sifat hamba dalam sifat-Nya sehingga hamba tidak berbuat selain apa yang baik di sisi-Nya saja.
Dengan demikian maka tatkala Allah menjelmakan isim Qābidh (Maha Menyempitkan)-Nya melalui hamba-Nya, maka turut sempitlah alam semesta di tangannya. Begitu pula tatkala Allah menjelmakan isim Bāsith (Maha Melapangkan)-Nya melalui hamba-Nya, maka lapanglah alam semesta di tangannya. Tiada lain karena ia merupakan wakil Allah (bukan selain Allah namun pula zat-Nya) dalam mengekspresikan kekuasaan mutlak-Nya.
Kewalian yang sangat tinggi di atas mempunyai empat tingkatan:
Pertama, tingkatan mewakili Allah dalam melakukan segala sesuatu (351) dan menjadi sumber anugerah (madad) jasmani dan ruhani, yaitu tingkatan gawts jāmi‘.
Kedua, tingkatan mewakili Allah dalam sebahagian kekuasaan, yaitu tingkatan aqthāb, awtād, abdāl, nujabā’, nuqabā’, dan shāliḥīn. Mereka tidak memiliki wewenang penuh dalam kerajaan Sang Tuhan. Misalnya al-Busthāmī adalah quthb di bidang aḥwāl, dan Syaikh Sahl quthb di bidang maqāmāt. Demikian paparan Syaikh Abul-‘Abbās al-Mursī r.a.
Ketiga, ia mewakili Allah dalam menyebarkan ilmu-ilmu baru-Nya yang tidak akan pernah berakhir hingga akhir masa, yaitu tingkatan afrād, sebab ilmu fard lebih luas dari ilmu quthb jāmi‘.
Keempat, ia sama sekali tidak mewakili Allah dalam hal apapun, melainkan hanya mengaku wali atau dianggap wali oleh orang awam, padahal sebetulnya ia masih sakit dan jauh dari Tuhan.