بَابُ ظَرْفِ الزَّمَانِ وَ ظَرْفِ الْمَكَانِ
بَابُ ظَرْفِ الزَّمَانِ وَ ظَرْفِ الْمَكَانِ
ظَرْفُ الزَّمَانِ هُوَ اسْمُ الزَّمَانِ الْمَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِيْ نَحْوُ الْيَوْمَ وَ اللَّيْلَةَ وَ غُدْوَةً وَ بُكْرَةً وَ سَحَرًا وَ غَدًا وَ عَتَمَةً وَ صَبَاحًا وَ مَسَاءً وَ أَبَدًا وَ أَمَدًا وَ حِيْنًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ
وَ ظَرْفُ الْمَكَانِ هُوَ اسْمُ الْمَكَانِ الْمَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِيْ نَحْوُ أَمَامَ وَ خَلْفَ وَ قُدَّامَ وَ وَرَاءَ وَ فَوْقَ وَ تَحْتَ وَ عِنْدَ وَ مَعَ وَ إِزَاءَ وَ حِذَاءَ وَ تِلْقَاءَ وَ هُنَا وَ ثَمَّ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ
Ketahuilah, sesungguhnya segala jenis makhluk di alam semesta ini hanya merupakan bejana-bejana rahasia Ilahi agar hamba dapat menyaksikan-Nya pada setiap ciptaan-Nya. Karena itulah Syaikh at-Tustari mengatakan: “Jangan lihat bejananya tapi lihatlah isinya, dan selamilah lautan cinta agar kau raih intan permata-Nya.”
Syaikh al-Jili menyebutkan bahwa alam semesta ini bagaikan salju, ia tampak keras namun di dalamnya cair, lembut, nan penuh rahasia. Syaikh ‘Abd-us-Salam bin Masyisy r.a. berwasiat kepada Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili r.a.: “Tajamkan tatapan imanmu, niscaya kau akan melihat Allah dalam segala sesuatu, padanya, bersamanya, sebelumnya, sesudahnya, di atasnya, di bawahnya, di dekatnya dan di sekitarnya.
Sedangkan Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari r.a. menyebutkan:
كَيْفَ يَحْتَجِبُ الْحَقُّ بِشَيْءٍ وَ الَّذِيْ يَحْتَجِبُّ بِهِ هُوَ فِيْهِ ظَاهِرٌ وَ مَوْجُوْدٌ حَاضِرٌ.
“Bagaimana Allah tersembunyi oleh sesuatu sedangkan Ia selalu hadir pada setiap sesuatu.”
Akan tetapi kaum sufi sama sekali tidak meyakini bahwa Allah dibatasi oleh ruang, jarak dan waktu. Mereka meyakini bahwa Allah s.w.t. Maha Awal sekaligus Maha Akhir, dan Maha Zhahir sekaligus Maha Bathin. Artinya, Allah s.w.t. mendahului segala sesuatu, mengakhiri segala sesuatu, zhahir pada segala sesuatu, dan bathin dalam segala sesuatu.
Allah s.w.t. Maha Suci dari sepuluh perkara: yaitu kam (kualitas), kaif (kuantitas), ‘ain (ruang), nidd (bandingan), dhidd (lawan), syabīh (keserupaan), matsīl (kesamaan), syarīk (sekutu), zaujah (istri), dan walad (anak). (371).
Barang siapa tidak meresapi hal ini maka mata hatinya masih buta dan tidak akan pernah merasakan musyāhadah kecuali setelah mengikuti para wali dan mencium tanah yang ada di bawah kaki mereka. Dan andaikata sukar memahami hal ini maka cukup baginya mempercayai dan membenarkan apa yang telah dirumuskan para wali. Seorang ulama mewasiatkan:
وَ إِذَا لَمْ تَرَ الْهِلَالَ فَسَلِّمْ | لِأُنَاسٍ رَأَوْهُ بِالْأَبْصَارِ |
“Andaikata rembulan tak dapat kau saksikan,
Maka pasrahlah pada yang telah melihatnya dengan mata telanjang.”
Dan apabila kita mengkaji alam syariat secara lebih dalam, kita temukan bahwasanya setiap bejana akan mengikuti isinya; apabila isinya mulia maka bejananya turut menjadi mulia. Misalnya, jasad menjadi mulia karena ruh yang dikandungnya mulia, begitu pula malam menjadi mulia karena diisi dengan ibadah yang banyak, atau karena mengandung kemuliaan seperti malam Lailat-ul-Qadar, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, hari ‘Arafah, hari ‘Asyura’, atau malam maulid, sebab padanya lahirlah sang penghulu alam s.a.w.
Bagi para wali, setiap malam adalah Lait-ul-Qadar, karena mereka senantiasa menghiasi malam-malam mereka dengan ibadah yang luar biasa. Seseorang di antara mereka mengungkapkan:
لَوْ لَا شُهُوْدُ جَمَالِكُمْ فِيْ ذَاتِيْ
مَا كُنْتُ أَرْضَى سَاعَةً بِحَيَاتِيْ
مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ الْمُعَظَّمِ شَأْنهَا
إِلَّا إِذَا عَمَّرْتُ بِكُمْ أَوْقَاتِيْ
إِنَّ الْمُحِبَّ إِذَا تَمَكَّنَ فِي الْهَوَى
وَ الْحُبُّ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى مِيْقَاتِ
وَ كُلُّ اللَّيَالِيْ لَيْلَةُ الْقَدْرِ إِنْ دَنَتْ
كَمَا كُلُّ أَيَّامِ اللِّقَا يَوْمُ جُمْعَةِ
“Kalau bukan keindahan-Mu menjelma di mataku,
Tidaklah diri ini tenang walau sesaat.
Bukan Lait-ul-Qadar lebih indah bagiku,
Daripada malam kumemeluk-Mu erat-erat.
Sungguh bila cinta-Mu telah memabukkanku,
Maka tak lagi kumengenal waktu dan tempat.
Lait-ul-Qadar bersemayam di setiap malamku,
Dan hari-hari bersama-Mu adalah hari Jum‘at.”
Tak heran mengapa Syaikh al-Mursi r.a. yang menyatakan: “Semua waktu bagi kami adalah Lailat-ul-Qadar” tiada lain karena setiap saat dihiasi dengan ibadah, musyāhadah, dan tafakkur. Rasulullah s.a.w.bersabda:
تَفَكَّرُ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِيْنَ سَنَة.
“Satu jam bertafakkur lebih mulia daripada beribadah selama tujuhpuluh tahun.”
Demikian pula tempat menjadi mulia apabila mengandung kemuliaan, semisal gunung ‘Arafah, Masjid-il-Haram, Masjid Nabawi, Masjid Aqsha, dan ruang-ruang khalwat para wali, sebab bagi para wali semua tempat adalah ‘Arafah, karena tempat menjadi mulia cukup dengan kehadiran mereka padanya. Seorang murid mengatakan:
وَ سَعْيِ لَهُ حَجَّ بِهِ كُلّ وَقْفَة | عَلَى بَابِهِ قَدْ عَادَلَتْ أَلْفَ وَقْفَة |
“Perjalananku menujunya adalah haji,
Dan berdiriku di pintunya wukuf seribu kali.”
Murid lain menyebutkan:
كُلُّ وَقْتٍ مِنْ حَبِيْبِيْ | قَدْرُهُ كَأَلْفِ حَجَّةِ |
“Setiap saat bersama kekasih hati,
Adalah haji sebanyak seribu kali.”
Demikian pula ayat-ayat al-Qur’an, sebahagian memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sebahagian yang lain, misalnya surat Yasin adalah hati al-Qur’an. Begitu juga lafaz-lafaz dzikir dan shalawat, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian lainnya.