Bait # 30
وَ فِيْ أَبٍ وَ تَالِيَيْهِ يَنْدُرُ | وَ قَصْرُهَا مِنْ نَقْصِهِنَّ أَشْهَرُ |
Artinya:
“(I‘rāb nuqūsh) pada lafazh “Abū” dan dua lafazh yang mengikutinya (yaitu: akhū dan ḥamū), adalah jarang. (Jarang dibaca: (رَأَيْتُ أَبَكَ، هذَا أَبُكَ). Adapun memakai i‘rāb qashar-nya (yaitu dengan alif), lebih masyhūr dari i‘rāb nuqūsh-nya.”
Contohnya: (جَاءَ أَبَاكَ، رَأَيْتُ أَبَاكَ، مَرَرْتُ بِأَبَاكَ).
Bait # 31
وَ شَرْطُ ذَا الْإِعْرَابِ أَنْ يُضَفْنَ لَا | لِلْيَا كَجَا أَخُوْ أَبِيْكَ ذَا اعْتِلَا |
Artinya:
“Adapun syarat-syarat memakai i‘rāb seperti ini (yaitu rafa‘ dengan wāu, nashab dengan alif dan jarr dengan yā’ bagi isim-isim yang enam rupa ini), ialah harus di-idhāfat-kan, akan tetapi jangan di-idhāfat-kan kepada yā’ mutakallim, sebab bisa keliru.
Contohnya, seperti: (جَاءَ أَخُوْ أَبِيْكَ ذَا اعْتِلَا) = Telah datang saudara bapakmu serta keadaannya mempunyai pangkat yang tinggi.”
Maksudnya:
Asmā’-us-sittah itu bisa di-rafa‘-kan dengan wāu dan di-i‘rāb-i dengan ḥurūf harus memenuhi empat syarat, yaitu:
Bagian kedua, ialah yang di-rafa‘-kan dengan alif, nashab dan jarr-nya dengan yā’:
Bait # 32
بِالْأَلِفِ اُرْفَعِ الْمُثَنَّى وَ كِلَا | إِذَا بِمُضْمَرٍ مُضَافًا وُصِلَا |
Artinya:
“Me-rafa‘-kan kamu kepada isim tatsniyah dengan alif. Dan lafazh kilā (harus di-rafa‘-kan dengan alif pula) bila disambungkan serta di-idhāfat-kan kepada isim dhamīr, seperti:
جَاءَتِ الْمَرْءَتَانِ كِلْتَاهُمَا، جَاءَ الرَّجُلَانِ كِلَاهُمَا
Maksudnya:
Alif ini menjadi tanda rafa‘ bagi isim tatsniyah dan mulḥaq-nya yaitu lafazh: kilā.
Adapun isim tatsniyah, ialah:
الْإِسْمُ الدَّالُ عَلَى اثْنَيْنِ بِزِيَادَةٍ فِيْ آخِرِهِ صَالِحًا لِلتَّجْرِيْدِ
Artinya:
“Isim yang menunjukkan dua serta dengan tambahan ḥurūf pada akhirnya dan bisa di-tajrīd (dikosongkan dari alamat tatsniyah), seperti: (زَيْدَانِ) dari (زَيْدٌ زَيْدٌ) dan (كِتَابَانِ) dari (كِتَابُ كِتَابٌ) dan sebagainya.
Adapun lafazh yang menunjukkan dua akan tetapi tidak bisa di-tajrīd, seperti lafazh: (اِثْنَانِ/كِلَا) dsb., yaitu tidak bisa dibaca: (اِثْنٌ/كِلٌ), maka lafazh itu disebut: mulḥaq tatsniyah, yaitu dalam i‘rāb-annya harus seperti isim tatsniyah saja, akan tetapi maknanya lain dan dengan syarat bagi kita, harus di-idhāfat-kan kepada isim dhamīr, seperti: (كِلْتَاهُمَا، كِلَاهُمَا)
Kalau di-idhāfat-kan kepada isim zhāhir seperti: (كِلَا الرَّجُلَيْنِ) maka semua i‘rāb-annya harus dengan harkat yang di-taqdīr-kan kepada alif-nya.
Bait # 33
كِلْتَا كَذَاكَ اُثْنَانِ وَ اثْنَتَانِ | كَابْنَتَيْنِ وَ ابْنَتَيْنِ يَجْرَيَانِ |
Artinya:
“Adapun lafazh “kiltā”, seperti “kilā” saja, demikian pula lafazh (اِثْنَانِ/اِثْنَتَانِ) berlaku seperti lafazh (اِثْنَيْنِ) dan (اِثْنَتَيْنِ). Perlu diketahui, bahwa lafazh (اِثْنَانِ) dan (اِثْنَتَانِ) mulḥaq tatsniyah juga.
Bait # 34
وَ تَخْلُفُ الْيَا فِيْ جَمِيْعِهَا الْأَلِفْ | جَرًّا وَ نَصْبًا بَعْدَ فَتْحٍ قَدْ أُلِفْ |
Artinya:
“Dan menjadi pengganti ḥurūf “yā’” pada semua isim tatsniyah dan mulḥaq-nya ini ḥurūf alif alamat rafa‘, yaitu ketika jarr dan nashab-nya (dan berada) sesudah harkat fatḥah sebagaimana yang telah disusun.”
Contohnya, seperti: (رَأَيْتُ الْمُسْلِمَيْنِ كِلَيْهِمَا، رَأَيْتُ الَّذِيْن كِلَيْهِمَا).
Bagian ketiga, ialah alamat rafa‘ dengan wāu, nashab dan jarr-nya dengan yā’.
Bait # 35
وَ ارْفَعْ بِوَاوٍ وَ بِيَا اجْرُرْ وَ انْصِبِ | سَالِمَ جَمْعِ عَامِرٍ وَ مُذْنِبِ |
Artinya:
“Me-rafa‘-kan kamu dengan wāu men-jarr-kan dan me-nashab-kan dengan yā’, kepada jama‘ sālim lafazh “‘āmir” (yaitu jama‘ mudazkkar sālim) dan kepada lafazh “mudznib” (yaitu isim shifat).”
Jadi: (مُذْنِبُوْنَ، مُذْنِبٌ).
Maksudnya:
Harus me-rafa‘-kan dengan wāu, me-nashab-kan dan men-jarr-kan dengan yā’ kepada jama‘ mudzakkar sālim, yaitu dari:
Kecuali isim shifat yang dijadikan sifat bagi jama‘ mu’annats, maka tidak boleh dijadikan seperti ini, seperti lafazh: (حَائِضٌ) tak boleh: (حَائِضُوْنَ) (laki-laki yang berhaid – karena tidak mungkin), demikian juga sifat bagi benda yang tidak berakal, tidak boleh di-jama‘-kan seperti jama‘ mudzakkar sālim.
Bait # 36, 37, 38.
وَ شِبْهِ ذَيْنِ وَ بِهِ عِشْرُوْنَا | وَ بَابُهُ أُلْحِقَ وَ الْأَهْلُوْنَا |
أوْلُو وَ عَالَمُوْنَ عِلِّيّونَا | وَ أَرْضُوْنَ شَذَّ وَ الْسِّنُوْنَا |
وَ بَابُهُ وَ مِثْلَ حِيْنٍ قَدْ يَرِدْ | ذَا الْبَابُ وَ هْوَ عِنْدَ قَوْمٍ يَطَّرِدْ |
Artinya:
“Dan yang menyerupai kedua macam isim tersebut. (contohnya: (مُحَمِّدٌ) jadi (مُحَمَّدُوْنَ), (إِبْرَاهِيْمُ) jadi (إِبْرَاهِيْمُوْنَ), (صَالِحٌ) jadi (صَالِحُوْنَ) dan dari sifat: (أَفْضَلُ) jadi (أَفْضَلُوْنَ), (عَالِمٌ) jadi (عَالِمُوْنَ) dsb.)
Dan kepada jama‘ mudzakkar itu di-mulḥaq-kan pula lafazh (عِشْرُوْنَ) beserta babnya, yaitu sampai dengan (تِسْعُوْنَ) yaitu lafazh-lafazh jama‘ yang tidak mempunyai mufrad-nya.
Dan di-mulḥaq-kan pula lafazh (أَهْلُوْنَ), yaitu isim jinis yang jāmid, bukan alam/sifat, mufrad-nya lafazh (أَهْلٌ) dan lafazh (أُولُو) yang tidak ber-mufrad: (عَالَمُوْنَ) yaitu isim jinis yang jāmid, lafazh (عِلِّيِّيْنَ) yaitu nama syurga/ghair ‘āqil, lafazh (أَرَضُوْنَ), yaitu isim jinis yang jāmid serta mu’annats yang lafazh jama‘-nya di-jama‘-kan seperti jama‘ mudzakkar sālim adalah syadzdz, sebab termasuk bab (سِنُوْنَ) dan lafazh (سِنُوْنَ) yaitu jama‘ lafazh (سَنَةٌ) yaitu isim jinis mu’annats. Kesemuanya itu adalah mulḥaq jama‘ mudzakkar sālim.
Dan bab (سِنُوْنَ) yaitu isim tsulātsī yang dibuang lām-nya dan diganti dengan tā’ marbūthah, seperti: (سِنِيْنَ) jama‘ (سَنَةٌ) = tahun: (ثِبِيْنَ) jama‘ (ثَبَةٌ) dhammah tsā’ = rombongan; asalnya: (ثُبَوٌ), (مِئِيْنَ) dari (مِائَةٌ), asal (مِأَيٌ); dan seperti lafazh “ḥīn” kadang-kadang bab ini, bahkan menurut sesuatu kaum dari bangsa ‘Arab suka berlaku.”
Maksudnya:
Lafazh “sinīna” ini berlaku juga seperti lafazh (ḥīn) yaitu di-i‘rāb-i dengan harkat seperti dalam doa Nabi s.a.w.:
اللهُمَّ اجْعَلْهَا سِنِيْنًا كَسِنِيْنِ يُوْسُفَ
Bait # 39
وَ نُوْنَ مَجْمُوْعٍ وَ مَا بِهِ الْتَحَقْ | فَافْتَحْ وَ قَلَّ مَنْ بِكَسْرِهِ نَطَقْ |
Artinya:
“Adapun nūn jama‘ mudzakkar dan lafazh yang ber-mulḥaq kepadanya, maka mematahkan kamu dan sedikit orang yang mengucapkannya dengan kasrah nūn, yaitu yang kadang-kadang datang karena darurat wazan.”
Bait # 40
وَ نُوْنُ مَا ثُنِّيَ وَ الْمُلْحَقِ بِهْ | بِعَكْسِ ذَاكَ اسْتَعْمَلُوْهُ فَانْتَبِهْ |
Artinya:
“Adapun isim yang di-tatsniyah-kan dan mulḥaq-nya, maka mengamalkan orang ‘Arab terhadapnya dengan kebalikannya (yaitu di-kasrah-kan nūn), ingatlah kamu!”
Tentang lafazh-lafazh yang di-i‘rāb-i dengan harkat sebagai pengganti dari harkat lagi.
Bagian Keempat, yaitu lafazh yang di-jama‘-kan dengan tā’ dan alif.
Bait # 41
وَ مَا بِتَا وَ أَلِفٍ قَدْ جُمِعَا | يُكْسَرُ فِي الْجَرِّ وَ فِي النَّصْبِ مَعَا |
Artinya:
“Adapun lafazh yang di-jama‘-kan dengan alif dan tā’, adalah sama-sama di-kasrah-kan pada i‘rāb jarr dan nashab-nya.”
(Misal: (رَأَيْتُ الْهِنْدَاتِ).
Bait # 42
كَذَا أُوْلَاتُ وَ الَّذِي اسْمًا قَدْ جُعِلْ | كَأَذْرِعَاتٍ فِيْهِ ذَا أَيْضا قُبِلْ |
Artinya:
“Demikian seperti jama‘ mu’annats sālim saja, yaitu lafazh “ulātu” (yaitu mulḥaq-nya, sebab tiada mufrad-nya) dan lafazh jama‘ mu’annats yang dijadikan nama seperti: Adzri‘ātin. Pada lafazh yang dijadikan nama ini, i‘rāb-nya seperti jama‘ mu’annats sālim bisa diterima”, (yakni bisa berlaku seperti sebelum dijadikan nama saja).
Bagian kelima, yaitu isim ghair munsharif.
Bait # 43
وَ جُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لَا يَنْصَرِفْ | مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ ألْ رَدِفْ |
Artinya:
“Dan men-jarr-kan kamu dengan fatḥah kepada isim-isim yang tidak menerima tanwīn (seperti: مَسَاجِدُ، أَحْمَرُ، أَحْمَدُ، فَاطِمَةُ) selama tidak di-idhāfat-kan atau tidak ada sesudah alif-lām yang mengikutinya.”
Contoh yang boleh di-jarr-kan: (صَلَّيْتُ فِي الْمَسَاجِدِ، مَرَرْتُ بِأَحْمَدِكُمْ، هَلْ أَنْتَ تَعْلَمُ بِأَفْضَلِهِمْ، زَيْدٌ مَرَّ بِتَلَامِيْذِهِ، مَرَرْتُ بِالصَّخْرَاءِ)
Bagian keenam, yaitu alamat rafa‘ dengan nūn pengganti dari dhammah.
Bait # 44
وَ اجْعَلْ لِنَحْوِ يَفْعَلَانِ الْنُّوْنَا | رَفْعَا وَ تَدْعِيْنَ وَ تَسْأَلُوْنَا |
Artinya:
“Dan menjadikanlah kamu kepada nūn sebagai alamat rafa‘ untuk lafazh seperti (يَفْعَلَانِ) (fi‘il mudhāri‘ yang ber-alif dhamīr tatsniyah mukhāthab atau ghā’ib; seperti (يَنْصُرَانِ، تَنْصُرَانِ) dan lafazh (تَدْعِيْنَ) (yaitu fi‘il mudhāri‘ yang mempunyai yā’ dhamīr mu’annats mukhāthabah wazan taf‘ilīn) dan lafazh (تَسْأَلُوْنَ) (fi‘il mudhāri‘ yang mempunyai wāu dhamīr jama‘ ghā’ib atau mukhāthab, seperti: (تَنْصُرُوْنَ، يَنْصُرُوْنَ). Itu Af‘āl-ul-Khamsah).”
Bait # 45
وَ حَذْفُهَا لِلْجَزْمِ وَ الْنَّصْبِ سِمَهْ | كَلَمْ تَكُوْنِيْ لِتَرُوْمِيْ مَظْلَمَهْ |
Artinya:
“Adapun membuang nūn itu menjadi tanda untuk i‘rāb jazm dan nashab-nya, seperti (لَمْ تَكُوْنِيْ) asalnya (تَكُوْنِيْنَ) contoh di-nashab-kan (لِتَرُوْمِيْ) asalnya (تَرُوْمِيْنَ).”
Bagian ketujuh, yaitu i‘rāb bagi isim dan fi‘il yang mu‘tall.
Bait # 46
وَ سَمِّ مُعْتَلًّا مِنَ الْأَسْمَاءِ مَا | كَالْمُصْطَفَى وَ الْمُرْتَقِي مَكَارِمَا |
Artinya:
“Menyebut mu‘tallah kamu kepada isim-isim yang seperti lafazh: “mushthafā” = yang terpilih (yaitu lafazh yang ber-alif maqshūrah) dan lafazh “murtaqī” = yang baik (yaitu isim manqūsh), makārimā = kepada kemuliaan.”
Perlu diketahui, bahwa tiada isim yang ber-mu‘tall wāu.
Isim mu‘tall itu terbagi dua bagian, yaitu:
Bait # 47
putarabichere | putarabichere |
فَالْأَوَّلُ الْإِعْرَابُ فِيْهِ قُدِّرَا جَمِيْعُهُ وَ هْوَ الَّذِيْ قَدْ قُصِرَا
Artinya:
“Adapun yang pertama, yaitu mushthafā, i‘rāb-nya dikira-kirakan semuanya (dhammah, fatḥah dan kasrah-nya, sebab tsiqāl/berat mengucapkannya), seperti (جَاءَ الْمُصْطَفَى، رَأَيْتُ الْمُصْطَفَى، مَرَرْتُ بِالْمُصْطَفَى) yaitu sungguh-sungguh di-qashar.”
Bait # 48.
وَ الثَّانِ مَنْقُوْصٌ وَ نَصْبُهُ ظَهَرْ | وَ رَفْعُهُ يُنْوَى كَذَا أَيْضَا يُجَرْ |
Artinya:
“Adapun yang kedua, yaitu isim manqūsh. Adapun i‘rāb nashab-nya, zhāhir (seperti: رَأَيْتُ الْمُرْتَقِيَ، رَأَيْتُ الْقَاضِيَ) dan rafa‘-nya itu di-taqdīr-kan, demikian pula, jarr-nya; sebab berat mengucapkannya, seperti: (قَامَ الْمُرْتَقِي، جَاءَ الْقَاضِي).
Bait # 49
وَ أَيُّ فِعْلٍ آخِرٌ مِنْهُ أَلِفْ | أَوْ وَاوٌ أَوْ يَاءٌ فَمُعْتَلًّا عُرِفْ |
Artinya:
“Adapun fi‘il yang mana saja di mana pada ḥurūf akhirnya dengan alif atau wāu atau yā’, maka dapat diketahui bahwa fi‘il itu mu‘tall.”
Seperti: (يَدْعُوْ، يَخْشَى، يَرْمِيْ)
I‘rāb fi‘il mu‘tall sebagai berikut:
Bait # 50
فَالْأَلِفَ انْوِ فِيْهِ غَيْرَ الْجَزْمِ | وَ أَبْدِ نَصْبَ مَا كَيَدْعُوْ يَرْمِيْ |
Artinya:
“Maka men-taqdīr-kanlah kamu kepada alif pada fi‘il itu akan i‘rāb-nya selain jazm.” Jadi setiap fi‘il yang mu‘tall alif, seperti: (خَشِيَ يَخْشَى، نَهَى يَنْهَى) dsb. I‘rāb-annya selain jazm harus di-taqdīr-kan kepada alif, seperti: (لَنْ يَخْشَى، لَنْ يَنْهَى). Adapun jazm-nya harus dibuang saja alif-nya, seperti: (لَمْ يَنْهَ، لَمْ يَخْشَ، لَمْ يَرْضَ). Dan menjelaskanlah kamu akan i‘rāb nashab-nya lafazh seperti: (يَدْعُوْ، يَرْمِيَ) yaitu fi‘il mudhāri‘ yang mu‘tall wāu dan yā’, jadi: (لَنْ يَدْعُوَ، لَنْ يَرْمِيَ)
Bait # 51
وَ الرَّفعَ فِيْهِمَا انْوِ وَ احْذِفْ جَازِمَا | ثَلَاثَهُنَّ تَقْضِ حُكمَا لَازِمَا |
Artinya:
“Dan harus men-taqdīr-kan akan rafa‘-nya pada kedua macam fi‘il mu‘tall itu dan mesti membuang ketiga ḥurūf ‘illat-nya itu ketika jazm, tentu kamu menetapkan hukum padanya dengan pasti”. Seperti: (لَمْ يَدْعُ، لَمْ يَرْمِ)