بَابُ الْمُعْرَبِ وَ الْمَبْنِيِّ
Perlu diketahui, bahwa akhir setiap kalimat itu pada dasarnya harus mu‘rab, yaitu bisa berubah dari fatḥah kepada kasrah atau dhammah, tergantung kepada ‘āmil-nya, seperti lafazh: (كَتَبْتُ بِالْقَلَمِ، رَأَيْتُ الْقَلَمَ، هذَا الْقَلَمُ) akan tetapi adakalanya tidak bisa berubah untuk selama-lamanya atau sewaktu-waktu, yaitu yang disebut, mabnī, seperti isim isyārah, isim maushūl, isim dhamīr, seperti: (الَّذِيْ، الَّتِيْ، الَّذِيْنَ، هذِهِ، هذَا، هُنَا), dan ada yang kadang-kadang mabnī, yaitu isim ghair munsharif, seperti sighat muntah-al-jumu‘, seperti: (مَسَاجِدُ، مَصَابِيْحُ) sebagaimana yang akan diterangkan pada pasalnya yang khusus.
Bait # 15
وَ الْاِسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَ مَبْنِي | لِشَبَهٍ مِنَ الْحُرُوْفِ مُدْنِي |
Artinya:
“Adapun isim itu daripadanya ada yang mu‘rab dan ada yang mabnī. (yang mabnī, ialah) karena dekat sekali menyerupai ḥurūf”, yaitu:
Bait # 16
كَالْشَّبَهِ الْوَضْعِيِّ فِي اسْمَيْ جِئْتَنَا | وَ الْمَعْنَوِيِّ فِيْ مَتَى وَ فِيْ هُنَا |
Artinya:
“Seperti keserupaan jenis “Wadh’ī” di dalam dua isimnya lafadz (جِئْتَنَا). Dan keserupaan jenis “Ma‘nawī” dalam contoh (مَتَى) dan (هُنَا).”
Maksudnya:
Bait # 17
وَ كَنِيَابَةٍ عَنِ الْفِعْلِ بِلَا | تَأَثُّرٍ وَ كَافْتِقَارٍ أُصِّلَا |
Artinya:
“Dan keserupaan jenis “Niyābah” adalah pengganti dari Fi‘il tanpa pembekasan I’rāb (Isim Fi‘il). Dan keserupaan jenis “Iftiqāri” adalah kebutuhan yang diharuskan (membutuhkan shilah) .”
Maksudnya:
Contohnya seperti: (صَهْ) = perintah diam; (دَرَاكِ) = perintah menemui, (لَيْتَ) = pengganti; (اَتَمَنِّي) = mengharap, dan sebagainya.
Isim-isim fi‘il itu bisa ber-‘amal seperti menjadi ‘āmil, seperti: (دَرَاكِ أَخَاكَ، صَهْ ثَابِتًا), akan tetapi tidak bisa menjadi ma‘mūl, meskipun kalimat itu isim. Dikecualikan dari hal itu, ialah isim-isim yang menerima bekas (bisa menjadi ma‘mūl) dari ‘āmil zhāhir, seperti: (ضَرَبْتُ زَيْدًا) atau ‘āmil yang dibuang, seperti: (شَرَابًا طَهُوْرًا) asalnya (اِشْرَبْ شَرَابًا) atau dalam hadis Nabi s.a.w.: (إِنْ خَيْرًا فَخَيْرًا وَ إِنْ شَرًّا فَشَرًّا) asalnya (إِنْ كَانَ عَمَلُهُ خَيْرًا فَكَانَ جَزَاءُهُ خَيْرًا الخ…). ‘Āmil-‘āmil lafazh (شَرَابًا) dan (خَيْرًا) itu dibuang dan isim-isim itu isim mu‘rab, bukan mabnī.
Tentang Isim Mu‘rab.
Bait # 18
وَ مُعْرَبُ الْأَسْمَاءِ مَا قَدْ سَلِمَا | مِنْ شَبَهِ الْحَرْفِ كَأَرْضٍ وَ سُمَا |
Artinya:
“Adapun isim mu‘rab, ialah isim yang selamat dari menyerupai ḥarf (baik dalam bentuk maupun artinya), seperti lafazh (أَرْضٍ) bagi binā’ shaḥīḥ atau i‘rāb zhāhir dan lafazh (سُمَى) bagi binā’ mu‘tall atau i‘rāb muqaddar sebab isim maqshūrah.”
Perlu diketahui, bahwa isim mu‘rab itu terbagi dua bagian, yaitu:
Tentang I‘rāb fi‘il.
Bait # 19
وَ فِعْلُ أَمْرٍ وَ مُضِيٍّ بُنِيَا | وَ أَعْرَبُوْا مُضَارِعًا إنْ عَرِيَا |
Artinya:
“Adapun fi‘il amar dan fi‘il mādhī itu di-mabnī-kan selamanya dan para Ulama meng-i‘rāb-kan kepada fi‘il mudhāri‘ kalau kosong dari:
Bait # 20
مِنْ نُوْنِ تَوْكِيْدٍ مُبَاشِرٍ وَ مِنْ | نُوْنِ إنَاثٍ كَيَرُعْنَ مَنْ فُتِنْ |
Artinya:
“(kosong) dari nūn-taukīd yang bertemu dengan fi‘il-nya dan dari nūn jama‘ mu’annats, seperti lafazh: (يَرُعْنَ مَنْ فُتِنَ) = mengejutkan wanita-wanita itu kepada orang yang difitnah.”
Maksudnya:
2.1. Nūn-taukīd yang bertemu dengan fi‘il mudhāri‘-nya/tidak terhalang oleh alif dhamīr dan sebagainya, seperti: (لِتَنْصُرَنْ/لِتَنْصُرَنَّ) ini mabnī.
Kalau antara fi‘il mudhāri‘ dan nūn-taukīd itu terhalang, baik penghalangnya itu nampak/zhāhir seperti: (لِتَنْصُرَانِّ، لِتَفْعَلَانَّ) maupun di-taqdīr-kan seperti: (لِتَفْعَلِنَّ، لِتَفْعَلُنَّ)
Maka fi‘il mudhāri‘ terakhir ini adalah mu‘rab, yaitu tanda rafa‘-nya dengan nun yang dibuang, sebab ada beberapa nūn yang berturut-turut (iltiqā’-us-sākinīn), seperti lafazh: (لِتَنْصُرُنَّ، لِتَضْرِبُنَّ) asalnya: (لِتَنْصُرُوْنَنْنَ).
2.2. Kosong dari nūn jama‘ mu’annats. Nūn jama‘ mu’annats ini selamanya bertemu dengan fi‘il-nya, karena itu fi‘il-nya selalu di-mabnī-kan, seperti lafazh: (لِيَنْصُرْنَ، لِيَضْرِبْنَ)
Tentang I‘rāb ḥarf.
Bait # 21
وَ كُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِق لِلْبِنَا | وَ الْأَصْلُ فِي الْمَبْنِيِّ أَنْ يُسَكَّنَا |
Artinya:
“Adapun semua ḥarf itu selamanya berhak mabnī dan adapun asalnya bagi lafazh mabnī itu (baik isim, fi‘il atau ḥarf), ialah “sukūn”. Kecuali karena ada sebab udzur/kesulitan, seperti karena wazan dsb., maka diperbolehkan dengan selain sukūn sebagaimana yang akan diterangkan dalam bait ini:
Bait # 22
وَ مِنْهُ ذُو فَتْحٍ وَ ذُوْ كَسْرٍ وَ ضَمُّ | كَأَيْنَ أَمْسِ حَيْثُ وَ الْسَّاكِنُ كَمْ |
Artinya:
“Dari sebagian lafazh-lafazh yang di-mabnī-kan, ada yang mabnī fatḥah, mabnī kasrah atau dhammah, seperti: (حَيْثُ، أَمْسِ، أَيْنَ) dan sukūn, ialah: (كَمْ).
Maksudnya:
النَّحْوُ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ أَحْوَالُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ مِنْ حَيْثُ الْإِعْرَابِ وَ الْبَنَاءِ
Artinya:
“Yaitu ilmu untuk mengetahui tingkah-laku akhir kalimat dari segi i‘rāb dan mabnī-nya.”
Bait # 23
وَ الْرَّفْعَ وَ الْنَّصْبَ اجْعَلَنْ إعْرَابَا | لِاسْمٍ وَ فِعْلٍ نَحْوُ لَنْ أَهَابَا |
Artinya:
“Jadikanlah olehmu kepada alamat (tanda) macam-macam i‘rāb ini: rafa‘ dan nashab untuk isim dan fi‘il, seperti: (لَنْ أَهَابَ).
Contoh isim: rafa‘: (زَيْدٌ قَائِمٌ), (isim) nashab: (رَأَيْتُ زَيْدًا) dan fi‘il: rafa‘: (يَنْصُرُ، يَعْرِفُ), (fi‘il) nashab: (لَنْ يَعْرِفَ)
Bait # 24
وَ الْاِسْمُ قَدْ خُصِّصَ بِالْجَرِّ كَمَا | قَدْ خُصِّصَ الْفِعْلُ بِأَنْ يَنْجَزِمَا |
Artinya:
“Adapun isim itu dikhususkan dengan jarr, (seperti: (كَتَبْتُ بِالْقَلَمِ).), seperti ditentukannya fi‘il dengan jazm, seperti: (لَمْ يَقْرَأْ، لَمْ يَعْلَمْ).”
Perlu diketahui, bahwa keempat alamat tersebut mempunyai tanda asli dan tanda pengganti, yaitu sebagai berikut:
Penjelasannya dalam bait sbb.:
Tanda-tanda asal:
Bait # 25
فَارْفَعْ بِضَمَ وَ انْصِبَنْ فَتْحَاً وَ جُرْ | كَسْرا كَذِكْرُ اللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ |
Artinya:
“Me-rafa‘-kanlah dengan dhammah, me-nashab-kan dengan fatḥah, dan men-jarr-kan dengan kasrah, seperti:
ذِكْرُ اللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
Artinya:
“Ingat kepada Allah akan menggembirakan kepada hamba-Nya.”
Lafazh “dzikru” isim mufrad di-rafa‘-kan dengan dhammah; lafazh “Allāh” di-jarr-kan dengan kasrah; lafazh “‘abdahu” di-nashab-kan dengan fatḥah dan lafazh “yasurru” seharusnya di-rafa‘-kan dengan dhammah, akan tetapi di-sukūn-kan sebab waqaf (bacaan – berhenti di ujung kata atau kalimat).
Bait # 26
وَ اجْزِمْ بِتَسْكِيْنٍ وَ غَيْرُ مَا ذُكِرْ | يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُوْ بَنِيْ نَمِرْ |
Artinya:
“Dan men-jazam-kan kamu dengan sukūn (seperti: أَلَمْ نَشْرَحْ، أَلَمْ تَعْلَمْ). Adapun tanda-tanda i‘rāb selain yang telah diterangkan di atas, adalah pengganti seperti: (جَاءَ أَخُوْ بَنِيْ نَمِرٍ).”
Lafazh “akhū” di-rafa‘-kan dengan wāu, lafazh “banī” di-jarr-kan dengan yā’.
Perlu diketahui, bahwa i‘rāb pengganti (i‘rāb dengan huruf) itu ada 7 bagian, ialah sebagai berikut:
Bagian pertama; ialah dalam isim enam (asmā’-us-sittah), yaitu:
Bait # 27
وَ ارْفَعْ بِوَاوٍ وَ انْصِبَنَّ بِالْأَلِفْ | وَ اجْرُرْ بِيَاءٍ مَا مِنَ الْأَسْمَا أَصِفْ |
Artinya:
“Me-rafa‘-kan kamu dengan wāu, me-nashab-kan dengan alif dan men-jarr-kan dengan yā’, kepada isim-isim yang akan kusifati/terangkan.”
Bait # 28
مِنْ ذَاكَ ذُوْ إِنْ صُحْبَةً أَبَانَا | وَ الْفَمُ حَيْثُ الْمِيْمُ مِنْهُ بَانَا |
Artinya:
“Dari sebagian isim yang di-rafa‘-kan dengan wāu, di-nashab-kan dengan alif dan di-jarr-kan dengan yā’, ialah lafazh: dzū, kalau jelas mempunyai arti: mempunyai, seperti: (ذُوْ مَالٍ) = yang mempunyai harta. (Kalau lafazh dzū itu dengan arti isim maushūl seperti: ladzī, maka lafazh dzū-nya tidak berubah (mabnī).
Contohnya:
(مَرَرْتُ بِذُوْ قَرَأَ، رَأَيْتُ ذُوْ قَرَأَ، جَاءَنِيْ ذُوْ قَرَأَ) sama dengan: (رَأَيْتُ الَّذِيْ قَرَأَ)
Dan lafazh (الْفَمُ) “fam” sekira “mīm” daripadanya hilang.
Contoh: (نَظَرْتُ إِلَى فِيْكَ، رَأَيْتُ فَاكَ، هذَا فُوْكَ) dan kalau mīm-nya tetap ada, maka i‘rāb-nya tetap dengan harkat, seperti: (أَكَلْتَ بِفَمِكَ، رَأَيْتُ فَمَكَ، هذَا فَمُكَ)
Bait # 29
وَ الْفَمُ حَيْثُ الْمِيْمُ مِنْهُ بَانَا | وَ النَّقْصُ فِيْ هذَا الْأخِيْرِ أَحْسَنُ |
Artinya:
“Adapun lafazh (أَبٌ أَخٌ حَمٌ), yaitu seperti lafazh (ذُوْ) dan (هَنُ).
Contohnya: (مَرَرْتُ بِأَبِيْكَ، رَأَيْتُ أَبَاكَ، هذَا أَبُوْكَ) dan yang lainnya qiyās-kan saja. Dan adapun i‘rāb nuqūsh (yaitu i‘rāb dengan harkat) pada lafazh yang terakhir ini, yaitu hanu, itu lebih baik”. (Hanu = farji).
Maksudnya:
Lafazh hanu lebih baik di-nuqūsh-kan, seperti: ((هَنٌ يَعْنِيْ الْفَرْجُ)، رَأَيْتُ هَنَ زَيْدٍ، هَذَا هَنُ زَيْدٍ) dan jarang dibaca: (رَأَيْتُ هَنَا زَيْدٍ، هذَا هَنُو زَيْدٍ) dsb.