Bait # 59
وَ أَلِفٌ وَ الْوَاوُ وَ النُّوْنُ لِمَا | غَابَ وَ غَيْرِهِ كَقَامَا وَ اعْلَمَا |
Artinya:
“Adapun alif, wāu dan nūn (dari) dhamīr muttashil marfū‘, adalah untuk ghā’ib dan lainnya (yaitu khithāb), sepeti (قَامَا = Telah berdiri dua orang laki-laki dan ( = Harus mengetahui kamu laki-laki berdua!). Contoh untuk:
Isim-isim dhamīr itu sebagaimana telah diterangkan, terbagi pula atas 2 bagian, yaitu: 1. Mustatir, 2. Bāriz, Dhamīr bāriz telah diterangkan di atas. Kemudian dhamīr mustatir itu terbagi pula yang wājib dan jā’iz mustatir-nya. Dalam bait ini akan diterangkan dhamīr mustatir wājib, yaitu ada macam:
Bait # 60
وَ مِنْ ضَمِيْرِ الرَّفْعِ مَا يَتَتِرُ | كَافْعَلْ أُوَافِقْ نَغْتَبِطْ إِذْ تَشْكُرُ |
Artinya:
“Dari sebagian dhamīr marfū‘ itu ada yang mustatir yaitu seperti:
(زَيْدٌ يَقُوْمُ) (mustatir), (زَيْدٌ يَقُوْمُ هُوَ) (zhāhir),
(هِنْدٌ قَرَأَتْ) atau (هِنْدٌ قَرَأَتْ هِيَ)
(هِنْدٌ تَقْرَأُ) atau (هِنْدٌ تَقْرَأُ هِيَ)
Atau ditempati dengan isim zhāhir, seperti: (زَيْدٌ قَائِمٌ أَخُوْهُ، زَيْدٌ يَقُوْمُ أَبُوْهُ).
Dhamīr Munfashil Marfū‘:
Bait # 61
وَ ذُو ارْتِفَاعٍ وَ انْفِصَالٍ أَنَا هُو | وَ أَنْتَ وَ الْفُرُوْعُ لَا تَشْتَبِهُ |
Artinya:
“Adapun dhamīr rafa‘ yang munfashil, yaitu:
(أَنَا، أَنْتَ، هُوَ) dan cabang-cabangnya tidak samar”.
Yaitu: (هُوَ، أَنْتُنَّ، أَنْتُمْ، أَنْتُمَا، أَنْتَ، أَنْتِ، نَحْنُ، أَنَا)
Bait # 62
وَ ذُو انْتِصَابٍ فِي انْفِصَالٍ جُمِلَا | إِيَّايَ وَ التَّفْرِيْعُ لَيْسَ مُشْكِلَا |
Artinya:
“Adapun dhamīr yang mempunyai nasab dalam munfashil (dhamīr munfashil manshūb), dijadikan dari lafazh (إِيَّايَ), dan membikin cabangnya tidak sukar”. Yaitu: (إِيَّاهَا، إِيَّاهُ، إِيَّاكَ، إِيَّاكُمْ، إِيَّاكُمَا، إِيَّاكِ، إِيَّانَا، إِيَّايَ ) dst.
Cara menggunakan isim dhamīr:
Bait #63
وَ فِي اخْتِيَارٍ لَا يَجِيْءُ الْمُنْفَصِلْ | إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ الْمُتَّصِلْ |
Artinya:
“Dalam keadaan ikhtiar (boleh memilih), tidak boleh mendatangkan dhamīr munfashil bila mudah mendatangkan dhamīr muttashil:
Contohnya: (هُوَ أَعْلَمَنِيْ) = (هُوَ أَعْلَمَ إِيَّايَ) tidak boleh.
Bait # 64
وَ صِلْ أَوِ افْصِلْ هَاءَ سَلْنِيْهِ وَ مَا | أَشْبَهَهُ فِيْ كُنْتُهُ الْخُلْفُ انْتَمَى |
Artinya:
“Kamu boleh me–washal–kan atau memisahkan kepada hā’-nya lafazh (سَلْنِيْهِ) dan lafazh-lafazh yang menyerupainya (yaitu setiap fi‘il yang mempunyai 2 maf‘ūl serta dhamīr muttashil semuanya dan fi‘il itu bukan fi‘il nawāshib (kāna, zhanna dan akhwāt-nya) dan harus mendahulukan dhamīr yang lebih khash, seperti lafazh (سَلْنِيْهِ) boleh dibaca: (سَلْنِيْ إِيَّاهُ) dan dalam lafazh (كُنْتُهُ) pantas berbeda (sebab lafazh kāna).”
Maksudnya:
Bilamana kāna dan akhwāt-nya yaitu fi‘il-fi‘il nawāsikh-ibtida’ mempunyai isim dan khabar-nya terdiri dari isim dhamīr semuanya serta isim dhamīr yang menjadi isim-nya lebih khas, seperti dalam contoh tersebut dan dalam keadaan ikhtiar, maka masalahnya Khilāfiyyah, di mana sebagian Ulama mewajibkan ittishāl dan sebagian lagi mewajibakan infishāl, seperti (كُنْتُهُ) atau (كُنْتُ إِيَّاهُ), (ظَنَنْتُهُ) atau (ظَنَنْتُ إِيَّاهُ).
Bait # 65.
كَذَاكَ خِلْتَنِيْهِ وَ اتِّصَالًا | أَخْتَارُ غَيْرِي اخْتَارَ الْاِنْفِصَالَا |
Artinya:
“Demikian seperti lafazh (كُنْتُهُ) saja, yaitu lafazh (خِلْتَنِيْهِ) “yaitu fi‘il nawāsikh dari akhwāt zhanna/yang ber-maf‘ūl dua) seperti: (ظَنَنْتُكَ إِيَّاهُ/ظَنَنْتُكَهُ) Aku memilih ittishāl, sedangkan selainku memilih infishāl.”
Bait # 66.
وَ قَدِّمِ الْأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ | وَ قَدِّمَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ |
Artinya:
“Harus mendahulukan kamu kepada dhamīr yang lebih khash dalam keadaan ittishāl (seperti contoh di atas) dan boleh mendahulukan dhamīr yang kamu kehendaki dalam keadaan infishāl”.
Seperti: (ظَنْنْتُكَ إِيَّاهُ/ظَنَنْتُهُ إِيَّاكَ) Sebagaimana telah diterangkan, bahwa dhamīr yang paling khash, ialah mutakallim, khithāb dan ghaib.
Bait # 67.
وَ فِي اتِّحَادِ الرُّتْبَةِ الْزَمْ فَصْلَا | وَ قَدْ يُبِيْحُ الْغَيْبُ فِيْهِ وَصْلَا |
Artinya:
“Bila bertemu dua dhamīr serta sama derajatnya, maka mesti dipisahkan (seperti: ظَنْنْتُكَ إِيَّاكَ/ظَنَنْتُهُ إِيَّاهُ). Dan kadang-kadang membolehkan dhamīr ghaib ketika itu (bertemu dua dhamīr), akan washal”. (Akan tetapi dengan syarat harus berbeda dalam mufrad dan tasniyyah-nya, seperti:
الزَّيْدَانِ الدِّرْهَمَ أَعْطَيْتُهُمَا، الزَّيْدُوْنَ الدِّرْهَمَ أَعْطَيْتُهُمْ.
Perlu diingat, bahwa di antara macam-macam dhamīr, ialah yā’ mutakallim yang suka menempel pada isim, fi‘il dan ḥarf (huruf). Bila menempel pada fi‘il, ialah sbb:
Bait # 68.
وَ قَبْلَ يَا الْنَّفْسِ مَعَ الْفِعْلِ الْتُزِمْ | نُوْنُ وِقَايَةٍ وَ لَيْسِيْ قَدْ نُظِمْ |
Artinya:
“Sebelum yā’ dhamīr mutakallim serta fi‘il apa saja, dimestikan memakai nūn wiqāyah (yaitu untuk menjaga dari kasrah-nya huruf akhir fi‘il itu), seperti (هِيَ سَأَلَتْنِيْ، هُوَ عَرَفَنِيْ.), adapun lafazh (لَيْسِيْ) kadang-kadang di-nazham-kan.”
Nūn wiqāyah yang menempel pada ḥarf (huruf), yaitu dalam 8 ḥarf (huruf), yaitu, sbb:
Bait # 69-70.
وَ لَيْتَنِيْ فَشَا وَ لَيْتِيْ نَدَرَا | وَ مَعْ لَعَلَّ اعْكِسْ وَ كُنْ مُخَيَّرًا |
فِي الْبَاقِيَاتِ وَ اضْطِرَارًا خَفَّفَا | مِنِّيْ وَ عَنِّيْ بَعْضُ مَنْ قَدْ سَلَفَا |
Artinya:
“Adapun lafazh (لَيْتَنِيْ) (yaitu – laita – yang ber-nūn wiqāyah), adalah masyhur dan lafazh – laitī – (tanpa nūn) adalah jarang. Dan lafazh – la‘alla – harus membolehkan kamu (yaitu kebanyakan tanpa nūn wiqāyah), seperti: (لَعَلِّيْ). Dan kamu dipersilakan memilih antara memakai nūn atau tidak pada ḥarf-ḥarf sesisanya dari tadi (yaitu lafazh-lafazh): (لكِنَّ، كَأَنَّ، أَنَّ، إِنَّ.). Contohnya: (إِنِّيْ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ الْوَاحِدُ.) dan telah meringankan orang-orang zaman dahulu kepada lafazh (مِنِّيْ وَ عَنِّيْ) dibaca (مِنِيْ، عَنِيْ.) karena ada darurat.”
Penjelasan: Adapun sebab-sebabnya nūn wiqāyah itu suka menempel pada ḥarf, karena arti ḥarf itu menyerupai fi‘il, seperti (لَيْتَ) sama dengan (أَتَمَنِّيْ), (لَعَلَّ) sama dengan (أَتَرَجِّيْ), (كَأَنَّ) sama dengan (أَشْتَبِهُ), (لكِنَّ) sama dengan (اَسْتَدْرِكُ); Lafazh inna dan anna dalam ‘amal-nya menyerupai fi‘il muta‘addi, yaitu me-rafa‘-kan dan me-nashab-kan kepada isim lain.
Nūn Wiqāyah menempel pada isim.
Bait # 71.
وَ فِيْ لَدُنِّيْ لَدُنِيْ قَلَّ وَ فِيْ | قَدْنِي وَ قَطْنِي الْحَذْفُ أَيْضًا قَدْ يَفِيْ |
Artinya:
“Dan pada lafazh (لَدُنِّيْ) dibaca (لَدُنِيْ) sedikit dan pada lafazh (قَدْنِي) dan (قَطْنِي) membuang nūn wiqāyah itu kadang-kadang terpenuhi.”
Maksudnya: