إِسْمُ الْمَوْصُوْلِ
Isim ma‘rifat yang keempat, ialah isim maushūl.
Maushūl itu terbagi dua bagian, yaitu ḥarfī dan ismī.
1:1. An Mashdariyyah, seperti:
أَنْ أَقِمْ!؛ عَجِبْتُ مِنْ أَنْ قَامَ زَيْدٌ.
Takdirnya: (مِنْ قِيَامِ زَيْدٍ).
1:2. Anna taukīd, seperti: (عَجِبْتُ مِنْ أَنَّ زَيْدًا قَائِمٌ).
1:3. Kai seperti: (جِئْتُ لِكَيْ تُكْرِمَ شَيْخَنَا)
1:4:1. Mā Mashdariyyah Zharfiyyah, seperti: (لَا أَصْحَبُكَ مَا دُمْتَ بَخِيْلًا.)
1:4:2. Mā Mashdariyyah bukan Zharfiyyah, seperti:
عَجِبْتُ مِمَّا ضَرَبْتَ زَيْدًا.
atau
لَا أَصْحَبُكَ مَا يَقُوْمُ زَيْدٌ.
atau
عَجِبْتُ مِمَّا زَيْدٌ قَائِمٌ.
1:5. Lau, seperti:
وَدِدْتُ لَوْ يَقُوْمُ زَيْدٌ، وَدِدْتُ لَوْ قَامَ زَيْدٌ.
Bait # 88
مَوْصُوْلُ الْأَسْمَاءِ الَّذِيْ الْأُنْثَى الَّتِيْ | وَ الْيَا إِذَا مَا ثُنِّيَا لَا تُثْبِتِ |
Artinya:
“Adapun isim maushūl, ialah (الَّذِيْ) (untuk mufrad mudzakkar, seperti (هذَا الَّذِيْ عَلَّمَنِيْ) dan (الَّتِيْ) (untuk mufrad mu’annats, seperti (جَاءَتِ الَّتِيْ عَرَّفْتُهَا) dan kamu jangan menetapkan – yā’ – bilamana di-tatsniyyah-kan.” (buang yā’-nya) lalu masuki alamat tatsniyah, sebagaimana diterangkan dalam Bait ini:
Bait # 89
بَلْ مَا تَلِيْهِ أَوْلِهِ الْعَلَامَهْ | وَ النُّوْنُ إِنْ تُشْدَدْ فَلَا مَلَامَهْ |
Artinya:
“Bahkan menyambungkan kamu akan huruf yang diiringinya (yaitu dzāl dan tā’) akan alamat tatsniyah, jadi: (اللَّتَانِ، الَّذَانِ) dan nūn tatsniyah kalau di-tasydīd-kan tidak tercela (boleh di-tasydīd-kan)”, seperti:
جَاءَتِ اللَّتَانِّ نَصَرَتَا، جَاءَ الَّذَانِّ نَصَرَا.
Bait # 90
وَ النُّوْنُ مِنْ ذَيْنِ وَ تَيْنِ شُدِّدَا | أَيْضًا وَ تَعْوِيْضٌ بِذَاكَ قُصِدَا |
Artinya:
“Adapun nūn dari lafazh (ذَيْنِ) dan (تَيْنِ) (yaitu isim tatsniyah), maka tasydīd-kan pula (jadi: تَيَنِّ، ذَيَنِّ). Dan dimaksudkan dengan adanya tasydīd itu untuk menggantikan.” (Yaitu menggantikan: alif, asalnya: تَا، ذَا). Dan tasydīd dalam isim maushūl tatsniyah sebagai pengganti dari – yā’ – yang dibuang, sebab asalnya: (الَّذِيْ) lalu dibuang yā’, jadi (الَّذ) lalu diberi alamat tatsniyah, jadi (الَّذَانِ) demikian (اللَّتَانِ).
Adapun dalam isim isyārah adalah pengganti dari alif-nya, asalnya (تَا، ذَا) lalu dibuang alif-nya, lalu diberi alamat tatsniyah, jadi (تَانِ، ذَانِ).
Bait # 91
جَمْعُ الَّذِي الْأُولَى الَّذِيْنَ مُطْلَقَا | وَ بَعْضُهُمْ بـِالْوَاوِ رَفْعًا نَطَقَا |
Artinya:
“Jama‘ lafazh (الَّذِيْ) ialah (الْأُولَى) dan (الَّذِيْنَ) serta mutlak (yaitu untuk i‘rāb rafa‘, nashab, dan jarr-nya sama saja, seperti:
جَاءَ الْأُولَى عَلِمُوْا، جَاءَ الَّذِيْنَ عَلِمُوْا
مَرَرْتُ بِالَّذِيْنَ عَلِمُوَا، مَرَرْتُ بِالْأُلَى عَلِمُوْا
رَأَيْتُ الَّذِيْنَ عَلِمُوْا، رَأَيْتُ الْأُلَى عَلِمُوْا.
Dan sebagian ‘Ulamā’ mengucapkan dengan wāu pada rafa‘-nya”, seperti: (جَاءَ الَّذُوْنَ عَلِمُوْا)
Bait # 92
باللَّاتِ وَ اللَّاءِ الَّتِيْ قَدْ جُمِعَا | وَ اللَّاءِ كَالَّذِيْنَ نَزْرًا وَقَعَا |
Artinya:
“Adapun lafazah (الَّتِيْ) itu sungguh di-jama‘-kan kepada (اللَّاتِ) (tanpa yā’ atau memakai yā’, jadi (اللَّاتِيْ) dan (اللَّاتِ) tanpa yā’ atau (اللَّاتِيْ) seperti:
جَاءَتِ اللَّاتِ تَعَلَّمْنَ
atau
جَاءَتِ اللَّاءِ تَعَلَّمْنَ
atau
جَاءَتِ اللَّاتِيْ تَعَلَّمْنَ
Adapun lafazh (اللَّاءِ) kadang-kadang suka datang seperti (الَّذِيْنَ) (yaitu lafazh اللَّاءِ untuk jama‘ madzakkar.” seperti (جَاءَ اللَّاءِ تَعَلَّمُوْا).
Isim-isim maushūl yang mutlak untuk mufrad, tatsniyah dan jama‘:
Bait # 93
وَ مَنْ وَ مَا وَ أَلْ تُسَاوِيْ مَا ذُكِرْ | وَ هكَذَا ذُوْ عِنْدَ طَيِّئٍ شُهِرْ |
Artinya:
“Adapun lafazh man, mā dan alif-lām, menyerupai kepada semua lafazh maushūl yang telah diterangkan tadi dengan mutlak (seperti Contoh:
جَاءَتْ مَنْ قُمْنَ، جَاءَ مَنْ قَامُوْا، جَاءَ مَنْ قَامَ/قَامَتْ، فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ،
جَاءَنِي الْقَائِمُ/الْقَائِمَةُ.
Demikian pula lafazh – dzū – menurut orang-orang Thā’ī sungguh dimasyhurkan seperti man dsb.”
Kecuali itu biasanya lafazh man untuk mudzakkar yang berakal dan mā untuk mu’annats.
Bait # 94
وَ كَالَّتِيْ أَيْضًا لَدَيْهِمْ ذَاتُ | وَ مَوْضِعَ اللَّاتِيْ أَتَى ذَوَاتُ |
Artinya:
“Dan menurut orang-orang Thā’ī, lafazh (ذَاتِ) seperti (الَّتِيْ) (yaitu untuk mufrad mu’annats, seperti: (جَاءَتْ ذَاتُ قَامَتْ) dan pada tempat (اللَّاتِ) (yaitu jama‘ mu’annats sālim) datang pula lafazh (ذَوَاتُ) seperti: (جَاءَتْ ذَوَاتُ تَعَلَّمْنَ.).
Bait # 95
وَ مِثْلُ مَا ذَا بَعْدَ مَا اسْتِفْهَامِ | أَوْ مَنْ إِذَا لَمْ تُلْغَ فِي الْكَلَامِ |
Artinya:
“Adapun lafazh (ذَا) (yaitu isim isyārah) yang berada sesudah (مَا) istifhām adalah seperti (مَا) saja dalam penggunaannya (seperti مَا عِنْدَكَ) atau seperti (مَنْ) saja, bila tidak dinganggurkan (tidak mulgha) dalam kalām.”
Maksudnya:
Bila lafazh (مَا) dan (مَنْ) itu dianggap bukan satu kesatuan kalimah yakni dianggap masing-masing seperti lafazh: (مَنْ ذَا ضَرَبْتَ، أَزَيْدٌ أَمْ عَمْرٌو). Maka kalau lafazh (زَيْدٌ) di-rafa‘-kan, maka lafazh (ذَا)-nya tidak nganggur (tidak mulgha) melainkan menjadi khabar dan lafazh (مَنْ) (maushūl) menjadi mubtada-nya atau lafazh (زَيْدٌ) jadi badal dari lafazh (مَنْ). Kalau lafazh (زَيْدٌ) di-nashab-kan seperti (مَنْ ضَرَبْتَ أَزَيْدًا أَمْ عَمْرًا.) maka (ذَا)-nya menjadi mulgha, sebab lafazh man menjadi maf‘ūl muqaddam dari lafazh (ضَرَبْتَ) dan lafazh (زَيْدًا) jadi badal dari lafazh (مَنْ).
Bait # 96
وَ كُلُّهَا يَلْزَمُ بَعْدَهُ صِلَهْ | عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقٍ مُشْتَمِلَهْ |
Artinya:
“Adapun semua isim maushūl (dan ḥarf maushūl) sesudahnya itu harus memakai shillah (penghubung) dengan dhamīr yang kembali kepadanya (yang disebut: marji‘ dhamīr) yang seimbang (dengan maushūl-nya pada mufrad-nya, tatsniyah-nya, jama‘-nya, mudzakkar dan mu’annats-nya) yang meliputi.”
seperti:
(جَاءَ الَّذِيْ ضَرَبْتُهُ، جَاءَتِ الَّتِيْ عَرَّفْتُهَا) lafazh (هُ) dalam (ضَرَبْتُهُ), adalah dhamīr yang kembali kepada (الَّذِيْ).
(جَاءَنِي الَّذِيْنَ عَلَّمْتُهُمْ) lafazh (هُمْ) dhamīr yang ‘ā’id-nya kepada (الَّذِيْنَ).
(جَاءَتْنِي الَّتِيْ نَصَرْتُهَا) lafazh (هَا) dhamīr yang ‘ā’id-nya kepada (الَّتِيْ).
Perlu diketahui, bahwa isim maushūl itu dengan melihat kepada shillah-nya terbagi dua, yaitu:
Bait # 97
وَ جُمْلَةٌ أَوْ شِبْهُهَا الَّذِيْ وُصِلَ | بِهِ كَمَنْ عِنْدِي الَّذِيْ ابْنُهُ كُفِلْ |
Artinya:
“(1). Adapun lafazh-lafazh yang dipakai shillah maushūl itu adakalanya terdiri dari jumlah (ismiyyah atau fi‘liyyah) atau syibih jumlah (yaitu zharaf atau jarr-majrūr), seperti: (مَنْ عِنْدِي الَّذِيْ ابْنُهُ كُفِلَ) = Siapa yang berada dekat saya yang anaknya itu diangkat?”. (Takdirnya: مَنِ اسْتَقَرَّ عِنْدِيْ) Ini contoh shillah dengan syibih jumlah yaitu zharaf lafazh (عِنْدِيْ) yang menyimpan lafazh (اسْتَقَرَّ) dan shillah-nya ialah dhamīr yang ada dalam lafazh (اسْتَقَرَّ).
Contoh jumlah ismiyyah, seperti: (جَاءَ الَّذِيْ كِتَابُهُ جَدِيْدٌ).
Contoh jumlah fi‘liyyah, seperti: (جَاءَ الَّذِيْ عَرَفْتُهُ أَمْسِ).
Perlu diketahui, bahwa membikin shillah dengan jumlah syaratnya tiga:
3. Tidak boleh dengan kalimah yang mempunyai dhamīr yang lain lagi, seperti: (جَاءَ الَّذِيْ لكِنَّهُ قَائِمٌ), sebab kalimah itu membutuhkan kalimah lain sebelumnya.