بَابُ الْعَلَمِ
BAB ‘ALAM
Isim ma‘rifat yang kedua, ialah ‘alam. ‘Alam itu ada ‘alam khash dan ‘alam jins.
Bait # 72
اسْمٌ يُعَيِّنُ الْمُسَمَّى مُطْلَقَا | عَلَمُـــهُ كَجَعْـــفَرٍ وَ خِـرْنِقَا |
Artinya:
“Adapun isim yang menentukan sesuatu barang yang diberi nama dengan mutlak, itulah ‘alam namanya, seperti: Ja‘far, nama laki-laki, Khirniq, nama wanita.”
Penjelasan:
Bait # 73
وَ قَــرَنٍ وَ عَـدَنٍ وَ لَاحِقٍ | وَ شَذْقَمٍ وَ هَيْلَةٍ وَ وَاشِقِ |
Artinya:
“Dan lafazh Qaran (nama suku Bangsa), ‘Adan (nama negara), Lāḥiq (nama kuda), Syadzqam (nama unta), Hailah (nama Kambing), Wāsyiq (nama anjing) kesemuanya itu ‘alam syakhs.”
Kemudian ‘alam syakhs itu atas 3 macam, ialah:
Bait # 74
وَ اسْمًا أَتَى وَ كُنْـيَةً وَ لَـقَبَا | وَ أَخِّرَنْ ذَا إِنْ سِوَاهُ صَحِبَا |
Artinya:
“Dan datangnya ‘alam itu dengan isim khash (nama orang), dengan kunyah (yaitu nama yang dimulai dengan Abū atau Ummu dan ‘alam laqab (telahan/julukan), baik menunjukkan pujian atau celaan, seperti: Siddīq, atau Anf-un-Nāqah = hidung unta dsb.) akhirkanlah ‘alam laqab ini, kalau bersamaan dengan ‘alam lainnya.”
Seperti:
جَاءَ عَبْدُ اللهِ، أَبُوْ حَامِدٍ، شَمْسُ الدِّيْنِ،
جَاءَ مُحَمَّدٌ، أَبُوْ مُوْسَى، زَيْنُ الدِيْنِ.
Bait # 75
وَ إِنْ يَكُوْنَا مُفْرَدَيْنِ فَأَضِفْ | حَتْمًـا وَ إِلَّا أَتْبِعِ الَّذِيْ رَدِفْ |
Artinya:
“Kalau ada isim syakhs dan laqab itu mufrad semuanya (artinya: tidak di-idhāfah-kan), maka mestilah kamu meng-idhāfah-kannya isim syakhs itu kepada laqab (seperti): (هذَا سَعِيْدُ كُرْزٍ.) Kalau tidak mufrad semuanya, maka ikutkanlah (‘alam laqab itu) kepada ‘alam yang diikutinya.”
Kaedah ini menimbulkan dua pengertian, yaitu:
جَاءَ عَبْدُ اللهِ سَعِيْدُ كُرْزٍ.
جَاءَ أَحْمَدُ شَمْسُ الدِّيْنِ، جَاءَ عَبْدُ اللهِ كُرْزٌ.
‘Alam Syakhs terbagi dua, yaitu murtajāl dan manqūl.
Bait # 76
وَ مِنْهُ مَنْقُوْلٌ كَفَضْلٍ وَ أَسَدْ | وَ ذُو ارْتِجَالٍ كَسُعَادَ وَ أُدَدْ |
Artinya:
“Dari sebagian ‘alam ada yang dapat memindahkan dari kalimah yang sudah biasa dipakai perkataan (seperti: Aḥmad, Maḥmūd, dsb. ‘Alam ini disebut: manqūl). Dan yang kedua ‘alam dzurtijāl (murtajāl) yaitu yang terdiri dari kalimah yang belum dipakai perkataan, seperti: Su‘ād, Udad, Yūsuf, Ibrāhīm, Yūnus, dsb.)”
‘Alam Manqūl dari kalimah jumlah.
Bait # 77
وَ جُمْلَةٌ وَ مَا بِمَزْجٍ رُكِّبَا | ذَا إنْ بِغَيْرِ وَيْهِ تَمَّ أُعْرِبَا |
Artinya:
“Adapun ‘alam manqūl yang dibikin dari kalimah jumlah (ismiyyah atau fi‘liyyah) seperti: (بَرِقَ نَحْرُهُ، مُحَمَّدٌ صَادِقٌ) dan ‘alam tarkīb majzi seperti: (وَيْهِ), maka harus di-i‘rāb-kan (seperti di-i‘rāb-kannya isim ghair munsharif.”
Maksudnya:
(1). ‘Alam manqūl dari kalimah jumlah fi‘liyyah, seperti: (بَرِقَ نَحْرُهُ) yaitu dari fi‘il dan fā‘il-nya dari jumlah ismiyyah, seperti: (مُحَمَّدٌ صَادِقٌ) harus di-i‘rāb-kan dengan di-taqdīr-kan kepada huruf akhirnya, hanya tercegah lahirnya i‘rāb, sebab isytighāl-ul-maḥāl. (Demikian kata Syaikh Ibnu Ḥamdūn).
(2). ‘Alam dari tarkīb majzī, seperti: (مَعْدِيْكَرِبَا) asalnya (مَعْدِيْ) dan (كَرِبَا).
Adapun arti tarkīb majzi, ialah:
كُلُّ كَلِمَتَيْنِ نُزِلَتِ الثَّانِيَةُ مِنْهُمَا مَنْزِلَةَ هَاءِ التَّأْنِيْثِ فِيْ أَنَّ آخِرَ مَا قَبْلَ كُلٍّ لَا يَكُوْنُ إِلَّا مَفْتُوْحًا. (اهــــ ابن حمدون ص: 62 – 1)
Artinya:
“Setiap dua kalimah yang ditempatkan kalimah yang keduanya pada tempat hā’ ta’nīts pada keadaan di mana sesungguhnya akhir kalimah yang sebenarnya tiada lain kecuali harus di-fatḥah-kan.”
(3). ‘Alam tarkīb majzī yang diakhiri dengan lafazh (وَيْهِ) seperti (سِيْبَوَيْهٍ) untuk selamanya harus di-mabnī-kan kepada kasrah, sebab lafazh (وَيْهٍ) itu asalnya isim fi‘il yang mabnī kasrah. (Demikian kata Syaikh Ibnu Ḥamdūn).
Isim ‘alam dari idhāfah.
Bait # 78
وَ شَاعَ فِي الْأَعْلَامِ ذُو الْإِضَافَهْ | كَعَـبْدِ شَمْسٍ وَ أَبِيْ قُحَافَهْ |
Artinya:
“Dan sudah masyhur dalam ‘alam-‘alam itu ada ‘alam yang terdiri dari kalimah idhāfat, seperti: ‘Abdu Syamsin, Abū Quḥāfah, ‘Abdullāh dan sebagainya.”
Bait # 79
وَ وَضَعُوْا لِبَعْضِ الْأَجْنَاسِ عَلَمْ | كَعَلَم الْأَشْخَاصِ لَفْــظًا وَهْوَ عَمْ |
Artinya:
“Dan suka menempatkan orang ‘Arab bagi sebagian jins hewan tertentu dengan ‘alam (nama), yaitu ‘alam jins (seperti kepada harimau, kucing, keledai, dsb.). Keadaannya seperti ‘alam syakhs saja mengenai lafazhnya, akan tetapi mengenai tujuannya bersifat umum (nakirah)”, karena setiap yang sejenis boleh dinamai dengan yang biasa disebutkan kepadanya, seperti Ummu ‘Iryath untuk kalajengking.
‘Alam Jins terbagi dua:
Bait # 80
مِنْ ذَاكَ أُمُّ عِرْيَطٍ لِلْعَقْرَبِ | وَ هكَذَا ثُعَالَةٌ لِلْثَّعْلَبِ |
Artinya:
“Dan sebagian contohnya yaitu: Ummu ‘Iryath bagi kalajengking dan demikian pula Tsu‘ālah bagi kambing hutan.”
Demikian isim jins bagi hewan. Dan kemudian bagi jins orang:
Bait # 81
وَ مِثْلُـهُ بَرَّةُ لِلْمَبَرَّهْ | كَذَا فَجَارِ عَلَمٌ لِلْفَجَرَهْ |
Artinya:
“Dan seperti ‘alam jins tersebut di atas, lafazh (بَرَّةٌ) bagi (مَبَرَّةٌ) = orang yang selalu berbuat kebajikan dan (فَجَارِ) bagi (فَجَرَة) = orang yang selalu berbuat dosa.”
Keterangan:
Lafazh – fajāri – ini selamanya di-kasrah-kan akhirnya, sebab menyerupai lafazh – nazāli = isim fi‘il.