Rahasia di Balik Hal – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 008 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Dinashabkan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik Ḥāl

 

بَابُ الْحَالِ

الْحَالُ هُوَ الْاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الْمُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الْهَيْئَاتِ نَحْوُ قَوْلِكَ جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا وَ رَكِبْتُ الْفَرْسَ مُسَرَّجًا وَ لَقَيْتُ عَبْدَ اللهِ رَاكِبًا وَ أَشْبَهَ ذلِكَ

وَ لَا يَكُوْنُ الْحَالُ إِلَّا نَكِرَةً وَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ وَ لَا يَكُوْنُ صَاحِبُهَا إِلَّا مَعْرِفَةً

Ḥāl adalah isim yang dibaca nashab, yang menjelaskan kesamaran di antara beberapa hai’at (keadaan, cara). Seperti ucapan anda: Jā’a zaidun rākiban, rakibt-ul-farasa musrijan, laqautu ‘abdallāhi rākiban, dan contoh-contoh yang serupa.

(Suatu isim) tidak bisa menjadi ḥāl, kecuali berupa isim nakirah. Ḥāl tidak bisa dibuat kecuali setalah sempurnanya kalām. Dan (suatu isim) tidak bisa menjadi shāḥib-ul-ḥāl (pemilik ḥāl) kecuali berupa isim ma‘rifat.

Ḥāl menurut kalangan kaum sufi adalah kilasan karunia spiritual (wārid) yang datang memasuki hati, berupa penyingkapan rahasia-rahasia Dzat beserta cahaya-cahayaNya. Karenanya jiwa tercengang, menerawang tak tentu arah, dan merasakan kemabukan. Itu bisa terlihat pada tampilan anggota-anggota tubuh zhāhir, kepalanya bergetar dan badan terhempas. Keadaan ini dikatakan sebagai wajd. Terkadang pelakunya terperosok ke tempat-tempat mematikan, dan dia tidak menyadarinya.

Diceritakan bahwa asy-Syibli terbawa arus ḥāl di tempat yang banyak pohon bambunya. Di sana terdapat sisa-sisa pohon bambu yang sudah ditebang. Dia berdiri, menginjakkan kaki di atasnya. Maka sisa bambu ini menancap di kakinya sehingga dia wafat karenanya. Dan masih banyak di antara kaum sufi yang mati karena dorongan arus ḥāl.

Syaikh Abū Madyan r.a. mengisyaratkan sebagian di antaranya dengan berkata:

Maka katakan,
Kepada orang yang melarang wajd, pada pelakunya
Bila kamu belum merasakan
Makna minuman keras kecintaan
Maka tinggalkan kami
Ketika jiwa-jiwa tergetar
Karena rindu untuk bertemu, maka
Perwujudan-perwujudan tampak menari-nari.

Wahai orang yang tak tahu makna,
Jika kamu tidak melihat burung yang bersangkar,
Wahai anak muda,
Ketika dia ingat tempat-tempat tinggalnya
Maka dia rindu pada pendendang siulan
Yang melonggarkan, dengan nadanya,
Beban kerinduan dalam hati.

Maka anggota-anggota tubuh bergejolak
Di dalam rasa maupun makna
Dia menari-nari dalam sangkar
Karena rindu untuk bertemu
Para pemilik akal bersuka cita
Ketika burung ini bersiul

Begitu juga, jiwa-jiwa para pecinta,
Wahai anak muda,
Mereka bergejolak, oleh kerinduan-kerinduan
Terhadap semesta berkilauan
Apakah kita menunggunya dengan sabar,
Padahal Dia yang terindukan.
Apakah mampu tetap bersabar
Orang yang telah menyaksikan makna

Maka wahai pendendang, pengasik cinta
Beridirilah, bermabuklah dengan tegak
Bergerumuhlah karena kami
Dengan nama Yang Tercinta
Senangkan kami
Jagalah rahasia kami
Dalam kemabukan kami
Dari pendengki kami.

Jika kedua matamu ingkarkan sesuatu
Maka toleranlah pada kami
Karena ketika kami tenteram
Hati-hati kami
Dan kami bermabukan
Dengan bertuak kecintaan sangat
Maka kami terkoyak.

Jangan mencela sang pemabuk
Dalam kemabukannya
Karena beban taklif dihilangkan dari kami
Dalam kemabukan kami.

Setelah ḥāl dan maqām, yang ada adalah diam dan tenang, dengan keluar dari kemabukan (sukr) menuju ketakmabukan (shahwu). Maka jiwa merasa tenang dan tenteram dalam maqam musyahadah di Tempat Duduk Kebenaran (maq‘ad shidq) di hadapan Sang Maharaja yang Maha Berkuasa (al-Muqtadir). Dalam maqam ini, ditanyakan kepada al-Junaid: “Apa yang terjadi dengan anda? Dulu anda bergerak dan menari saat pergelaran konser spiritual (sama‘). Namun hari ini, tidak tampak satu pun dari hal-hal itu.”

Maka dia membawa ayat: Dan kamu melihat gunung-gunung, kamu anggap mereka diam. Padahal mereka berjalan bagaikan perjalanan awan. (an-Naml [27]: 88).

Di antara mereka ada yang tetap berada dalam ḥāl setelah kemapanannya dalam syuhūd. Maka dia menjadi al-Quthb dalam aḥwāl, sebagaimana penjelasan kami terdahulu tentang al-Bisthami. Hanya saja pencapai maqām layak untuk diikuti dan memberi petunjuk, berbeda dengan pencapai aḥwāl. Pencapai aḥwāl tidak bisa dijadikan panutan dalam kemabukannya. Sedikit sekali orang yang berhasil di bawah petunjuknya karena sulitnya model pengajarannya, sebagaimana kondisi Abusy-Syita’ al-Khammar. Diceritakan bahwa dia mengikat murid dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, lalu menyalakan api di bawahnya.

Permulaan perjalanan adalah ilmu pengetahuan, lalu tindakan nyata, ḥāl yaitu merasakan, kemudian minum, mabuk, dan akhirnya maqām, yaitu shahwu.

Dikatakan bahwa aḥwāl merupakan karunia-karunia pemberian, sedang maqām-maqām bisa diusahakan dengan mendahulukan aḥwāl. Seakan-akan maqām merupakan buah-buah hasilnya. Sedang keberadaan aḥwāl sebagai karunia-karunia pemberian adalah setelah adanya langkah untuk mencapainya, seperti menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan gejolak nafsu pribadi, serta menghadiri kalangan perkumpulan zikir dan konser spiritual disertai kekosongan bathin dari halangan-halangannya.

Aḥwāl terkadang berupa kegelapan, gejolak nafsani, dan rekayasa setani. Orang-orang lalai kadang menjadi jadzab, sehingga mereka menghabiskan siang dan malam dengan terfokus pada kelalaian mereka, hilang dari rasa keberadaan diri mereka.

Aḥwāl ke-Tuhan-an adalah aḥwāl yang timbul dari zikir Allah, dari hati-hati yang terterangi, dan dari mendengarkan ḥāl-ḥāl yang menggerakkan menuju al-Ḥadhrat Allah. Namun terkadang juga bisa timbul dari mendengarkan kelalaian. Bila dia seorang ‘ārif maka dia mampu mengarahkan dari kebatilan menuju kebenaran. Sebagaimana yang dialami seorang lelaki yang mendengar ucapan penyair:

Ketika 20 Sya‘ban telah lewat
Lanjutkanlah minum-minum malammu
Sampai siang menyapa, dan
Jangan kamu minum
Hanya dengan wadah-wadah kecil
Karena waktu begitu sempit
Jika hanya dengan wadah-wadah kecil.

Mendengar ini, wajahnya menerawang tak tentu arah, dan dia pergi ke Mekkah. Dia tinggal di sana, hidup bertetangga, sampai wafat. Semoga Allah meridhainya.

Dia memhami bahwa umur, ketika sebagian besar sudah terlewatkan maka dekatlah masa ajalnya. Waktu begitu sempit untuk ibadah-ibadah kecil. Maka dia mencari tempat yang di situ terdapat ibadah-ibadah besar. Sehingga dia bisa melipatgandakan amal perbuatan di sana.

Orang ini termasuk ulama mujtahid (baca: syari‘at). Sebab jika dia termasuk orang-orang ‘ārif maka tidak perlu pergi ke Mekkah. Sebab ibadah hati bisa dilipatgandakan dengan penggandaan yang banyak, di mana pun pelaksanaannya. Karena itu, sebagian mereka berkata: “Satu biji atom dari amal-amal perbuatan hati lebih utama daripada amal-amal perbuatan anggota tubuh zhāhir yang bagaikan gunung besarnya.”

Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Satu rakaat dari seorang yang mengenal Allah lebih utama daripada seribu rakaat dari orang yang tidak mengenal Allah.” Mushannif kitab menyebutkan hadits ini dalam kitab al-Jāmi‘.

Selanjutnya, sebaiknya kita kembali pada pembahasan yang kita tuju, yaitu berkaitan dengan pengungkapan isyarat.

Kami berkata: Ḥāl adalah isim berupa sifat (washf) yang merupakan kelebihan (fudhlah), karena merupakan karunia pemberian dan murni anugerah Sang Maha Tegak (al-Muntashib), bagi para murid yang dalam perjalanan spiritual. Dia menaikkannya dari ḥāl satu menuju ḥāl yang lain, dari satu maqām menuju maqām yang lain.

Yang pertama di antara sekian ḥāl adalah karunia kesadaran (intibāh). Dia sadar dari lelapnya keterlenaan dan kesembronoan, menuju ḥāl dengan sungguh-sungguh dan menyingsingkan lengan. Lalu karunia keterjagaan (yaqazhah). Dia terjaga dari tidur kealpaan menuju ḥāl ingat (zikir) yang terus-menerus. Lalu karunia perjalanan ruhani (sair). Dia melepaskan diri dari segala halangan-halangan, untuk memungkinkan tercapainya cahaya-cahaya hakikat atasnya. Lalu karunia pencapaian persatuan (wishāl). Dia keluar dari penjara wujud-wujud semesta (akwān), menuju penyaksian kepada Dzat Pencipta Kejadian (al-Mukawwin).

Ibnu ‘Atha’illāh mengisyaratkan sebagian makna ini dalam al-Ḥikam. Dia berkata: “Allah menyampaikan karunia-karunia spiritual kepadamu untuk membebaskanmu dari penjara wujudmu, menuju limpahan pencapaian syuhūd-mu.”

Ungkapan: “Yang menjelaskan kesamaran dari keadaan-keadaan.”

Maksudnya, dari keadaan-keadaan ruhani manusia-manusia sejati (rijāl) yang tersimpan di kedalaman hati-hati mereka. Apa yang tersimpan dalam hati bisa tampil dalam kenyataan ekspresi-ekspresi zhāhir. Amal-amal perbuatan bermacam-macam jenisnya, karena bermacam-macamnya karunia dorongan aḥwāl. Bila ada orang yang perilaku hidupnya bersih dan sesuai dengan syari‘at Nabi Muhammad s.a.w., maka kita tahu bahwa jiwanya bersih tanpa campuran di dalamnya.

Dan, bila ada orang yang perilaku hidupnya merupakan kegelapan, tidak sesuai dengan syari‘at Nabi Muhammad s.a.w., maka kita tahu bahwa jiwanya merupakan kegelapan yang tidak ada kejernihan di dalamnya. Kejernihan ekspresi zhāhir timbul karena jernihnya jiwa. Ketercampuran ekspresi zhāhir timbul karena ketercampuran jiwa. Wadah-wadah wujud zhāhir tidak akan berbicara kecuali tentang apa yang mengendap diam di dalamnya.

Aḥwāl yang jernih tampak buahnya atas orang yang melakukannya, dorongan ke-Tuhan-an membuahkan aḥwāl yang mulia. Maka akan diikuti zuhud, wara‘, takut (khasyyah), takut disertai hormat (haibah), tabah, tenang, damai, tenteram, tawadhu‘, pemberi, pemurah, serta aḥwāl baik dan kebiasaan suci yang lain.

Sedang dorongan nafsani dan setani diiringi kerasnya hati, keterhinaan, kesombongan, perjajahan pada manusia lain, kecintaan atas dunia dan kedudukan, serta perilaku-perilaku tercela lainnya. Dalam al-Ḥikam disebutkan: “Janganlah kamu memuji karunia dorongan spiritual yang tidak kamu ketahui buahnya. Bukanlah tujuan adanya mendung adalah turunnya hujan. Namun yang dikehendaki adalah adanya buah-buahan.”

Dalam Nazham al-Khulāshah dijelaskan bahwa di antara sifat-sifat ḥāl secara nahwu adalah keadaan yang bisa berubah (intiqāl) dan merupakan kata bentukan (isytiqāq).

Syaikh Ibnu Malik berkata:

وَ كَوْنُهُ مُنْتَقِلاً مُشْتَقًّا يَغْلِبُ لكِنَّ لَيْسَ مُسْتَحِقًّا

“Kebanyakan, keberadaan ḥāl berupa sifat yang bisa berubah dan merupakan kata bentukan. Namun ini bukanlah ketetapan baku.”

Kaum sufi mengatakan: “Keadaan spiritual ruhani dinamakan ḥāl karena keberubah-ubahannya. Ḥāl tidaklah terus bertahan bagi pelakunya. Dia hanya menurunkan hujan-hujan kema‘rifatan dalam hati, ilmu tentang kegaiban-kegaiban, rahasia-rahasia, penyingkapan-penyingkapan, dan cahaya-cahaya. Ketika Allah menitipkan karunia spiritual dalam diri seseorang, maka jangan mengharapkan keberadaannya tetap bertahan. Sebaiknya dia mencukupkan diri dengan pasrah kepada Allah atas segala sesuatunya. Tidak ada yang akan mencukupkanmu dari-Nya.

Dalam al-Ḥikam disebutkan: “Jangan sekali-kali kamu meminta tetapnya karunia dorongan spiritual setelah meluaskan cahaya-cahayanya dan mempercayakan rahasia-rahasianya. Cukuplah bagimu, dalam menemukan Allah, dari kebutuhan akan segala sesuatu. Tidak ada satu pun yang akan mencukupkanmu dari membutuhkan-Nya. Maka jadilah kamu hamba Allah, tanpa memerlukan alasan. Jangan menjadi hamba ḥāl yang bisa lenyap dan tidak mencukupkan.

Adapun makna keterbentukan ḥāl menurut mereka adalah mencari dan berusaha mencapainya, melalui sebab yang akan menggerakkannya; sebagaimana penjelasan terdahulu.

Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *