Rahasia di Balik Zharaf Zaman dan Zharaf Makan – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 008 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Dinashabkan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik Zharaf Zamān dan Zharaf Makān

 

بَابُ ظَرْفِ الزَّمَانِ وَ ظَرْفِ الْمَكَانِ

ظَرْفُ الزَّمَانِ هُوَ اسْمُ الزَّمَانِ الْمَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِيْ نَحْوُ الْيَوْمَ وَ اللَّيْلَةَ وَ غُدْوَةً وَ بُكْرَةً وَ سَحَرًا وَ غَدًا وَ عَتَمَةً وَ صَبَاحًا وَ مَسَاءً وَ أَبَدًا وَ أَمَدًا وَ حِيْنًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

وَ ظَرْفُ الْمَكَانِ هُوَ اسْمُ الْمَكَانِ الْمَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِيْ نَحْوُ أَمَامَ وَ خَلْفَ وَ قُدَّامَ وَ وَرَاءَ وَ فَوْقَ وَ تَحْتَ وَ عِنْدَ وَ مَعَ وَ إِزَاءَ وَ حِذَاءَ وَ تِلْقَاءَ وَ هُنَا وَ ثَمَّ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

Zharaf zamān adalah isim yang menunjukkan waktu, yang di-nashab-kan dengan memperkirakan makna fī (dalam, pada waktu), seperti al-yaum, al-lailah, ghadwah, bukrah, ghadan, ‘atamah, shabāḥan, masā’an, abadan, amadan, dan ḥīnan.

Sementara Zharaf makān adalah isim yang menunjukkan tempat, yang di-nashab-kan dengan memperkirakan makna fī (dalam, berada di), seperti amāma, khalfa, quddama, warā’a, fauqa, taḥta, ‘inda, ma‘a, izā’a, ḥidzā’a, tilqā’a, tsamma, dan hunā. Dan lafazh-lafazh yang menyerupai ini.

Ketahuilah, bahwa wujud-wujud yang tampak, semuanya merupakan tempat (zharaf) dan wadah bagi rahasia-rahasia maknawi. Oleh karena itu, at-Tustari mengungkapkan:

Jangan kamu hanya memperhatikan
Pada wadah-wadah perwujudan
Menceburlah, di kedalaman samudera makna
Barangkali kamu akan bisa melihat keagungan-Ku.

Wadah-wadah perwujudan merupakan citra dari rahasia maknawi. Karena tidak ada penggandaan dalam wujud. Oleh karena itu, dia juga mengungkapkan:

Ucapan-Ku, tersembunyi di balik wadah-wadah wujud itu
Akulah Sang Abadi, di balik segala wadah.

Segala perwujudan semesta, semuanya bagaikan es balok. Tampakan luarnya adalah es yang keras dan di dalamnya tersembunyi air yang cari. Demikian juga alam semesta. Tampakan luarnya adalah wujud berdimensi yang tebal dan di dalamnya tersembunyi rahasia yang lembut. Tampakan luarnya adalah wujud-wujud ciptaan dan hakikatnya adalah rahasia tersembunyi Pencipta Kejadian.

Dalam hal itu, al-Jili r.a. berkata dalam kitabnya, ‘Ainiyyah: “Tidaklah wujud-wujud semesta, dalam persamaannya kecuali seperti bekuan es. Kamu di dalamnya seperti air yang memancar. Dan tiadalah bekuan es itu, dalam penegasan kita, selain esensi airnya saja. Sedang orang-orang selain kita, berada dalam kekangan hukum yang ditimbulkan aturan-aturan.”

Al-Quthb Ibnu Masyīsy r.a. berkata kepada pewarisnya, Abul-Ḥasan: “Wahai Abul-Ḥasan, tajamkanlah mata keimananmu maka kamu akan menemukan Allah ta‘ala dalam segala sesuatu. Di sampingnya. Bersamanya. Sebelumnya. Sesudahnya. Di atasnya. Di bawahnya. Di dekatnya. Meliputi segala-segalanya.”

Yang dimaksud dekat di sini adalah sifat-Nya, dan meliputi adalah karakter-Nya.

“Allah melampaui segala wadah dan penyekat, tempat dan arah, kebersamaan dan kedekatan dalam jarak, serta segala proses rotasi bersama makhluk. Dia melebur segala sesuatu dengan sifat-sifatNya, Maha Awal, dan Maha Akhir serta Maha Zhāhir dan Maha Bāthin. Dia adalah Dia. Dia adalah Allah. Tidak ada satu pun bersama-Nya. Dia saat ini, tetap sebagaimana keberadaan-Nya.”

Ungkapan “Allah melampaui segala wadah.” Maksudnya, melampaui batasan-batasan wadah. Maka jangan kamu berkeyakinan bahwa al-Ḥaqq terwadahi atau terbatasi oleh sesuatu. Karena wadah adalah manifestasi sesuatu yang diwadahi. Sedang Dzat Maha Luhur meratai segala sesuatu, mencakup segalanya, serta melebur wujud seluruhnya. Dalam al-Ḥikam disebutkan: “Bagaimana mungkin, al-Ḥaqq terhijab sesuatu, padahal sesuatu yang menghijab-Nya itu tampak dan ada, hadir, di dalam ada-Nya.”

Ungkapan: “Allah melampaui segala proses rotasi bersama makhluk.” Ketahuilah bahwa rahasia-rahasia halus yang terjaga dalam ketersimpanannya, tidak diragukan lagi mencakup cahaya-cahaya yang dengannya terjadi penyingkapan dan berputar mengitarinya. Namun, ketika rahasia-rahasia itu merupakan substansi dari cahaya-cahaya ini dan tertumpah darinya, maka masing-masing menjadi samudera yang bertemu, utuh dan terpadu. Yang berputar merupakan esensi dari tempat perputarannya.

Oleh karena itu, al-Quthb Ibnu Masyīsy r.a. berkata: “Allah melebur segala sesuatu dengan sifat-sifatNya, Maha Awal dan Maha Akhir, serta Maha Zhāhir dan Maha Bāthin.” Sebab tidak ada satu pun yang keluar dari keempat nama ini. Allah adalah permulaan sekaligus akhir dari segala sesuatu, dan zhāhir dengan segala sesuatu sekaligus tersembunyi di dalamnya.

Ungkapan: “Dia adalah Dia.” Pertama, mengisyaratkan kepada Sang Wujud Pertama yang azali, sebelum penyingkapan. Kedua, mengisyaratkan pada “keadaan”-Nya setelah penyingkapan. Ketiga, pada keadaan-Nya setelah penyingkapan ini, dan menampakkan penyingkapan yang lain. Dia abadi, wujud dan penampakan-Nya. Inilah yang diungkapkan dengan Maha Akhir.

Sebagian kaum ‘ārifīn berkata: “Dalam pengertian ini, al-Ḥaqq ta‘ālā terbebas dari ke-dimana-an, arah, ke-bagaimana-an, jasad fisik, materi, dan aksiden. Karena Allah, dengan kelembutan-Nya mampu melewati segala sesuatu. Karena kecahayaan-Nya mampu tampak dalam segala sesuatu. Karena kemutlakan dan kemencakupan-Nya mampu mem-bagaimana-kan dengan segala bagaimana, tanpa terbatas dengan semua itu.

Orang yang belum bisa merasakan dan menyaksikan hal ini, dia adalah orang yang buta mata hatinya, terhalang dari menyaksikan keagungan al-Ḥaqq ta‘ala. Tidak bisa memahami dan merasakan rahasia-rahasia ini, kecuali orang-orang yang sanggup berinteraksi, menimba pengertian dari manusia-manusia sejati (rijāl), dan menerima rontokan debu dari bawah telapak-telapak kaki mereka. Barang siapa tidak sanggup mencapai semua ini, sebaiknya menurut kepada mereka tentang apa yang mereka rumuskan dan isyaratkan.

Bila kamu tidak melihat hilal
Pasrahlah
Pada orang-orang yang melihatnya
Dengan mata kepala.

Betapa Allah memuliakan Ibn-ul-Farīdh r.a. saat berkata:

Janganlah termasuk orang-orang yang diserobohkan pelajaran-pelajaran
Dengan meremehkan kemampuan akal dan meninggalkannya.
Di sana, di balik kutipan-kutipan,
Ada pengetahuan-pengetahuan halus yang tidak terjangkau
Oleh puncak-puncak pemahaman rasional yang benar.
Kamu menemukan pelajaran ini dariku,
Dan dariku kamu mengambilnya
Sedang diriku terhamparkan, dari pemberian.

Ketika kamu turun menuju alam kebijaksanaan, yaitu alam tasyrī‘ (perundang-undangan), kamu akan menemukan bahwa wadah-wadah berbeda-beda kemuliaan dan keluhurannya, sesuai dengan hal-hal yang diwadahinya. Baik yang berupa bayangan wujud tubuh, waktu, maupun tempat.

Tubuh menjadi agung sesuai kemuliaan jiwa-jiwanya. Apabila jiwa ini ‘ārif billāh, mampu mendapatkan penyingkapan rahasia-rahasia Dzat, maka tubuh yang mewadahinya turut menjadi agung dan mulia. Darinya disalin pengetahuan cahaya-cahaya dan rahasia-rahasia. Dia diharapkan barakahnya semasa hidup maupun setelah matinya. Berjejal-jejal orang di atas kuburnya, dan mengharapkan obat dari debu-debunya.

Bila jiwa itu mengetahui hukum-hukum Allah, maka dia mendapatkan kemuliaan di bawah jiwa yang pertama. Demikian juga bila jiwa itu mengerti, menghafal kitab Allah maka dia mendapat kemuliaan yang setara dengan jiwa yang kedua. Lalu segenap kaum mukminin secara umum. Sedang bila satu jiwa tidak memiliki iman, maka jasadnya bagaikan bangkai yang tidak memiliki kedudukan maupun harga.

Adapun waktu, menjadi agung sesuai kadar kejadian taat dan perbuatan baik di dalamnya. Seperti lailat-ul-qadar, 10 malam terakhir bulan Ramadhan, hari arafah, 10 hari permulaan tahun, hari asyura, dan malam kelahiran Nabi, karena di dalamnya dilahirkan Sang Dipertuan segala wujud.

Zharaf mengikuti mazhrūf dalam kemuliaan dan kebalikannya. Karena itu, seluruh waktu kaum ‘ārifīn bisa menjadi lailat-ul-qadar. Keseluruhan waktu bagi mereka adalah agung, karena mengandung ibadah yang besar, yaitu menyaksikan Sang Kekasih dan dekat dari-Nya.

Mengenai hal ini seorang penyair berkata:

Kalau bukan karena menyaksikan sifat Jamāl-Mu, dalam esensiku,
Aku tidak akan merelakan sesaat dalam kehidupanku
Lailat-ul-qadar tidaklah mulia keadaannya
Kecuali ketika aku semarakkan waktu-waktuku dengan-Mu
Seorang pecinta, ketika sudah mapan dalam cintanya,
Maka cinta tidak membutuhkan batasan waktu.

Yang lain mengatakan:

Setiap malam adalah lailat-ul-qadar
Jika Engkau dekat
Sebagaimana setiap hari perjumpaan
Adalah hari Juma‘at.

Syaikh al-Mursī r.a. berkata: “Kami, alḥamdulillāh, waktu-waktu kami secara keseluruhan adalah lailat-ul-qadar.” Hal ini karena ibadah yang mereka gunakan untuk menyemarakkan waktu-waktu mereka, semuanya merupakan pemikiran, pencarian, i’tibār, penyaksian, dan perenungan hati. Padahal berpikir satu jam lebih utama daripada ibadah 70 tahun, sebagaimana keterangan hadits.

Demikian juga tempat-tempat menjadi agung sesuai kadar ketaatan-ketaatan yang terjadi di dalamnya. Seperti bukit ‘Arafah, tiga masjid utama (Baitullah Mekkah, Baitul Maqdis, dan Masjid Nabawi Madinah), masjid-masjid yang lain, tempat-tempat shalat pribadi, tempat-tempat berkhalwat para waliyullah, serta tempat-tempat sejenis yang dianggap mulia menurut syari‘at.

Bagi kamu ‘Ārifīn, semua tempat bagaikan ‘Arafah, karena tempat-tempat itu menjadi mulia dengan keberadaan mereka, dan menjadi semerbak oleh kehadiran mereka. Dalam hal ini seorang penyair berkata:

Perjalananku menuju-Nya bagaikan ibadah haji
Dengan-Nya, setiap penghentian
Di hadapan pintu Ḥadhrat-Nya
Mengimbangi seribu ibadah haji.

Maksudnya: “Perjalanan menuju-Nya bagaimana ibadah haji. Pencapaian wushūl kepada-Nya dan berhenti di pintu Ḥadhrat-Nya, bagai wuqūf yang mengimbangi seribu wuqūf di ‘Arafah.”

Ini sesuai dengan ucapan penyair lain:

Setiap waktu, ketika berdekatan dengan Kekasihku
Seukuran seribu ibadah haji.

Dan terangkai dalam uluran benang pembahasan ini, pengutamaan sebagian ayat-ayat al-Qur’an atas yang lain. Hal itu dengan memperhatikan kandungan yang ditunjukkannya, yaitu pengagungan ke-Tuhan-an dan penyingkapan hijab-Nya. Demikian juga pengutamaan di antara zikir-zikir, dengan pengertian ini. Juga pengutamaan sebagian shalawat Nabi s.a.w. atas sebagian yang lain dengan memperhatikan kandungan yang ditunjukkan, yaitu pengagungan rasul dan penghormatan kepada beliau, shallallāhu ta‘ālā ‘alaihi wa sallam.

Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *