Rahasia di Balik Mashdar – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 008 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Dinashabkan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik Mashdar

 

بَابُ الْمَصْدَرِ

الْمَصْدَرُ هُوَ الْاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الَّذِيْ يَجِيْءُ ثَالِثًا فِيْ تَصْرِيْفِ الْفِعْلِ نَحْوُ ضَرَبَ يَضْرِبُ ضَرْبًا

وَ هُوَ قِسْمَانِ لَفْظِيٌّ وَ مَعْنَوِيٌّ فَإِنْ وَافَقَ لَفْظَ فِعْلِهِ فَهُوَ لَفْظِيٌّ نَحْوُ قَتَلْتُهُ قَتْلًا وَ إِنْ وَافَقَ مَعْنَى فِعْلِهِ دُوْنَ لَفْظِهِ فَهُوَ مَعْنَوِيٌّ نَحْوُ جَلَسْتُ قُعُوْدًا وَ قُمْتُ وُقُوْفًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

Mashdar adalah isim yang di-nashab-kan dan berada pada posisi ketiga dalam urutan tashrīf (derivasi) fi‘il seperti: dharaba, yadhribu, dharban. Mashdar ada dua macam, yaitu mashdar lafzhi dan mashdar ma‘nawi. Bila lafazh mashdar sesuai dengan lafazh fi‘il-nya maka ia adalah mashdar lafzhi, seperti: qatalahu qatlan. Bila hanya sesuai dengan makna fi‘il-nya, tidak sesuai lafazhnya maka ia adalah mashdar ma‘nawi, seperti: jalastu qu‘ūdan dan qumtu wuqūfan. Dan contoh-contoh yang sejenis.

Mashdar adalah apa yang menampak dari al-Haqq berupa cahaya-cahaya penyingkapan dan rahasia-rahasia Dzat-Nya. Dia di-nashab-kan, ditampakkan berupa perwujudan-perwujudan, agar dengannya Allah bisa dikenal dan disaksikan ada-Nya di dalam keberadaannya.

Seluruh alam ciptaan
Tidak dihadirkan
Semata kamu melihatnya, namun
Agar kamu bisa menguak rahasia
Keagungan Sang Tuan.

Pengarang ‘Ainiyyah berkata: “Sifat-sifatNya, nama, dan atsar, berupa perwujudan semesta merupakan esensi Dzat, dan Allah adalah Dzat yang mencakup.” Dalam kitab ini dia juga berkata: “Dia yang mewujudkan segala sesuatu, dan Dia pula yang mengambilnya. Esensi Dzat segala yang merupakan kumpulan pencakup.”

Mashdar ini berposisi dan tersingkap dari tashrīf fi‘il, tertentu pada urutan ketiga, dalam melaksanakan syariat, tarekat, dan hakikat.

Pada permulaannya, sang diri sibuk dengan aturan syariat, sampai terlatih, tunduk dengan aturannya dan mampu merasakan kenikmatan melaksanakannya. Pada tahap kedua, hati sibuk dengan perilaku-perilaku tarekat, sampai mengosongkan diri dari perilaku-perilaku hina dan berhias diri dengan perilaku-perilaku mulia. Pada tahap ketiga, jiwa sibuk dengan perenungan dalam samudera hakikat-hakikat kesejatian, sampai terus-menerus bersamanya dan menhujamkan telapak kaki dalam menyaksikan cahaya-cahayanya.

Mashdar ini, yang menampak dari wujud-wujud semesta, terbagi menjadi dua:

Kelompok yang rasa maknawinya melebihi rasa wujud indriawinya, sehingga menjadi entitas maknawi, seperti malaikat dan para ‘ārif dari kalangan anak turun Adam;

Kelompok yang rasa wujud indriawinya melebihi rasa maknawinya, seperti benda-benda mati. Disamakan pula dengan kelompok ini, orang yang rasa indriawinya melebihi rasa maknawinya dan gejolak syahwatnya melebihi daya pikirnya, dari kalangan anak turun Adam. Yaitu, orang-orang yang asyik tenggelam dalam kelalaian, yang tekun, mengendap total dalam kesibukan dunia. Maka terhapuslah ketajaman mata hati mereka dan meluaslah perputaran arus rasa indriawi mereka. Mereka terbelenggu, terpenjara dengan lipatan-lipatan pencakupan rasa indriawi mereka, tersekat dalam lingkaran wujud diri mereka. Mari berdoa, mohon perlindungan kepada Allah dari perilaku mereka.

Sebagian kaum ‘ārifīn berkata: Makhluk terbagi menjadi tiga kempolok:

Satu kelompok memiliki akal pikiran, tanpa adanya gejolak syahwat. Yaitu, para malaikat;

Satu kelompok memiliki syahwat, tanpa adanya daya pikiran. Mereka adalah hewan ternak beserta sekian ragam hewan lainnya;

Satu kelompok lagi memiliki syahwat sekaligus akal pikiran. Mereka adalah anak cucu Adam. Bila seseorang, akal pikirannya mengalahkan gejolak syahwatnya maka dia bagaikan malaikat, atau bahkan lebih utama. Bila gejolak syawatnya mengalahkan akal pikirannya maka dia bagaikan hewan, atau bahkan lebih sesat.

Allah tidak akan memuliakan dan mengagungkan keturunan Adam, kecuali dengan perjuangan memerangi nafsu ego pribadinya. Maka barang siapa sanggup memerangi nafsu pribadinya dan mencegah luapan gejolaknya, sampai menguasai dan menundukkanya, dia lebih mulia dari golongan malaikat. Karena malaikat tidak memiliki usaha dan perjuangan memerangi hawa nafsu. Sehingga pencapaian musyāhadah mereka tidak akan mencapai kesempurnaan sebagaimana kesempurnaan keturunan Adam.

Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *