بَابُ الْمَفْعُوْلُ بِهِ
وَهُوَ الْإِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الَّذِيْ يَقَعُ بِهِ الْفِعْلُ نَحْوُ قَوْلِكَ ضَرَبْتُ زَيْدًا وَ رَكِبْتُ الْفَرَسَ وَ هُوَ قِسْمَانِ ظَاهِرٌ وَ مُضْمَرٌ
فَالظَّاهِرُ مَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ وَ الْمُضْمَرُ قِسْمَانِ مُتَّصِلٌ وَ مُنْفَصِلٌ
فَالْمُتَّصِلُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ وَهِيَ ضَرَبَهُ وَ ضَرَبَهُمَا وَ ضَرَبَهُمْ وَ ضَرَبَهَا وَ ضَرَبَهُمَا وَ ضَرَبَهُنَّ وَ ضَرَبَكَ وَ ضَرَبَكُمَا وَ ضَرَبَكُمْ وَ ضَرَبَكِ وَ ضَرَبَكُمَا وَ ضَرَبَكُنَّ وَ ضَرَبَنِيْ وَ ضَرَبَنَا
وَ الْمُنْفَصِلُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ وَهِيَ إِيَّاهُ وَ إِيَّاهُمَا وَ إِيَّاهُمْ وَ إِيَّاهَا وَ إِيَّاهُمَا وَ إِيَّاهُنَّ وَ إٍيَّاكَ وَ إِيَّاكُمَا وَ إِيَّاكُمْ وَ إِيَّاكِ وَ إِيَّاكُمَا وَ إِيَّاكُنَّ وَ إِيَّايَ وَ إِيَّانَا
Maf‘ūl bih adalah isim yang di-nashab-kan yang menjadi objek sasaran perbuatan (fi‘il). Seperti ucapan anda: Dharabtu zaidan dan rakibt-ul-farasa. Maf‘ūl bih ada dua macam, yaitu berupa isim zhahir dan isim mudhmar. Yang berupa isim zhāhir sebagaimana contoh yang terdahulu (baru saja) penuturannya. Sedang yang berupa isim dhamir ada dua bagian, yaitu dhamīr muttashil (melekat) dan munfashil (terpisah).
Yang berupa dhamīr muttashil ada empat belas, yaitu: dharabahu, dharabahumaa, dharabahum, dharabahaa, dharabahumaa, dharabahunna, dharabaka, dharabakumaa, dharabakum, dharabaki, dharabakumaa, dharabakunna, dharabani dan dhrabanaa. Sementara yang berupa dhamīr munfashil juga ada empat belas, yaitu: iyyāhu, iyyāhumā, iyyāhum, iyyāhā, iyyāhumā, iyyāhunna, iyyāka, iyyākumā, iyyākum, iyyāki, iyyākumā, iyyākunna, iyyāya, iyyānā.
Maf‘ūl bih adalah orang yang sudah jelas maqam dan fanā’-nya, serta sempurna maqam baqā’-nya. Bersama Allah, dia telah hilang dari rasa keberadaan diri dan rasa ada perbuatan diri. Dia adalah objek manifestasi perbuatan Allah dalam segala yang dilakukan dan ditinggalkannya. Dia tidak memiliki kemampuan untuk menjabarkan berita tentang diri pribadinya. Tidak ada ikatan tetap baginya bersama selain Allah. Tindakannya dengan kehendak Allah, dan ketiadaan tindakannya juga dengan kehendak Allah.
Bagi orang seperti ini, tidak ada lagi beban timbangan amal perbuatan, dan cercaan tidak bisa ditujukan kepadanya karena dia adalah pengganti Allah dalam perbuatan-Nya. Dia merupakan satu manifestasi esensi di antara manifestasi-manifestasi Esensi-Nya, karena sifat manusiawi sudah tertutup dan terasing dari diri mereka, dengan tampilnya Cahaya Keabadian.
Tentang hal ini, banyak ungkapan yang mengisyaratkannya, di antaranya adalah ungkapan mereka: “Keadaan ruhani sejati adalah ketika kamu menjadi esensi dari Sang Nama”, yaitu esensi dari Dzat yang diberi nama. Serta ungkapan: “Satu esensi di antara esensi-esensi perbuatan Allah telah mengenai kamu.”
Juga ucapan Sayyidina ‘Umar r.a. kepada seorang laki-laki yang dilukainya, direbahkan membujur antara dua bidang papan yang ditancapkan ke tanah: “Allah melakukan hal (luka) itu kepada orang yang dipukul maupun yang disalib.”
Sayyidina ‘Ali karramallāhu wajhah wa radhiyallāhu ta‘ālā ‘anhu berkata, sementara darah mengalir dari luka yang menganga: “Satu esensi di antara esensi-esensi perbuatan Allah telah mengenaimu.”
Ini setelah ‘Ali bertanya kepada ‘Umar tentang sebab terjadinya pemukulan. ‘Umar menjawab: “Aku melihat dia bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Lalu apa yang aku dengar darinya membuatku marah. Maka aku memukulnya.”
Diceritakan pula dari Abu Bakar, semoga Allah meridhainya dan aku pun ridha kepadanya, dalam ungkapan yang lain: “Sungguh aku tidak bisa membatasi tindakan para wazā‘ah Allah.” Wazā‘ah adalah para pembesar tentara yang berjalan, berbaur di antara barisan-barisan pasukan perang untuk memantapkan dan menyelaraskan mereka.
Ini merupakan ungkapan-ungkapan isyarat mereka terhadap pribadi-pribadi “pungutan” yang bergerak, mengatur dengan pengendalian Allah, yang dipercaya menjaga rahasia-rahasiaNya dalam bentangan alam dan kerajaan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, yang berlaku ungkapan tentang mereka: “Ketika Aku mencintainya, maka Aku adalah dia.”
Ungkapan mushannif kitab al-Jurumiyyah rahimahullāh: “Maf‘ūl bih adalah isim yang di-nashab-kan.” Yaitu yang ditampakkan dengan perjalanan arus takdir atasnya. Tidak tersisa lagi pengendalian gerak maupun alternatif langkah baginya. Dia menjadi sarana terjadinya tindakan dengan pengendalian Allah. Dia menjadi lantaran bagi perbuatan-Nya, dan menjadi satu mata pedang di antara pedang-pedangNya; dengannya Allah menyiksa musuh-musuhNya, saat berkehendak.
Maf‘ūl bih terbagi menjadi dua kelompok:
Zhāhir: tampak, dikenal. Karena ketampakan kapasitasnya untuk memberikan manfaat bagi hamba-hambaNya atau untuk memaparkan argumentasi bagi mereka dalam memberikan peringatan;
Mudhmar: tersembunyi, tersamar. Dia merupakan satu “pingitan” di antara pingitan-pingitan Allah. Dengannya Allah memberikan anugerah kepada makhluk-makhlukNya. Dia tersembunyi di balik tirai kewajaran manusiawi, sampai dia bertemu dengan Allah.
Wa billāh-it-taufīq.