بَابُ الْبَدَلِ
إِذَا ابْدِلَ اسْمٌ مِنِ اسْمٍ أَوْ فِعْلٌ مِنْ فِعْلٍ تَبِعَهُ فِيْ جَمِيْعِ إِعْرَابِهِ وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ بَدَلُ الشَّيْءِ مِنَ الشَّيْءِ وَ بَدَلُ الْبَعْضِ مِنَ الْكُلِّ وَ بَدَلُ الْاِشْتِمَالِ وَ بَدَلُ الْغَلَطِ نَحْوُ قَوْلِكَ قَامَ زَيْدٌ أَخُوْكَ وَ أَكَلْتُ الرَّغِيْفَ ثُلُثَهُ وَ نَفَعَنِيْ زَيدٌ عِلْمُهُ وَ رَأَيْتُ زَيْدًا الْفَرَسَ أَرَدْتَ أَنْ تَقُوْلَ الْفَرَسَ فَغَلَطْتَ فَأَبْدَلْتَ زَيْدًا مِنْهُ
Ketika satu isim dijadikan badal dari isim yang lain, atau satu fi‘il dari fi‘il yang lain, maka isim atau fi‘il ini mengikuti mubdal minhu-nya dalam seluruh i‘rāb-nya.
Badal ada empat macam, yaitu: (1). Badal-usy-syai’i min-asy-syai’ (keseluruhan sesuatu dari keseluruhannya); (2). Badal-ul-ba‘dhi min-al-kulli (sebagian dari keseluruhan); (3). Badal-isytimāli (tercakup); (4). Badal-ul-ghalath (kesalahan).
Sebagaimana ucapan anda: Qāma zaidun akhuka; akalt-ur-raghīfa tsulutsahu, nafa‘ani zaidun ‘ilmuhu, dan rakibtu zaidan al-farasa. Anda menghendaki untuk mengucapkan al-faras, namun salah ucap. Maka anda menjadikannya sebagai badal dari Zaid yang menjadi mubdal minhu.
Ketika satu Isim (Nama) dijadikan pengganti dari isim (nama) yang lain dalam maqam fanā’ di dalam Dzat, maka murid melejit dari nama hamba menuju nama Tuhan. Pada saat cahaya hakikat menguasai kesadaran dirinya, maka sang hamba hilang dalam wujud Sang Tuhan. Ini merupakan maqam wishāl dan ittishāl.
Al-Haqq menutup sifat hambanya dengan sifat-Nya, dan karakternya dengan karakter-Nya. Allah memberikan pencapaian wushūl kepadanya dengan anugerah dari-Nya, bukan dari usaha sang hamba untuk mencapainya. Dia menutup sifat kehambaan dengan sifat ke-Tuhan-an dan sifat hudūts (baru) dengan sifat qidam (dahulu). Maka hilanglah makhluk yang bersifat baru, dan eksislah Tuhan yang Maha Qadim.
Atau fi‘il (perbuatan) satu dari fi‘il (perbuatan) yang lain, dalam maqam fanā’ di dalam af‘āl. Sang hamba tidak melihat satu pelaku pun selain Allah.
Tentang maqam ini, seorang penyair berkata:
Ketika kamu melihat Allah
Sebagai Sang Pelaku setiap perbuatan
Saat itu
Kamu akan melihat seluruh bentuk perwujudan
Tebarkan rasa kenikmatan.
Ini merupakan permulaan kaum sālikīn dan puncak kaum shālihīn. Tengah-tengahnya adalah fanā’ di dalam sifat, bagi kaum mustasyrifīn (orang-orang mulia).
Al-Quthb Ibnu Masyisy r.a. berkata: “Hakikat minum Arak Kecintaan Ilahi adalah tercampurnya sifat-sifat hamba dengan sifat-sifat Tuhan, nama-nama hamba dengan nama Tuhan, cahaya-cahaya hamba dengan cahaya-cahaya Tuhan,” sampai akhir pembicaraannya. Yang dimaksud cahaya-cahaya adalah dzat hamba dengan Dzat Tuhan. Artinya, hilangnya rasa diri di dalam kesemestaan Allah. Terlepas dari segala sesuatu selain Dia.
Syaikh Abul-‘Abbas al-Mursi r.a. berkata: “(Mereka adalah) manusia-manusia sejati (rijāl) yang telah melebur sifat-sifat mereka dengan sifat-sifat Tuhan, perbuatan-perbuatan mereka dengan perbuatan-perbuatanNya, dan esensi-esensi dzat mereka dengan Dzat-Nya. Mereka didorong oleh rahasia-rahasia yang tidak mampu dicapai wali-wali biasa.”
Ketika namanya diganti dengan nama-Nya dan perbuatannya diganti dengan perbuatan-Nya, dia mengikuti Allah dalam segala penyingkapan-penyingkapanNya. Ketika Allah dengan kemahasucian-Nya tersingkap dengan nama-Nya, al-Qābidh (yang menekan, menyempitkan), maka dia turut tertekan. Perwujudan-perwujudan pun turut tertekan dengan ketertekanannya.
Ketika Allah tersingkap dengan nama-Nya, al-Bāsith (yang melonggarkan) maka dia ikut terlonggarkan. Perwujudan-perwujudan pun turut terlonggarkan dengan kelonggarannya. Karena dia adalah khalīfah (pemegang otoritas) Allah di bumi-Nya. Segala sesuatu yang dengan-Nya Allah tersingkap, terekam dalam hati sang ‘arif yang merupakan pengganti Allah, dalam kerajaan zhahir dan pengaturan semesta-Nya. Lalu semua itu tampil mewujud dalam perwujudan-perwujudan dengan sifat Jalal dan Jamal-Nya.
Badal (pengganti) terbagi empat macam:
Syaikh Abul-‘Abbas al-Mursi r.a. berkata: “Al-Junaid adalah quthb dalam pengetahuan tentang Allah. Al-Bisthami adalah quthb dalam ahwāl, dan Sahl adalah quthb dalam maqāmāt.”
Memohon penjagaan hanya kepada Allah ta‘ala, dari pengakuan-pengakuan yang terlintas dari hati-hati yang berpenyakit.
Wa billāh-it-taufīq.