بَابُ التَّوْكِيْدِ
التَّوْكِيْدُ تَابِعٌ لِلمُؤَكَّدِ فِيْ رَفْعِهِ وَ نَصْبِهِ وَ خَفْضِهِ وَ تَعْرِيْفِهِ
وَ يَكُوْنُ بِأَلْفَاظٍ مَعْلُوْمَةٍ وَ هِيَ النَّفْسُ وَ الْعَيْنُ وَ كُلُّ وَ أَجْمَعُ وَ تَوَابِعُ أَجْمَعَ وَ هِيَ أَكْتَعُ وَ أَبْتَعُ وَ أَبْصَعُ تَقُوْلُ قَامَ زَيْدٌ نَفْسُهُ وَ رَأَيْتُ الْقَوْمَ كُلَّهُمْ وَ مَرَرْتُ بِالْقَوْمِ أَجْمَعِيْنَ
Taukīd mengikuti mu’akkad-nya dalam i‘rāb-nya rafa‘, nashab, dan khafadh-nya, serta ma‘rifat dan nakirah-nya. Taukīd ini menggunakan lafazh-lafazh tertentu yang sudah dikenal, yaitu an-nafs (dirinya sendiri), al-‘ain (dzatnya sendiri), kull (semuanya), ajma‘u (seluruhnya), serta lafazh-lafazh yang mengikuti ajma‘u, yaitu akta‘u, abta‘u, dan abshahu. Seperti ucapan anda: Qāma zaidun nafsuhu, ra’aitu al-qauma kullahum, dan marartu bil-qaumi ajma‘īna.
Taukīd (pengukuhan) dalam segala sesuatu, kemantapan jiwa atasnya, dan kesungguhan dalam mencarinya, mengikuti pada mu’akkad (sesuatu yang di kukuhkan) yang hendak dicapai.
Bila mu’akkad merupakan sesuatu yang rafa‘ (luhur), seperti ma‘rifat kepada Allah dan para rasul-Nya secara ‘iyān, maka taukīd dan kemantapan jiwa memiliki sasaran tepat yang agung. Al-Hadhrat, maharnya adalah diri pribadi. Penyerahan diri pribadi beserta jiwa merupakan hal yang kecil di hadapan-Nya. Dia adalah Sang Maha Mulia yang hanya mungkin dicapai dengan menyerahkan sesuatu yang mulia menurut sisi pandanganmu, yaitu diri pribadimu.
Sebagaimana kadar kelelahan diri, seperti itu pulalah kenikmatan istirahatnya. Sesuai kadar jatuhnya harga diri dan hilangnya rasa adanya, diri bisa menjadi mulia kedudukannya. Sesuai kadar kepayahan dan keseriusan, diri pribadi bisa mencapai ketinggian derajat. Sebagaimana ungkapan seorang penyair:
Sesuai kadar kepayahan
Kamu bisa mencari keluhuran-keluhuran
Siapa mencari kemuliaan
Dia terjaga dalam kelamnya malam
Apakah kamu menghendaki kemuliaan?
Lalu kamu tidur semalaman?
Siapa mencari mutiara-mutiara gemerlapan
Harus mencebur di kedalaman samudera.
Bila mu’akkad yang dicari adalah sesuatu yang tengah-tengah, seperti ilmu-ilmu penggambaran dan menghafal al-Qur’an, maka taukīd dan kemantapan juga berkadar tengah-tengah. Sehingga terkadang mu’akkad ini bisa dicapai oleh para pemilik kepemimpinan dan kedudukan. Juga, mereka yang memiliki kesibukan dengan “asbāb” (sarana-sarana kehidupan) dan kesibukan-kesibukan gejolak hati. Berbeda dengan maqam yang pertama. Tidak ada yang mampu mencapainya kecuali Ahli Tajrīd, secara lahir bathin.
Sedang bila mu’akkad yang dicari merupakan sesuatu yang bersifat duniawi, maka kemantapannya tergantung pada kadar cita-citanya.
Ini semua merupakan isyarat yang mengacu pada ucapan mushannif kitab al-Jurumiyyah:
Taukid mengikuti Mu’akkad dalam:
Rafa‘-nya: keluhurannya; maqam pertama bersama kaum muqarrabin;
Nashab-nya: ketengah-tengahannya; maqam kedua bersama kaum abrar dan shalihin;
Khafadh-nya: kerendahannya; maqam ketiga bersama ghāfilīn (orang-orang lalai)
Taukīd juga mengikuti mu’akkad yang dicari dalam kema‘rifatannya. Sesuai kadar kepayahan dan keseriusan, seorang murid mencapai kema‘rifatan dan ketersingkapan hijab darinya.
Taukid dan kesungguhan dalam mencari, dilakukan dengan:
Wa billāh-it-taufīq.