بَابُ الْعَطْفِ
وَ حُرُوْفُ الْعَطْفِ عَشَرَةٌ وَ هِيَ الْوَاوُ وَ الْفَاءُ وَ ثُمَّ وَ أَوْ وَ أَمْ وَ إِمَّا وَ بَلْ وَ لَا وَ لكِنْ وَ حَتَّى فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ
فَإِنْ عَطَفْتَ عَلَى مَرْفُوْعٍ رَفَعْتَ أَوْ عَلَى مَنْصُوْبٍ نَصَبْتَ أَوْ عَلَى مَخْفُوْضٍ خَفَضْتَ أَوْ عَلَى مَجْزُوْمٍ جَزَمْتَ تَقُوْلُ قَامَ زَيْدٌ وَ عَمْرٌو وَ رَأَيْتُ زَيْدًا وَ عَمْرًا وَ مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَ عَمْرٍو وَ زَيْدٌ لَمْ يَقُمْ وَ لَمْ يَقْعُدْ
Huruf-huruf ‘athaf ada sepuluh, yaitu: Wau, fā’, tsumma, au, am, immā, bal, lā, lākin, dan hattā di beberapa tempat. Bila anda meng-‘athaf-kan suatu lafazh dengan huruf-huruf ini pada lafazh-lafazh yang di-rafa‘-kan, maka anda harus me-rafa‘-kannya. Atau pada lafazh-lafazh yang di-nashab-kan, maka anda harus me-nashab-kannya. Atau pada lafazh-lafazh yang di-khafadh-kan, maka anda harus meng-khafadh-kannya. Atau pada lafazh-lafazh yang di-jazm-kan, maka anda harus men-jazm-kannya. Anda ucapkan: “Qāma zaidun wa ‘amru, ra’aitu zaidan wa ‘amran, marartu bizaidin wa ‘amrin, dan zaidun lam yaqum wa lam yaq‘ud.
Tanda ‘athaf (kecenderungan, simpati) dari Allah ta‘ala kepada hamba-Nya ada sepuluh:
Sementara tanda ‘athaf hambah kepada Tuhannya adalah:
Inilah tanda-tanda kecintaan dari kedua sisi (sang Tuan dan hamba-Nya).
Syaikh al-Jurumiyyah secara isyarat mengatakan: “Huruf ‘athaf ada sepuluh.”
Maksudnya adalah sebab-sebab kecenderungan, yaitu:
1. Wau pengumpul, yaitu berkumpulnya hati dengan Allah, dan berkumpulnya diri bersama ahli Allah;
2. Fā’ tertib, yaitu tertibnya pelaksanaan tugas-tugas rutin kehambaan secara zhahir, sesuai keruntutan aturan syari‘at. Kalau tidak ada wirid, maka tidak ada pula warid. Dan tidak akan mengingkari wirid kecuali orang yang bodoh;
3. Tsumma yang menunjukkan arti pelan-pelan dan tidak tergesa-gesa. Kehatian-hatian berasal dari Allah dan ketergesa-gesaan berasal dari setan. Orang yang bertindak dengan hati-hati akan mencapai sasaran, atau sedikit lagi. Orang yang tergesa-gesa akan salah sasaran, atau hampir saja, sebagaimana keterangan dalam hadits.
Seorang wali yang memiliki kapasitas mukasyafah, al-Majdzub Ahmad Abu Silham, sering kali melantunkan bait-bait ini, ketika aku mendatanginya, saat masih muda:
Bertindaklah hati-hati dan jangan tergesa-gesa
Untuk mencapai apa yang kamu kehendaki
Dan jadilah orang yang kasih sayang kepada makhluk
Maka kamu akan diperhatikan Sang Maha Penyayang.
4. Au (atau) yang berfaedah takhyīr (memberikan alternatif pilihan). Ketika Tuannya memberikan alternatif pilihan kepadanya, maka dia memilih penghambaan (‘ubūdiyyah) daripada kebebasan (hurriyyah). Sebagaimana dia merealisasikan sifat kehambaan secara zhahir, maka seperti itulah kadar kemerdekaan jiwa dalam hatinya. Kehambaan berarti kerendahan, bukan keluhuran, dan faedah ibāhah (pembolehan). Dia memperbolehkan, menghalalkan harta dan harga dirinya bagi semua makhluk, sebagaimana “Abu Khar” (manusia tanpa semangat). Seorang sufi yang sebenarnya adalah siapa yang hartanya halal dan darahnya seakan tersia-sia.
5. Am yang berfaedah:
Taqsīm (pembagian). Dia membagikan karunia-karunia yang dijadikan Allah berada di tangannya, baik berupa rezeki-rezeki kebendaan maupun rahasia-rahasia, kepada orang-orang yang berhak menerimanya. “Masing-masing umat benar-benar mengetahui tempat minum mereka.” (al-A‘raf [7]: 159).
Dia bisa berkomunikasi dengan setiap orang, sesuai kadar kepahaman dan kemampuan rasionya.
Ibhām (menyamarkan). Dia menyamarkan keadaannya dan menyembunyikan rahasianya, karena mencukupkan pada kemahatahuan Allah.
“Usaha pencarian kemuliaanmu, agar makhluk-makhluk mengetahui kekhususanmu, menunjukkan ketidakbenaranmu dalam penghambaanmu.”
Tasykīk (keragu-raguan) dalam derajat kewalian setelah diperlihatkan (ta‘rīdh) pada sebab-sebab ketampakan (zhuhūr). Dalam hal ini, al-Majdzub Ahmad Abu Silham r.a. berkata:
Hadirkan kerahasiaanmu, dan
Pendam di dalam bumi
Selama tujuh puluh tahun
Lepaskan seluruh makhluk,
Kamu ragukan
Sampai hari kiamat.
6. Bal untuk makna idhrāb (meralat, menyimpangi, berpaling). Ini adalah berpalingnya hamba dari dunia beserta penghuninya, menuju Tuannya.
“Sebagaimana kadar penghilangan diri dari rasa zhahir, maka seperti itu pula terpancar cahaya-cahaya bathin atas dirinya.”
Syaikh Abul-Hasan berkata: “Hilangkan dirimu dari rasa zhahirmu, bila kamu menghendaki keluasan rasa bathinmu.”
7. Immā (menjadi sarana mencari penentuan):
Bila penentuan esensi al-Haqq maka ini bersumber dari bathin kemudian ditinggalkan saja;
Atau penentuan jalan suluk, maka dia melaluinya berdasarkan bimbingan ahlinya;
Atau penyamarataan, maka baginya sama saja. Antara emas dan debu, dalam tidak adanya kecintaan. Antara kehinaan dan kemuliaan. Kebutuhan dan keterpenuhan. Celaan dan pujian. Pencegahan dan pemberian. Demikian juga, ahwāl sama saja baginya. Maka dia menjadi mapan dalam maqam istiwā’ (penyamarataan segala sesuatu selain Allah), yang menjadikannya layak untuk mencapai tingkat kewalian terbesar, selama yang sudah, dan yang akan dia jalani, dalam maqam ini.
Bal juga mengisyaratkan pada keberpalingan murid dari alam kebendaan. Karena hilang rasa diri, dalam kesadaran Sang Pencipta Kejadian (al-Mukawwin), karena fanā’ maupun syuhūd.
8. Lā meniadakan kesamaan dan menetapkan Sang Tuan. Maka anda katakan: “Hanya al-Haqq yang ada, bukan selain-Nya.
9. Lākin mengisyaratkan istidrāk (penyusulan, perbaikan). Mengejar umur yang terlewatkan dalam pengangguran dan kesembronoan, dengan kesungguhan dalam umur yang tersisa, serta keseriusan dan kesiapsediaan. Amir-ul-Mu’minin, ‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Sebaik-baik umur mukmin adalah sisa umur yang digunakan seorang hamba untuk mencapai apa yang sudah terlewatkan, dan menghidupkan apa yang sudah dimatikannya.”
10. Hattā, mengisyaratkan pada puncak perjalanan dengan pencapaian wushul pada puncak kema‘rifatan dan mengkukuhkan diri dalam kelanggengan syuhud.
Bila Engkau meng-‘athaf-kan jiwa-jiwa ini pada marfū‘ (pribadi yang sudah memiliki ketinggian derajat), maka Engkau juga akan me-rafa‘-kan; menambah ketinggian derajat.
Atau pada manshūb (pribadi yang mempunyai ketahanan diri), tawajjuh dan sair (perjalanan), maka Engkau me-nashab-kan dengannya hingga akhirnya akan tercapai wushūl.
Atau pada majzūm (pribadi yang telah dikukuhkan) untuk melalui sair para pencari capaian wushūl, maka jazm-kanlah dia dan keraskanlah keteguhannya, sehingga dia bisa menyaksikan rahasia-rahasia Dzat-Mu, beserta cahaya sifat-sifatMu.
Wa billāh-it-taufīq.