7-1 Rahasia di Balik Na’at – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 007 Rahasia-rahasia di Balik Tabi' - Huruf-huruf Magis

Bab VII

Rahasia-rahasia di Balik Tābi‘

 

Rahasia di Balik Na‘at.

بَابُ النَّعْتِ

النَّعْتُ تَابِعٌ لِلْمَنْعُوْتِ فِيْ رَفْعِهِ وَ نَصْبِهِ وَ خَفْضِهِ وَ تَعْرِيْفِهِ وَ تَنْكِيْرِهِ تَقُوْلُ قَامَ زَيْدٌ الْعَاقِلُ وَ رَأَيْتُ زَيْدًا الْعَاقِلَ وَ مَرَرْتُ بِزَيْدٍ الْعَاقِلِ

Na‘at mengikuti (tābi‘) man‘ūt-nya di dalam i‘rāb rafa‘, nashab, dan khafadh-nya, serta ma‘rifat dan nakirah-nya. Seperti: Jā’a zaidun al-‘āqilu, ra’aitu zaidan al-‘āqila, dan marartu bizaidin al-‘āqili.

Sifat adalah tābi‘ (yang mengikuti) pada Dzat yang disifati. Keduannya tidak akan terpisah selamanya. Dengan kata lain, sifat tidak akan terpisah dari Dzat yang disifati. Ketika sifat-sifat tampak secara nyata, maka nyata pula keberadaan Dzat bersamanya. Ketika Dzat sudah tersingkap maka tersingkap pula sifat-sifatNya. Saat itu terhapuslah keberadaan wujud atsar; karena penampakan nyata al-Mu’atstsir. Karena atsar tidak akan tampak nyata kecuali dengan lantaran sifat qudrat. Sifat qudrat tidak perpisah dari Sang Dzat. Maka pahamilah, dan bila tidak mampu, menurutlah.

Di antara mererka, ada tokoh yang mengungkapkan hal ini dengan ucapan: “Dzat adalah ‘ain dari sifat.” Dengan ‘ain dia menghendaki talāzum (korelasi, saling keterkaitan) dalam kejelasan adanya. Jika tidak, maka Sang Dzat adalah rahasia Maha Lembut yang tidak mungkin diketahui. Sedang sifat-sifat adalah pengertian-pengertian yang timbul dengan keberadaan Dzat.

Dan, bila anda menghendaki, anda bisa mengatakan: “Sifat dari Sang Dzat menjadi pengikut dalam kesempurnaan-kesempurnaan dan ketiadaan puncak pembatasan. Sebagaimana Sang Dzat tidak memiliki puncak dan pembatasan, begitu juga sifat-sifat tidak memiliki puncak dan pembatasan. Rahasia-rahasia Dzat beserta kesempurnaan-kesempurnaanNya berada di luar jangkauan pemahaman akal. Demikian juga sifat-sifatNya.

Atau anda bisa berkata: “Sifat dari Dzat, dalam penampakan-penampakan nyata ketersingkapannya mengikuti Dzat yang disifati, dalam keberubah-ubahannya.”

Al-Junaid r.a. ditanya tentang tauhid. Dia menjawab: “Warna air tergantung pada warna wadahnya.” Maksudnya, rahasia-rahasia makna hakikat bathiniah, ketika tersingkap dalam perupaan-perupaan wadah wujud, akan berubah-ubah warna sesuai perubahan warna dari perupaan-perupaan wadah yang ada. Antara putih, hitam, merah, kuning, hijau, dan warna-warna lain dari Arak Ruhani yang azali dalam kondisi ketersingkapannya. Adapun sebelum penyingkapan, warna ini merupakan rahasia lembut yang hanya Allah yang memiliki kekuasaan untuk menyingkapnya, sebagaimana Dia kehendaki. Dan, warna-warna itu menjadi berbeda-beda hanya setelah terjadi penyingkapan.

Al-Jili r.a. berkata dalam kitabnya ‘Ainiyyah:

Setiap kehitaman dalam penyisiran-penyisiran
Ada pada bagian tepi
Setiap kemerahan, dalam garis-garis melintang
Tampak secara jelas, murni
Kekasihku tersingkap keberadaan-Nya
Bagi setiap pemerhati sifat Jamal-Nya’
Bagi setiap pemerhati
Sang Kekasih memiliki kemunculan-kemunculan.

Selanjutnya dia berkata:

Lepaskan kendali pemahaman al-Ḥaqq
Dalam segala yang kamu lihat
Karena, ini merupakan penyingkapan-penyingkapan Dzat
Yang hanya Dia sendiri pelakunya
Dan termasuk juga talawwun (perubahan warna-warna).

Kata-kata mushannif kitab al-Jurumiyyah: “Na‘at mengikuti man‘ūt di dalam hukum rafa‘-nya.”

Maksudnya, sifat mengikuti Dzat yang disifati dalam ketinggian derajat-Nya. Ketika keberadaan Sang Dzat tersingkap bagi seorang hamba, dengan nama-Nya, al-Bāthin, maka kebanyakan makhluk mengingkari perilakunya. Padahal dia memiliki kedudukan di hadapan Sang Maha Raja, al-Ḥaqq.

Guru dari guru kami, sumber materi tarekat kami, pelopor samudera pemahaman, pemimpin ahl-ul-hadhrat-il-azaliyyah, Sayyidi ‘Ali al-‘Imrani, penyimpan sejumlah pengetahuan r.a. mengisyaratkan pengertian ini dalam kitabnya. Dia mengungkapkan pemahamannya.

“Perhatikan, wahai saudaraku, renungkan al-Hadhrat ini. Bagaimana telah sempurna sifat-sifat dan syarat-syarat di dalam-Nya. Bagaimana sempurna kekurangan-Nya, sebagaimana sempurna kesempurnaan-Nya. Maha Suci Dzat yang memperlihatkan sifat-sifatNya, dengan kesempurnaan dalam kekurangan dan kesempurnaan. Sehingga semuanya menjadi kesempurnaan, tanpa ada kekurangan.

Dan perhatikan, wahai saudaraku, betapa dekatnya sifat-sifat itu dalam kejauhannya, dan betapa jauhnya sifat-sifat itu dalam kedekatannya. Betapa tingginya sifat-sifat itu dalam kerendahannya, dan betapa rendahnya sifat-sifat itu dalam ketinggiannya. Betapa besarnya sifat-sifat itu dalam kekecilannya, dan betapa kecilnya sifat-sifat itu dalam kebesarannya. Betapa kuatnya sifat-sifat itu dalam kelemahannya, dan betapa lemahnya sifat-sifat itu dalam kekuatannya. Betapa penuhnya sifat-sifat itu dalam keterbatasannya, dan betapa terbatasnya sifat-sifat itu dalam kepenuhannya. Betapa mulianya sifat-sifat itu dalam kebersahajaannya, dan betapa bersahajanya sifat-sifat itu dalam kemuliaannya….”

Dua sifat berlawanan berkumpul menjadi satu. Bahkan sekian sifat berlawanan bisa tampil dalam satu penampakan yang sama. Al-Jili juga mengisyaratkan hal ini dengan ucapannya:

Sifat-sifat berlawanan berkumpul
Dalam satu tampakan, di antaranya
Dalam satu penampakan ini
Semua keberlawanan melenyap
Satu penampakan ini
Merupakan tampilan kemilau
Dari keseluruhan.

Penjelasan ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh mereka yang telah memiliki pengalaman rasa-rasa ruhani (adzwāq) dan menemukan kebenaran pemahaman spiritual (wujdan), yaitu orang-orang yang telah mencebur di kedalaman samudera syuhud dan ‘iyan. Bagi mereka yang belum mencapai karunia-karunia ini, cukup dengan berpasrah mengikuti.

Wa billāh-it-taufīq.

Peringatan.

Ucapan para ahli hakikat bahwa dua sifat berlawanan, bahkan sekian sifat-sifat berlawanan bisa berkumpul dalam satu tempat penampakan, maksudnya dengan perbedaan persepsi sudut pandang dan arah pemahaman.

Sifat-sifat berlawanan bisa terbagi menjadi dua bagian, yaitu sifat-sifat yang berlawanan menurut rasio dan sifat-sifat yang berlawanan berdasarkan kebiasaan hukum alam. Contohnya adalah api dan air, panas dan dingin, siang dan malam, serta perlawanan-perlawanan lain yang tidak mungkin berkumpul menurut rasio dan mustahil menurut kebiasaan hukum alam.

Adapun sifat-sifat yang berlawanan menurut rasio tidak mungkin berkumpul selamanya dalam satu tempat yang sama, kecuali disertai perbedaan sudut pandang, sebagaimana penjelasan terdahulu. Sifat ke-Tuhan-an dan kehambaan tekadang bisa berkumpul dalam satu tempat, seperti pada manusia keturunan Adam. Sifat kehambaan dari sisi kemurniannya yang bisa dirasakan, dan sifat ke-Tuhan-an dari sisi penampakan maknawi. Sifat kehambaan adalah tingkat rasa-rasa manusiawi dan ke-Tuhan-an adalah tingkat lintasan permasalahan maknawi. Sifat kehambaan tampak secara jelas dan ke-Tuhan-an berada dalam ketersembunyian.

Demikian juga sifat qidam (dahulu) dan ḥudūts (baru). Sifat qidam dari sisi pemahaman maknawi, dan ḥudūts dari sisi rasa indrawi yang tergelar penampakannya. Demikian juga kemuliaan dan kehinaan, keterpenuhan dan kekurangan. Kemuliaan maupun keterpenuhan bertempat pada keterlihatan zhahir. Terkadang sifat-sifat ini bisa berkumpul dalam waktu yang sama, tentu dengan perbedaan sudut pandang, sebagaimana telah kami kemukakan.

Maka jika ada orang yang mengatakan bahwa ada dua atau sekian sifat-sifat berlawanan yang bisa berkumpul dalam satu tempat, disertai kesamaan waktu dan sudut pandang, berarti dia bodoh. Karena sifat qudrat tidak berhubungan dengan hal-hal mustahil. Andaikan saja, sifat qudrat juga berhubungan dengan hal-hal mustahil, niscaya sifat qudrat juga berhubungan dengan peniadaan Dzat yang Maha Luhur dan pengadaan tuhan saingan bagi Allah ta‘ala. Ini merupakan kegilaan besar yang tidak mungkin diucapkan oleh manusia berakal normal.

Sedangkan dua atau beberapa sifat yang berlawanan menurut kebiasaan hukum alam, masih bisa berkumpul dalam satu tempat yang sama. Karena sifat qudrat layak untuk menjangkaunya. Ini tidak terjadi dalam dunia hikmah kecuali sebagai mukjizat, sebagaimana api yang digunakan untuk membakar Nabi Ibrahim a.s.

Berkumpulnya sifat-sifat itu terjadi di tempat-tempat yang berbeda, disertai persamaan wujud, menurut para ahli bathin. Air berada di satu tempat, dan api berada di tempat yang lain. Begitu juga panas dan dingin, hidup dan mati, surga dan neraka. Andaikata Allah hendak mengumpulkan hal-hal ini dalam satu tempat, maka itu bisa saja terjadi.

Ucapan al-Jili r.a.: “Sifat-sifat berlawanan bisa berkumpul.” Maksudnya, sifat-sifat berlawanan menurut rasio disertai perbedaan sudut pandang, sebagaimana telah kami jelaskan, dan sifat-sifat berlawanan secara hukum alam, disertai perbedaan arah pemahaman pada alam hikmah, dan secara mutlak pada alam qudrat.

Wujud, secara keseluruhan terpadu dalam dzat yang satu dan penampakan yang satu, sebagaimana ungkapan penyair:

Wujud-wujud ini, semua terpadu
Meski berbilang penampakannya
Dan dalam perjalanan hidupmu
Tiada satu pun yang baku
Selain dirimu.

Dan terkadang, di dalam satu wujud terkumpul banyak sifat-sifat berlawanan menurut analisa rasio maupun kebiasaan hukum alam. Namun dengan perbedaan sudut pandang atau arah pemahaman.

Maka bisa disimpulkan bahwa hukum-hukum rasional, baik yang wajib, yang mustahil, maupun yang mungkin (jaiz), belum tentu terus berlangsung mencapai sasaran, menurut ahli bathin. Hanya saja, sebagian hal-hal yang relatif menurut ahli zhahir bisa menjadi kepastian bagi ahli bathin dengan mengembalikannya pada keaslian wujudnya dan tersaksikannya al-Haqq di dalamnya. Dan, perkara yang jaiz menurut ahli bathin adalah berubah-ubahnya warna Anggur Cinta Ilahi, sesuai kehendak Allah terdahulu.

Wallahu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *