بَابُ الْمَفْعُوْلِ الَّذِيْ لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ
وَ هُوَ الْاِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الَّذِيْ لَمْ يُذْكَرْ فَاعِلُهُ فَإِنْ كَانَ الْفِعْلُ مَاضِيًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَ كُسِرَ مَا قَبْلَ آخِرِهِ وَ إِنْ كَانَ مُضَارِعًا ضُمَّ أَوَّلُهُ وَ فُتِحَ مَا قَبْلَ آخِرِهِ
وَ هُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ ظَاهِرٌ وَ مُضْمَرٌ فَالظَّاهِرُ نَحْوُ قَوْلِكَ ضُرِبَ زَيْدٌ وَ يُضْرَبُ زَيْدٌ وَ أُكْرِمَ عَمْرٌو وَ يُكْرَمُ عَمْرٌو
وَ الْمُضْمَرُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ نَحْوُ قَوْلِكَ ضُرِبَ وَ ضُرِبَا وَ ضُرِبُوْا وَ ضُرِبَتْ وَ ضُرِبَتَا وَ ضُرِبْنَ وَ ضُرِبْتَ وَ ضُرِبْتُمَا وَ ضُرِبْتُمْ وَ ضُرِبْتِ وَ ضُرِبْتُمَا وَ ضُرِبْتُنَّ وَ ضُرِبْتُ وَ ضُرِبْنَا
Maf‘ūl (objek) pengganti yang fā‘il-nya (pelakunya) tidak disebutkan bersamanya adalah isim yang dibaca rafa‘. Bila fi‘il-nya berupa fi‘il mādhī maka huruf pertamanya dibaca dhammah dan huruf sebelum akhir dibaca kasrah. Bila berupa fi‘il mudhari‘ maka huruf pertamanya dibaca dhammah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah.
Maf‘ūl pengganti fā‘il ini terbagi menjadi dua, yaitu berupa isim zhāhir dan berupa isim dhamīr. Yang berupa isim zhāhir seperti ucapan anda: Dhuriba zaidun dan yudhrabu zaidun, ukrima amru dan yukramu amru. Yang berupa isim dhamīr seperti ucapan anda: Dhuriba, dhuribā, dhuribū, dhuribat, dhuribatā, dhuribna, dhuribta, dhuribtumā, dhuribtum, dhuribti, dhuribtumā, dhuribtunna, dhuribtu, dhuribnā.
Objek tindakan yang Pelakunya tidak lagi disebutkan bersamanya, bahkan dia menjadi pengejawantahan Sang Pelaku secara hakiki, adalah seorang ‘ārif billāh yang telah mapan dalam maqām fanā’ dan baqā’. Dialah pengganti Sang Pelaku sejati, dalam memperlihatkan hukum-hukum pembebanan aturan-Nya, serta manifestasi sifat-sifat Agung dan Indah-Nya. Dia adalah al-quthb-ul-jami‘ (poros yang menghimpun), dan disebut juga al-ghauts (sang penolong).
Dinamakan al-quthb karena dia disamakan dengan poros segala yang berputar dan menjadi pusat tempat mereka berputar. Demikian juga al-quthb. Dia adalah poros, pusat pergerakan semesta. Semua berputar mengelilinginya, dari ‘Arasy-Nya hingga tempat tidurnya. Semuanya tertekan dengan ketertekanannya dan terlapangkan dengang kelapangannya.
Dia adalah asal, tempat mengalirnya bentangan karunia ruhani, menyebar, mengjangkau lingkaran-lingkaran hirarki para wali; kelompok najīb, naqīb, autād, maupun abdāl, terkecuali para wali fard. Mereka tidak termasuk kawasan perputaran bentangan ruhani al-quthb.
Dia adalah pemegang kepemimpinan, pewaris hakiki dan pengganti para nabi, serta pemegang kekhalifahan bathin. Dia adalah jiwa dari kelangsungan semesta, yang menjadi dasar gerak perputarannya. Sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh ungkapan: “Keberadaan al-quthb adalah sebagai manusia sumber di antara semua sumber.”
Hal itu tidak bisa dipahami, kecuali oleh orang-orang yang telah menghiasi mata hatinya dengan antimonium tauhid yang khusus. Al-quthb memiliki kapasitas puncak, serta bagian pencapaian tertinggi dari rahasia baqa’ bersama Allah.
Adapun penamaan dengan al-ghauts adalah dari sisi pertolongannya terhadap segala alam dengan himmah, materi indriawi, dan kedudukannya yang terkhusus. Pribadi seperti ini hanya ada satu dalam wujud, dan dia memiliki tanda-tanda yang membuatnya berbeda.
Al-quthb yang masyhur, Abul-Hasan asy-Syadzili r.a. berkata: “Seorang al-quthb memiliki lima belas tanda. Barang siapa memiliki tanda-tanda itu atau sebagian darinya, maka tampaklah dia. Yaitu dengan:
Aku telah menjelaskan pengertian ini dalam kitabku, Mi‘rāj-ut-tasyawwufi fī haqā’iq-it-tashawwuf dan Tafsīr-ul-Fātihat-il-Kabīr. Bagi seorang al-quthb tidak disyaratkan untuk memahami pengertian dari syarat-syarat ini. Adapun yang disyaratkan adalah adanya syarat-syarat tersebut dalam dirinya melalui pengalaman rasa ruhani (dzauq) dan penyingkapan (kasyf).
Sehingga, jika pengertian masing-masing syarat itu dijelaskan kepadanya, dia akan bisa menemukannya dalam dirinya, melalui pengalaman dzauq atau kasyf. Karena al-quthb terkadang seorang buta aksara mengenai pembahasan ilmu-ilmu zhahir dan pengetahuan makna-makna lafazh. Namun dia berperilaku dengan segala kesempurnaan.
Wallāhu ta‘ālā a‘lam.
Ucapan Mushannif: “Maf‘ūl pengganti fā‘il adalah isim yang di-rafa‘-kan.” Artinya, pribadi yang ditinggikan derajatnya dan agung keadaannya. Karena dia adalah wakil Allah di alam semesta-Nya Pengganti dari Pelaku Sejati.
Ucapan Mushannif: “Yang fā‘il-nya tidak disebutkan bersamanya.” Artinya, yang tidak disebutkan Pelaku Sejati bersamanya. Namun dia menjadi manifestasi Pelaku Sejati sebab ke-fanā’-annya dalam wujud-Nya dan keterlipatannya dalam menyaksikan-Nya. Keberadaannya lebur dalam keberadaan Pelakunya. Maka dia berpindah dari derajat maf‘ūl menuju derajat fā‘il, menjadi esensi dari Sang Esensi. Sebagaimana ungkapan sebagian ulama Timur dalam sebagian bahar rajaz-nya:
Sebelum hari ini, aku terikat
Oleh ikatan-ikatan keantaraan
Terhijab halusinasi prasangka
Ku anggap kesatuanku adalah dua
Ketika Engkau tampakkan keindahan-Mu
Lenyaplah dahaga
Ku saksikan esensikan dengan Esensi-Ku
Aku pun menjadi esensi Sang Esensi.
Dan, setiap pribadi yang telah mapan dalam maqam fanā’ mengisyaratkan pada makna ini.
Bila tindakan yang dilakukan berzaman mādhī, maka di-dhammah. Dipadukan permulaannya hingga akhirnya, dan menjadi waktu yang tunggal. Yaitu, tenggelam menyaksikan Pengendali segala waktu.
Sebagian ‘ārifīn berkata: “Tetapkan dirimu dengan wirid yang satu, yaitu menjatuhkan hawa nafsu pribadi dan mencintai Sang Tuan.”
Ucapan Mushannif: “Dan di-kasrah sebelum akhirnya.” Yaitu, tawādhu‘ pada akhirnya, disertai keagungan derajat dan kebesaran keadaannya, agar pencapaian manfaat dengannya bisa merata sebagaimana meratanya pencapaian manfaat dengan nabi yang diwarisinya, Muhammad s.a.w.
Bila tindakan yang terealisasi adalah mudhāri‘; menyerupai tindakan-tindakan para ahli suluk, yaitu perlahan-lahan menuju langit kenyataan dan bumi kerendahan, dengan adanya izin, kemapanan, dan kemantapan dalam keyakinan; maka di-dhammah: dipadukan permulaan hingga akhirannya, dan di-fathah, dibukakan, sebelum akhir usianya dalam kenaikan selama-lamanya, hingga pencapaian yang tiada puncak baginya.
Allah berfirman kepada pembesar kaum ‘arifin, Muhammad s.a.w.: Berdoalah: Wahai Tuhanku, tambahkan aku ilmu. (Thaha [20]: 114).
Pemahaman tentang pengganti Pelaku Sejati terbagi menjadi dua bagian: zhāhir dan mudhmar.
Pertama, zhāhir bagi orang yang telah mendapat ketentuan pertolongan (‘ināyah) dan terbakukan mencapai derajat kewalian.
Kedua, mudhmar tersamar dan orang yang mendapat ketentuan terhalang, terkhususkan dengan kegagalan dan keterhalangan. Mereka tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang telah dimuliakan oleh Sang Maha Mulia, Pemberi anugerah. Para pendosa tidak bisa mengetahui pengantin-pengantin Ilahi. Tidak akan dikaruniai wushūl kecuali orang-orang yang Allah kehendaki untuk menghantarnya mencapai wushūl kepada-Nya.
Hanya milik Allah keindahan penyair saat berkata:
Siapa ingkari adanya maqam khusus
Dalam masa hidupnya
Itulah makar
Yang ditambahkan pada keterhalangannya
Allah samarkan mereka
Dalam pergaulan, pun
Dari pengetahuan makhluk-Nya.
Pahami itu, ketahuilah
Maha Lembutnya Allah
Karena mereka pengantin Sang Maha Kasih
Dia jaga dari para pribadi terhalang.
Akan beroleh karunia pencapaian
Semacam jalan tepat-Nya
Hanya mereka yang diberi-Nya kapasitas
Mencapai Hadirat-Nya
Jika kamu tidak bertemu seorang ‘arif pun
Selama hidupmu
Ketahuilah
Umur kehidupannya, tiada hidup
Layaknya kehidupanmu.
Zhāhir adalah pengganti Sang Fā‘il yang pada dirinya tampak jelas adanya pelampauan-pelampauan hukum alam dan kekeramatan-kekeramatan. Sementara yang samar adalah pengganti Sang Fā‘il yang hal-hal tersebut tidak tampak pada dirinya.
Wa billāh-it-taufīq.