6-1 Rahasia di Balik Fa’il – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 006 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Di-rafa'kan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik Fā‘il

 

بَابُ الْفَاعِلِ

الْفَاعِلُ هُوَ الْاِسْمُ الْمَرْفُوْعُ الْمَذْكُوْرُ قَبْلَهُ فِعْلُهُ وَ هُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ ظَاهِرٍ وَ مُضْمَرٍ

فَالظَّاهِرُ نَحْوُ قَوْلِكَ قَامَ زَيْدٌ وَ يَقُوْمُ زَيْدٌ وَ قَامَ الزَّيْدَانِ وَ يَقُوْمُ الزَّيْدَانِ وَ قَامَ الزَّيْدُوْنَ وَ يَقُوْمُ الزَّيْدُوْنَ وَ قَامَ الرِّجَالُ وَ يَقُوْمُ الرِّجَالُ وَ قَامَتْ هِنْدٌ وَ تَقُوْمُ هِنْدٌ وَ قَامَتِ الْهِنْدَانِ وَ تَقُوْمُ الْهِنْدَانِ قَامَتِ الْهِنْدَاتُ وَ تَقُوْمُ الْهِنْدَاتُ وَ قَامَتِ الْهُنُوْدُ وَ تَقُوْمُ الْهُنُوْدُ وَ قَامَ أَخُوْكَ وَ يَقُوْمُ أَخُوْكَ وَ قَامَ غُلَامِيْ وَ يَقُوْمُ غُلَامِيْ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

وَ الْمُضْمَرُ أَرْبَعَةُ عَشَرَ نَحْوُ قَوْلِكَ ضَرَبَ وَ ضَرَبَا وَ ضَرَبُوْا وَ ضَرَبَتْ وَ ضَرَبَتَا وَ ضَرَبْنَ وَ ضَرَبْتَ وَ ضَرَبْتُمَا وَ ضَرَبْتُمْ وَ ضَرَبْتِ وَ ضَرَبْتُمَا وَ ضَرَبْتُنَّ وَ ضَرَبْتُ وَ ضَرَبْنَا

Fā‘il adalah isim yang dibaca rafa‘ yang dituturkan setelah fi‘il-nya. Fā‘il terbagi dua, yaitu berupa isim zhāhir dan berupa isim dhamir.

Fā‘il yang berupa isim zhāhir seperti ucapan anda: Qāma zaidun dan yaqūmu zaidun. Qām-az-zaidāni, dan yaqūm-uz-zaidāni. Qām-az-zaiduna, dan yaqūm-uz-zaidūna. Qāma akhūka dan yaqūmu akhūka. Dan contoh-contoh yang sejenisnya.

Dan, fā‘il yang berupa isim dhamīr seperti ucapan anda: Dharaba, dharabā, dharabū, dharabat, dharabatā, dharabna, dharabta, dharabtumā, dharabtum, dharabti, dhurabtumā, dhabratunna, dharabtu, dharabnā.

Pelaku yang hakiki adalah Sang Nama, yang ditinggikan derajat-Nya dan agung keadaan-Nya, yaitu al-Haqq jalla jalāluhu. Sebelum penyingkapan-Nya lebih dahulu dituturkan perbuatan-Nya bagi para ahli zikir, juga bagi para pencari perjalanan spiritual. Perbuatan-Nya dituturkan setelah penyingkapan-Nya, bagi orang-orang ‘arif yang sudah mencapai wushūl.

Bagi para pemegang dalil dan argumentasi, sebelum kepastian esensi-Nya, lebih dahulu dituturkan perbuatan-Nya. Mereka menuturkan perbuatan Allah dan menggunakannya sebagai dalil untuk meyakini keberadaan esensi-Nya/

Sedang orang-orang yang telah mencapai wushūl, yaitu kaum ‘arifin menuturkan keberadaan Allah dan menyaksikan-Nya, sebelum menyaksikan perbuatan-Nya. Mereka menjadikan Allah sebagai dalil untuk menyaksikan perwujudan-perwujudan maya selain-Nya. Maka mereka tidak menyaksikan apa pun selain Allah.

Sebagaimana ungkapan penyair:

Sejak aku kenal Tuhan,
Tak kulihat lagi yang lain
Begitu juga, semua yang lain
Bagiku terhalang
Sejak aku terpadu,
Aku tak lagi takut terpisah
Aku, saat ini, sudah mencapai, dan tersatukan.

Menyaksikan perbuatan sebelum Sang Pelaku adalah maqam orang-orang umum, yaitu para pemegang dalil dan argumentasi. Sementara menyaksikan Sang Pelaku sebelum atau bersama perbuatan adalah maqam orang-orang khusus, yaitu mereka yang telah mencapai syuhūd dan ‘iyān. Para pemegang dalil dan argumentasi termasuk kalangan umum bagi para pencapai syuhūd dan ‘iyān.

Dalam al-Hikam disebutkan: “Orang yang melihat wujud-wujud ciptaan dan tidak menyaksikan al-Haqq di dalamnya, di sekitarnya, sebelum atau sesudahnya maka dia telah dibutakan oleh wujud cahaya-cahaya. Surya-surya kema‘rifatan terhijab dari jiwanya oleh gumpalan-gumpalan mendung atsar.”

Disebutkan pula, dalam al-Hikam, sekian perbedaan antara orang-orang yang menjadikan Allah sebagai dalil dan orang-orang yang membutuhkan dalil untuk menemukan Allah.

Orang yang menjadikan Allah sebagai dalil telah mengenal al-Haqq, karena menyadari kapasitas-Nya dan menetapkan keberadaan sesuatu berdasarkan wujud asal kejadiannya. Sedang untuk meyakini keberadaan Allah diperlukan dalil karena belum adanya pencapaian wushūl kepada-Nya. Jika tidak, maka kapankah Allah tidak tampak kebesaran-Nya, sehingga diperlukan adanya dalil yang menunjukkan keberadaan-Nya. Kapan pula Allah jauh, sehingga atsar bisa menjadi sarana untuk mendekatkan dan mencapai-Nya.

Seorang penyair berkata:

Aneh sekali, bagi pencari bukti
Untuk menemukan-Mu
Padahal telah Engkau tunjukkan
Untuk bisa saksikan segala penampakan.

Selanjutnya penulis menuturkan:

Pemahaman tentang sang Fā‘il bisa dikelompokkan menjadi dua bagian.

  1. Zhāhir, bagi orang-orang ‘arif. Menurut mereka, sang Fā‘il tidaklah samar bagi seseorang kecuali dia orang yang buta. Sebagaimana ungkapan seorang penyair:

Sungguh, Engkau benar-benar tampak, nyata
Hingga Engkau takkan samar bagi siapa jua
Kecuali dia buta
Tidak kuasa saksikan rembulan.

  1. Mudhmar, tertutup, tersembunyi, bagi orang-orang yang lalai. Sebagaimana ungkapan penyair pada baris kedua syairnya:

Namun Engkau bertakhta rahasia
Berhijab segala yang Engkau tampakkan
Bagaimana bisa dikenal
Dzat yang tertirai segala kemuliaan
.

Dalam munajat-munajat al-Hikam disebutkan:

Tuhanku…., bagaimana mungkin untuk meyakini keberadaan-Mu, seseorang menjadikan bukti pada benda wujud, padahal keberadaannya membutuhkan-Mu?

Apakah ada selain-Mu, pemilik penampakan nyata yang tidak Engkau miliki, sehingga bisa menjadi sarana penjelas bagi keberadaan-Mu?

Kapankah Engkau menghilang, sehingga Engkau memerlukan bukti untuk menunjukkan keberadaan-Mu?

Dalam ungkapan itu ada semacam keterpisahan. Sebaiknya dia mengatakan:

Tuhanku…, bagaimana mungkin untuk meyakini keradaan-Mu, seseorang menjadikan bukti pada benda wujud, yang merupakan rahasia di antara rahasia-rahasia Dzat-Mu dan cahaya di antara cahaya-cahaya penyingkapan-Mu?

Dan juga mengatakan:

Bagaimana mungkin Engkau tersamar, padahal Engkau Sang Maha Zhahir?

Bagaimana mungkin Engkau hilang, padahal Engkau Sang Maha Meneliti yang Maha Hādhir?

Al-Haqq jalla jalāluhu benar-benar menyingkapkan diri dan menampak dalam segala sesuatu, lalu tersembunyi dalam penampakkan-Nya. Maka selain-Nya tidak tampak dan tidak pula tersingkap, kecuali dengan cahaya keagungan dan kemegahan-Nya. Bila demikian, maka akan lebih jelas.

Dalam Hairat, aku menuturkan:

Tidak tampak nyata, dalam wujud semesta
Selain kemegahan Dzat-Nya
Dan tidaklah aku berhijab
Kecuali dengan hijab kerahasiaan-Nya….

Demikian sampai akhir qasidah.

Allah berfirman: Dialah yang Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Zhāhir dan Maha Bāthin. (Al-Hadid [57]: 3). Artinya, Dialah yang Maha Awal tanpa permulaan, Maha Akhir tanpa puncak keakhiran. Maha Zhahir dalam sarana penyingkapan-Nya, yaitu rahasia-rahasia Dzat dan cahaya-cahaya sifat-sifatNya. Dialah Maha Bathin dalam esensi penampakan-Nya. Dia tampak dengan Dzat-Nya dan tersamar dengan atsar sifat-sifatNya.

Dalam al-Hakim disebutkan:

Dia tampakkan segala sesuatu karena Dialah Sang Maha Bathin
Dia lipat wujud segala sesuatu karena Dialah Sang Maha Zhahir
Dia tampakkan rasa dan wujud-wujud ciptaan dengan nama-Nya al-Bathin
Dia lipat wujud segala sesuatu dengan nama-Nya, az-Zhahir
Karena tidak ada yang tampak nyata bersama-Nya.

Permasalahan ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh orang-orang yang telah merasakan rasa-rasa maknawi ruhaniah. Yaitu, mereka yang sudah bisa menetapkan adanya dua sifat berlawanan dalam penampakan yang tunggal, dan memberikan masing-masing pihak apa yang menjadi haknya. Bagi orang-orang yang belum mencapai maqam mereka, cukup dengan berpasrah, menurut apa yang telah mereka perlambangkan.

Bila kamu tidak melihat hilal
Pasrahlah
Pada orang-orang yang melihatnya
Dengan mata kepala.
Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *