فَالْمَاضِي مَفْتُوْحٌ الْآخِرِ أَبَدًا
Selamanya huruf akhir fi‘il mādhī dibaca fathah.
Mādhī, masa lalu; yang di dalamnya seseorang sibuk dengan bermacam ketaatan, perjuangan spiritual, dan pengembaraan, dalam usaha mencapai Kebenaran Mutlak (al-Ḥaqq), selalu difathah. Artinya, terbuka pada puncak akhirnya dengan pencerahan, keterbukaan yang banyak dan besar, selamanya. Karena langkah permulaan merupakan gambaran dari akhir puncak pencapaian. Barang siapa langkah-langkah permulaannya cemerlang maka akan cemerlang pula hasil puncak pencapaiannya.
وَ الْأَمْرُ مَجْزُوْمٌ أَبَدًا
Huruf akhir fi‘il amar dibaca jazm (selamanya).
Amar, perintah; sesuatu yang bisa menghantarkan pemiliknya menuju Kehadiran Suci (al-Hadhrat-ul-Qudsiyyah) dan Tempat Ketenteraman (Mahall-ul-Insi), selalu di-jazm-kan. Artinya, dikukuhkan dan dimantapkan selamanya. Dia tidak terhalang oleh kelesuan, kekurangan, kegagalan, dan kebosanan.
Bahkan, di dalam dirinya selalu terdapat keinginan yang kuat. Perjalanannya menuju tingkat paling tinggi tidak pernah terhenti. Sampai akhirnya berhenti pada puncak Kehadiran Suci, Tempat Ketenteraman, Tempat Penyaksian (musyāhadah), percakapan (mukālamah), penghadapan (mukāfahah), dan berhadapan (muwājahah). Sehingga al-Hadhrat menjadi tempat bersarang hatinya. Di dalam kebesaran-Nya dia tinggal dan ke arah-Nya dia berlindung.
وَ الْمُضَارِعُ مَا كَانَ فِيْ أَوَّلِهِ إِحْدَى الزَّوَائِدِ الْأَرْبَعِ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ اَنَيْتُ وَهُوَ مَرْفُوْعٌ أَبَدًا حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ أَوْ جَازِمٌ
Sedang fi‘il mudhāri‘ adalah fi‘il yang pada permulaannya terdapat salah satu dari huruf tambahan yang dikumpulkan dalam anaitu (hamzah, nūn, yā’ dan tā’). Fi‘il mudhari‘ dibaca rafa‘ selamanya, kecuali bila ada ‘āmil nāshib atau ‘āmil jāzim yang memasukinya.
Mudhāri‘; orang yang berusaha menyerupai kaum sufi, namun dalam dirinya tidak ada dorongan kecintaan. Yang dia tuju hanyalah menghiasi diri dengan perilaku mereka dan memaksakan diri untuk melakukannya.
Ini adalah orang yang di dalam dirinya terdapat salah satu dari empat penyakit yang merupakan tambahan dari fitrah suci jiwa dan menjadi penghalang, yaitu:
Cinta dunia;
Cinta kemuliaan;
Takut pada sesama makhluk;
Merisaukan pembagian rezeki.
Semua penyakit itu dikumpulkan dengan kerelaan terhadap nafsu yang merupakan pangkal segala kemaksiatan, kelalaian, dan gejolak syahwat. Kerelaan terhadap nafsu juga menimbulkan klaim-klaim pribadi sehingga seseorang mengaku telah mencapai wushūl dan berkata: “Aku telah mencapai kedekatan dari kehadiran Tuhan dan telah mencapai wushūl kepada-Nya.”
Padahal kenyataannya, antara dia dan al-Hadhrat terpisah bagaikan langit dan bumi. Ini disebabkan oleh kesalapahaman dan kebodohan ganda (jahl murakkab), akibat tidak bergaul dengan para kekasih Allah. Karena, kedudukan-kedudukan spiritual (maqāmāt) tidak bisa diketahui selain bergaul dengan para pemilik kedudukan yang tinggi.
Wa billāh-it-taufīq.
Orang yang berusaha menyerupai kaum sufi dan menghiasi diri dengan hiasan mereka selalu di-rafa‘-kan (dinaikkan) derajatnya, selamanya. Karena orang yang mencintai satu kaum akan dikumpulkan bersama mereka, dan bila seseorang berhias diri dengan hiasan satu kaum maka dia termasuk golongan mereka.
Dia terus-menerus dalam kemuliaan dan derajat yang tinggi selama benar-benar bergabung dalam perjalanan spiritual mereka, kecuali bila ada ‘āmil nāshib (keletihan), yang masuk sehingga mendorongnya untuk mencari dunia. Atau ‘āmil jazm (penentang meyakinkan) yang menghentikannya dari pencarian terhadap Majikannya. Dia meninggalkan pergaulan dengan para guru, para faqir, dan kebersamaan dengan mereka. Hal itu menjadi sebab kembalinya seorang hamba menuju derajat orang-orang awam.
Wal-‘iyādzu billāh. Hanya kepada Allah mohon perlindungan.