وَ أمَّا النُّوْنُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِي الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ إِذَا اتَّصَلَ بِهِ ضَمِيْرُ تَثْنِيَةٍ أَوْ ضَمِيْرُ جَمْعٍ أَوْ ضَمِيْرُ الْمُؤَنَّثَةِ الْمُخَاطَبَةِ
Nūn menjadi tanda bagi i‘rāb rafa‘ dalam fi‘il mudhāri‘, ketika bertemu dengan dhamīr tatsniyah, dhamīr jama‘ atau dhamīr-ul-mu’annatsah-il-mukhāthabah.
Nūn-ul-anāniyyah adalah maqam fanā‘, yaitu keadaan di mana pemiliknya bisa mengatakan: “Aku adalah Dzat yang aku cintai” dan “Dzat yang aku cintai adalah Aku.” Ini menjadi tanda rafa‘ bagi pemiliknya ketika bertemu:
Pertama, dhamīr tatsniyah. Yakni orang yang menempatkan syariat dan hakikat pada tempatnya masing-masing. Syariat bagi hal-hal yang bersifat lahir dan hakikat bagi hal yang bathin. Maqam rafa‘ tidak sempurna tanpa mencapai baqā’. Pemiliknya sanggup memberikan hak yang tepat kepada yang berhak, sebagaimana keterangan terdahulu. Atau bisa kita katakan: “Dhamīr tatsniyah adalah menyaksikan dua hal yang saling berlawanan dalam berbagai manifestasi,” sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Kedua, dhamīr jama‘. Artinya orang yang selalu bersama Allah dalam segala keadaan. Tenggelam dalam penyaksian, hilang dari wujud, terus-menerus minum Anggur Cinta Ilahi, dan menerima limpahan ketajaman dan pemahaman yang memasuki hati. Dia menciduk dari sumber karunia dan kemurahan.
Ketiga, dhamīr-ul-mu’annats-il-mukhāthabah. Yaitu, orang yang tajam hatinya. Tercerahkan. Menerima khithab ilahiah, ilmu-ilmu ladunni, dan rahasia-rahasia ke-Tuhan-an.
Wa billāh-it-taufīq.