وَ أَمَّا الْوَاوُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ مَوْضِعَيْنِ فِيْ جَمْعِ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ وَ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَ هِيَ أَبُوْكَ وَ أَخُوْكَ وَ حَمُوْكَ وَ فُوْكَ وَ ذُوْ مَالٍ
Wāu menjadi tanda bagi i‘rāb rafa‘ dalam dua tempat: Jam‘-ul-mudzakkar-is-sālim dan isim lima (al-asmā’-ul-khamsah). Yaitu abūka, akhūka, ḥamūka, fūka dan dzū mālin.
Wāu kesukaan (mawaddah) dan kecintaan (maḥabbah) makhluk menjadi tanda rafa‘ di hadapkan al-Khāliq dalam dua tempat:
Pertama, jama‘ mudzakkar sālim. Yaitu, ketika kecintaan itu muncul dari kumpulan yang banyak dan kesepakatan yang besar: para ahli pikir jernih dan ahli logika yang lurus. Kecintaan, begitu juga kebencian, yang lahir dari orang-orang tak berpengetahuan tidak diperhitungkan. Sebab, mereka bukanlah pemikir yang jernih.
Maḥabbah tersebut juga harus lepas dari tujuan-tujuan duniawi dan kesenangan hawa nafsu. Semata karena Allah, dalam ketaatan kepada Allah, dan tumbuh dari Allah, tanpa mengharap imbalan. Maḥabbah inilah yang menunjukkan ketinggian derajat pemiliknya di hadapan Allah.
Kedua, menjadi tanda rafa‘ seorang hamba dalam isim lima (asmā‘-ul-khamsah). Artinya: maḥabbah timbul dari lima jenis makhluk: manusia, malaikat, jin, beragam hewan, dan benda-benda mati. Karena ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia meletakkan kecintaan-Nya di dalam hati seluruh makhluk-Nya. Sehingga segala sesuatu merindukan dan menuruti kehendak si makhluk. Ini bisa ditunjukkan dengan kekuasaan para wali terhadap berbagai hewan dan benda mati.
Dalam hadits terdahulu disebutkan: Ketika Allah mencintai seorang hamba, Allah memanggil malaikat Jibril: “Sungguh Aku mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Lalu Jibril a.s. mencintainya. Selanjutnya dia mengumandangkan ke seluruh langit: “Sungguh, Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Semua penghuni langit pun mencintainya. Kemudian Allah meletakkan kecintaan itu di bumi sehingga seluruh penghuni bumi mencintainya, baik dari kalangan jin maupun manusia.
Dalam hadits juga disebutkan: “Sungguh, seorang ‘ālim itu dimintakan ampunan oleh hewan-hewan darat, termasuk ternak, dan hewan-hewan laut, termasuk serangga.”
Dalam hadits lain disebutkan: “Sungguh seorang alim itu dimintakan ampunan oleh para penghuni langit dan para penghuni bumi, termasuk ikan-ikan di kedalaman samudera. Sungguh, ulama adalah pewaris para nabi, karena para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mendapatkannya berarti dia mendapatkan bagian yang sempurna.”
Yang dimaksud ulama di sini adalah ulama ahli ma‘rifat Allah atau yang memahami hukum-hukumNya, disertai keikhalasan niat. Sementara permohonan ampunan menunjukkan adanya kecintaan.
Wallāhu ta‘ālā a‘lam.