فَأَمَّا الضَّمَّةُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ: فِي الْاِسْمِ الْمُفْرَدِ وَ جَمْعِ التَّكْسِيْرِ وَ جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمِ وَ الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْءٌ.
Dhammah menjadi tanda bagi i‘rāb rafa‘ dalam empat tempat, yaitu isim mufrad, jam‘-ut-taksīr, jam‘-ul-mu’annats-is-sālim, dan fi‘il mudhāri‘ yang ḥurūf akhirnya tidak bertemu sesuatu.
Berkumpul (dhammah) bersama para wali dengan penuh cinta menandai naiknya (tanda rafa‘) murid menuju maqām muqarrabīn. Menghantarkannya mencapai maqām sābiqīn dalam zikir isim mufrad (Allah) dan fanā’ di dalamnya.
Aku mendengar guru dari guruku, Tuan al-‘Arabi ad-Darqawi berkata: “Aku fanā’ dalam zikir isim mufrad selama 40 tahun, hingga seakan-akan seluruh tubuhku bergerak sendiri tanpa aku usahakan. Ketika aku hentikan kakiku yang satu, maka kaki yang lain bergetar.”
Fanā’ dalam nama merupakan awal fanā’ dalam Dzat. Besar kecilnya fanā’ dalam Dzat tergantung kadar fanā’ dalam nama.
Dhammah juga menjadi tanda rafa‘ dalam mencintai seluruh wali, yaitu ahl-ut-taksīr (pemecah nafsu/ego pribadi) dan iksīr (penyepuh wujud). Mereka mengelola hal wujud dengan himmah mereka. Memecahkan kedirian orang yang dikehendaki dan melatih orang yang dikehendaki. Mereka memecahkan musuh-musuh dan orang-orang yang memusuhi mereka, dengan iradah Tuhan. Juga, melatih kalangan tercinta mereka, dengan kehendak Tuhan.
Seorang penyair menyifati mereka dengan bait-bait:
Himmah-himmah mereka terlaksana
Sesuai hukum runtutan waktu
Dan ingkar mereka
Menentang rasa benci lawan.
Murid juga mencapai ketinggian derajat (rafa‘) dengan (dhammah) berkumpul bersama guru, dalam jam‘-ul- mu’annats-is-sālim. Berkumpul dengan jalan menikahi perempuan dalam pernikahan yang selamat (sālim). Selamat dari cobaan-cobaan pernikahan dan kesibukan yang melalaikan Tuhan. Sebab pernikahan yang terkelola, bagi faqīr, dapat meningkatkan dalam mendidik keyakinan dan memperluas cakrawala akhlaknya, sehingga ma‘rifatnya semakin meluas. Murid yang mengetahui pernikahannya tidak terbebas dari bencana, dia akan mengambil jalan selamat, yakni meninggalkannya.
Guru dari guruku berkata: “Kaum sufi memperingatkan bahaya pernikahan bagi seorang faqīr. Namun, aku justru memerintahkannya. Karena bila seorang faqīr menikah, keyakinannya akan bertambah kuat, cakrawala akhlaknya menjadi luas, dan pemahaman maknawinya pun semakin meluas.”
Dalam kalimat lain dapat dikatakan seperti ini: Murid juga menjadi rafa‘ pada fi‘il mudhāri‘ (perbuatan yang menyerupai), yaitu perbuatan orang-orang yang memiliki kebeningan hati. Sesuai dengan sunnah. Bebas dari bid‘ah. Penuh keikhlasan. Menanggalkan keinginan untuk memiliki kemampuan dan kekuatan.
Allah berfirman: Maka barang siapa mengharapkan untuk bertemu Tuhannya, hendaknya dia berbuat amal kebajikan dan janganlah menyekutukan ibadah kepada Tuhannya dengan satu apa pun. (al-Kahfi [18]: 111).
Amal kebajikan adalah amal yang pada permulaannya diiringi keikhlasan, dibarengi kemampuan pada pertengahannya, dan hilangnya kedirian pada akhir amal. Inilah makna isyarat tulisan penulis al-Jurumiyyah: Lam yattashil bi ākhirihi syai’un. Tidak bertemu sesuatu dalam arti tidak bertemu penyakit-penyakit yang merusak amal, seperti riya’ dan mencari pujian.
Dalam al-Ḥikam karya Ibnu ‘Atha’illah disebutkan:
Tidak satu pun amalan perbuatan yang lebih dapat diharapkan hati selain amal yang menghilangkan pengakuanmu dari dirimu dengan melihatnya, dan keberadaannya terlihat sepele bagi dirimu.
Dalam naskah lain tertulis: “Lebih diharapkan untuk dapat diterima.”
Wa billāh-it-taufīq.