Rahasia di Balik Tanda-tanda Fi‘il.
وَ الْفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ وَ السِّيْنِ وَ سَوْفَ وَ تَاءِ التَّأْنِيْثِ السَّاكِنَةِ
Fi‘il bisa dikenali dengan qad, sin, saufa, dan tā’ ta’nīts yang mati.
Fi‘il artinya perbuatan. Perbuatan yang menjadi sarana pencapaian ridha Allah dan wushul pada Kehadiran Suci, dapat dikenali dengan adanya:
1. Qad. Huruf ini melahirkan ketetapan hati dan pemantapan, yaitu keinginan yang kuat untuk melakukan kebaikan, takwa, keteguhan hati, dan pemantapan, dengan melanggengkan perjalanan hingga berhasil mencapai wushūl, atau meregang nyawa. Dengan perbuatan inilah seorang murid dapat mencapai wushūl.
Para ahli hakikat menegaskan syarat-syarat bagi seorang faqīr yang benar. Yaitu penghambaan yang baik, menjaga kehormatan, mengagungkan nikmat, dan selalu teguh memegang cita-cita, dalam perjalanan menuju wushūl.
Ketika sang murid merasa letih dan lemah, dia memperbarui keteguhan hatinya. Demikian seterusnya hingga mencapai tujuan.
Seorang penyair berkata:
Benar-benar dia jaga kesungguhan
Sampai banyak dari mereka merasa bosan
Yang mampu memeluk keagungan,
Dialah yang sanggup menjalankan tugas
Seraya bersabar.
Ketika dia mengkhawatirkan diri karena rasa jenuh dan bosan, desakan hawa nafsu, dia menghibur diri dengan meninggalkan mujāhadah dan mengatakan kepada dirinya, suatu saat nanti dia akan mendapatkan kenyamanan dan kegembiraan dengan mencapai wushūl.
Inilah yang diisyaratkan tanda selanjutnya.
2. Sīn dan saufa (akan).
Keduanya menjadi isyarat adanya mujāhadah, dengan membuang mudhāf berupa tarkun (meninggalkan). Artinya, mujāhadah bisa diketahui dengan meninggalkan sīn dan suafa, yaitu meninggalkan penundaan.
Dengan demikian, huruf itu merupakan isyarat untuk bersegera menggunakan kesempatan sebelum habis waktunya. Ibnu al-Faridh r.a. memberikan isyarat:
Bersungguh-sungguhlah
Seraya membawa pedang kemantapan
Bila iya,
Kamu dapati kepribadian
Ia pun,
Dalam kesungguhanmu
Akan ikut serta.
Hal itu juga ditegaskan mushannif kitab al-Jurumiyyah dalam ungkapannya:
3. Tā’ ta’nīts (sebagai kata ganti untuk perempuan) yang mati (sukūn).
Maknanya ialah meninggalkan pergaulan dengan perempuan, sebab merupakan penghalang terbesar bagi seorang murid.
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Aku tidak meninggalkan setelah kematianku, (godaan) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada para perempuan.”
Banyak kaum sufi yang mengingatkan seorang faqīr agar tidak menikah sebelum wushūl. Kecuali bila sang murid berada dalam bimbingan seorang guru, memiliki hubungan yang erat dengannya dan dia memberi izin untuk menikah. Pernikahan yang demikian tidak membahayakan perjalanan.
Wallāhu ta‘ālā a‘lam.